Pastikan Penerapan Disiplin Prokes dalam PTM Terbatas
- vstory
VIVA – Kemendikbud telah mendorong satuan pendidikan untuk bisa membuka Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT). Hal ini menjadi kabar gembira bagi para siswa dan guru yang selama 1,5 tahun terakhir menjalani Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan berbagai kendala dan mulai berdampak tidak baik bagi psikis dan mental anak.
Pelaksanaan PTMT menjadi pilihan terbaik di tengah situasi pandemi yang masih belum mereda. Anak harus segera kembali ke sekolah dan bersosialisasi dengan teman dan guru. Sebab, PJJ yang berlarut-larut mengancam perkembangan anak. Tentu, PJJ dilaksanakan dengan penerapan protokol kesehatan ketat.
Alasan pentingnya membuka PTMT adalah, pertama, untuk mengindari dampak psikis dan sosial anak yang diakibatkan PJJ berkepanjangan. Anak, terutama usia SD, SMP, SMA butuh interaksi sosial dengan teman-temannya sebagai bagian dari kebutuhannya untuk berkembang. PJJ yang kelewat lama bisa membuat anak stres dan kehilangan semangat.
Kedua, mengindari terjadinya generasi learning loss, karena kurangnya kualitas pembelajaran jarak jauh. Betapa banyak anak kesulitan menyesuaikan diri dengan model pembelajaran jarak jauh secara daring. Belum lagi kendala yang dialami guru dan orang tua selama mendampingi anak PJJ. Selain keterbatasan sarana dan pendampingan, PJJ pada dasarnya butuh kemandirian belajar yang masih sulit bisa dilakukan anak-anak.
Jelas bahwa pembelajaran di kelas secara langsung lebih efektif ketimbang PJJ. Sebagaimana temuan Forum Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan (Fortadikbud) bahwa selama setahun PJJ akibat pandemi Covid-19 ditemukan banyak anak didik yang tidak bisa menyerap mata pelajaran dengan baik (kemdikbud.go.id, 20/4/2021).
Melihat berbagai alasan tersebut, maka membuka Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) penting diambil. Harus ada keberanian membuka kembali sekolah, tentu dengan menaati peraturan yang sudah ditetapkan dan tetap melihat tingkat risiko pandemi Covid-19 di daerah masing-masing.
Bukan PTM biasa
PTMT tidak seperti pembelajaran tatap muka biasa. Ada berbagai ketentuan yang sudah dibuat Kemendikbud untuk semaksimal mungkin tetap mengutamakan kesehatan dan keselamatan seluruh warga sekolah di tengah pandemi. Ada lima poin dalam SKB Empat Menteri terkait penerapan protokol kesehatan PTMT.
Pertama, kondisi kelas di satuan pendidikan SMA, SMK, MA, MAK, SMP, MTs, SD, MI, dan program kesetaraan harus memperhatikan jaga jarak minimal 1,5 meter antar individu dan maksimal 18 peserta didik per kelas (maksimal 50% kapasitas).
Kedua, jumlah hari dan jam PTMT dibagi dalam rombongan belajar (shift) yang dapat ditentukan oleh setiap satuan pendidikan dengan tetap mengutamakan kesehatan dan keselamatan warga sekolah.
Ketiga, disiplin menerapkan protokol kesehatan. Terutama menggunakan masker kain tiga lapis, cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau cairan pembersih tangan, jaga jarak minimal 1,5 meter, tidak melakukan kontak fisik seperti bersalaman dan cium tangan, kemudian menerapkan etika batuk/bersin.
Keempat, PTMT dijalankan dengan pantauan dan kontrol ketat terkait kondisi kesehatan warga satuan pendidikan. Kelima, berbagai kegiatan yang berpotensi menjadi kerumunan tidak diperbolehkan selama PTMT. Seperti kantin belum boleh buka dan tidak ada kegiatan olahraga dan ekstrakulikuler.
Jika poin-poin aturan PTMT tersebut dijalankan dengan baik, kita harus optimis PTMT bisa menjadi langkah awal mengembalikan proses pembelajaran agar berjalan kembali “normal” atau setidaknya membaik di tengah situasi pandemi ini. Sebab, anak-anak bagaimanapun butuh kembali ke sekolah.
Hal yang harus ditekankan adalah penerapan prokes dengan benar kepada semua warga sekolah, baik siswa maupun guru. Sebab dalam pelaksanaan PTMT, masih ditemukan beberapa pelanggaran protokol kesehatan. Sebagaimana temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam pengawasan langsung pelaksanaan PTMT di berbagai daerah.
Menurut Retno Listyarti Komisioner KPAI, masih ditemukan pelanggaran prokes terutama 3M. Seperti masker yang diletakkan di dagu, digantungkan di leher, tempat cuci tangan tidak disertai air mengalir dan sabun, bahkan ada guru dan siswa tidak bermasker di sekolah (Republika.co.id, 27/9/2021).
Hal tersebut harus menjadi catatan bagi semua. Terutama agar lebih menguatkan pengawasan dan bagaimana memberi kesadaran bagi seluruh warga sekolah tentang pentingnya penerapan protokol kesehatan di situasi pandemi. Sosialisasi, pengawasan, dan pembiasaan menjadi kunci. Memang memulai kebiasaan baru itu berat. Tapi kita harus belajar memulainya. (Al Mahfud, Lulusan STAIN Kudus, Peminat Topik Pendidikan. Menulis Artikel, Esai, dan Ulasan Buku di Berbagai Media)