WFO dan WFH dalam Konteks Dedikasi dan Kontribusi kepada Lembaga
- vstory
VIVA – Work From Office (WFO ) dan Work From Home ( WFH) dua istilah yang sangat populer pada saat ini, terlebih ketika diberlakukan program Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masayarakat (PPKM).
Kebijakan pemberlakuan PPKM sejak awal tahun 2021 dimaksudkan untuk menangani dan mengatasi pandemi COVID -19 di Indonesia. Mengutip kalimat indah dan bijak yang sering kita dengar bahwa hidup harus terus berjalan, kehidupan ini tidak boleh berhenti hanya karena situasi yang tak pasti.
Ketidakpastian ini tentunya sangat dirasakan oleh seluruh rakyat di negeri ini, baik mereka yang ada di ujung kepulauan Indonesia maupun mereka yang ada di pusat metropolitan.
Masyarakat dan pelaku usaha dengan dinamika ini menuntut pola pikir hebat, kerja keras dan kerja cerdas yang lebih dari biasanya. Hal ini tentunya tidak mudah mengingat beberapa sektor harus berhadapan dengan kenyataan berat di lapangan dan kebijakan menekan yang telah di terapkan untuk melawan laju penyebaran COVID-19.
Beberapa lembaga ataupun instansi yang harus tetap ada untuk memberikan jasa dan melayani menerapkan sebuah model kerja dengan melakukan pengaturan prioritas bagi pegawainya.
Konsep WFO dan WFH yang berkembang di lembaga tidak bisa disamakan, mengingat masing – masing punya target dan kebijakan tersendiri.
Pada awalnya model ini terasa kurang nyaman, terlebih ketika melihat beban dan tanggung jawab yang variatif. Sebagian pegawai akan tetap dapat bekerja secara optimal, tetap sebagian lagi merasa kesulitan untuk beradaptasi untuk mengurangi interaksi secara langsung.
Seorang pegawai yang input dari pekerjaannya akan langsung dirasakan oleh user akan tetap bekerja maksimal untuk menyelesaikan tugas – tugasnya. Barangkali ini akan berbeda bagi sebagian pegawai yang dampak dari yang dikerjakan adalah sebuah laporan yang berkala, biasanya akan mengatur dengan polanya.
Situasi kerja yang semacam ini menuntuk seorang manajer unit untuk membangun kepercayaan terhadap timnya terhadap apa yang sedang mereka kerjakan.
Pola kerja WFO dan WFH dapat dipergunakan untuk mengukur sejauhmana tingkat kontribusi pegawai dalam dua situasi, meskipun pada padasarnya keduanya menuntut perlakuan yang maksimal dalam pekerjaan.
Situasi ini bisa menjadi sebuah alasan ketika pegawai tidak dapat menunjukkan perfoma kinerja karena keterbatasan interaksi dan komunikasi langsung. Seorang pegawai yang membangun dirinya dengan komitmen yang bagus akan terus berupaya, bahkan meningkatkan kinerjanya untuk mempersembahkan hasil pekerjaan yang tetap berkualitas.
Attidute ini bukan datang dengan tiba – tiba apalagi lahir mengharapkan apresiasi semata, ini akan dilihat pada jenis pekerjaan yang berdampak pada khalayak. Lembaga dengan kredibilitas bagus sekalipun, kita semua yakin masih saja ada pegawai yang bermental kurang baik, memanfaatkan situasi untuk kenyamanan dan kegiatan lain yang tidak ada kaitannya dengan ruang lingkup tugas.
Hampir merata di seluruh pelosok Indonesia keberagaman perilaku pegawai yang terbagi dalam beberapa kelompok mengabaikan makna dari nilai pekerjaan yang diamanahkan.
Bagi lembaga, perusahaan, organisasi apapun bentuknya mempunyai harapan yang sama tentang produktivitas, inovasi dan spiritualitas yang mendalam bagi pegawainya. Perilaku semacam ini akan sangat terasa di tengah situasi kerja Fleksi Work yang tidak lagi menerapkan kehadiran secara fisik menjadi tolak ukur sebuah nilai kedisplinan dan kinerja pegawai.
Dalam menghadapi ketidakpastian situasi, lembaga – lembaga melalui pertimbangan dari hirarki manajemen tingginya, mengeluarkan kebijakan untuk mengatur segala kegiatan pegawainya, baik yang berada di struktural maupun di staf pada umumnya.
Kebijakan yang telah di tetapkan sebagai upaya manajemen dalam membiasakan diri pegawai terhadap setiap perubahan dan secara cepat untuk beradaptasi. Manajemen tentunya berharap semua pegawai mempunyai pandangan yang sama, dan satu komitmen untuk tetap bekerja dan berkarya dengan memberikan kontribusi bagi lembaganya.
Kalimat ini dilihat indah dan sering disampaikan dalam berbagai kesempatan oleh pemangku kepentingan dengan penekanan untuk membuka kesadaran bagi setiap yang mendengarnya. Pendekatan ini merupakan bagian dari metode – metode yang coba dikembangkan untuk tetap membangun semangat dari pegawai.
Ada salah satu faktor yang tidak boleh dilupakan adalah soal konsistensi keteladanan dari mereka yang menjadi role model di lembaganya. Sederet regulasi hanya akan menjadi e-book tebal yang melengkapi legal formal sebuah lembaga untuk memenuhi kebijakan yang dipersyaratkan.
Pegawai yang telah menjadikan pekerjaan dan profesinya sebagai ladang untuk menghidupi diri, keluarga dan memberi manfaat yang besar terhadap banyak orang, akan bekerja dengan tekun dan mendedikasikan segala kemampuan terbaiknya untuk pekerjaan.
Dedikasi yang merupakan bentuk curahan tenaga, pikiran dan waktu untuk keberhasilan dalam pekerjaan menjadi bagian yang menyatu dalam keseharian. Apresiasi tidak selalu ada dalam bentuk formal penghargaan, soal kepuasaan batin akan sangat dirasakan oleh mereka yang bekerja dengan hati. Beruntung sebuah lembaga mempunyai pegawai yang punya dedikasi tinggi dan mampu bersinergi dengan segala ritme pekerjaan dan tuntutan penyelesaian yang serba cepat.
Saat ini banyak lahir orang – orang pintar, lulusan dari pendidikan ternama, atau pun pekerja dengan jam terbang tinggi, hanya saja soal dedikasi tidak begitu saja tumbuh. Situasi pandemi yang berkepanjangan membutuhkan pegawai yang punya dedikasi baik untuk mampu menangkap setiap isu terkini, mencari solusi dan inovasi untuk mempersembahkan kontribusi yang lebih layak.
Dari sini akan terlihat dengan jelas siapa pegawai yang punya dedikasi dan mereka yang hanya menjadikan lembaganya sebagai tempat mencari nafkah semata. (Suroso, Mahasiswa Pascasarjana, S2 Ilmu Manajamen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto)