NTP VS Kesejahteraan Petani
- vstory
VIVA – Agragris masih menjadi sebutan bagi negara kita, dengan memperhatikan ketersediaan lahan pertanian, dan banyaknya tenaga kerja yang bergerak di sektor ini, sehingga kebijakan Pemerintah pada sektor pertanian menjadi sangat strategis dan relevan.
Di sisi lain angka yang terkait dengan pertanian yaitu Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN) dijadikan salah satu dasar dalam penyusunan RAPBN 2021. Dengan dasar tersebut, maka sudah sepantasnya anggaran sektor pertanian harus menjadi prioritas.
Peningkatan kedaulatan pangan merupakan salah satu poin penting pada program Pemerintah, yang di dalamnya mengandung makna peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan yang mempunyai peran menghasilkan bahan pangan.
Usaha harus senantiasa dilakukan dalam hal peningkatan produksi, disertai pembangunan infrastruktur pendukung yang terkait dengan upaya tersebut, dan ketersediaan faktor produksi lainnya.
NTP merupakan salah satu indikator kesejahteraan petani yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik, yaitu perbandingan antara indeks harga yang diterima dengan indeks harga yang dibayar petani.
Indeks harga yang diterima petani menunjukkan fluktuasi harga komoditas yang dihasilkan petani, sedangkan indeks harga yang dibayar petani menunjukkan fluktuasi harga barang dan jasa yang diperlukan untuk memproduksi hasil pertanian dan konsumsi rumahtangga petani.
NTP yang dihitung mencakup lima subsektor yaitu: tanaman pangan, hortikultura, tanaman perkebunanan rakyat, peternakan, dan perikanan (tangkap dan budidaya). Jika NTP bernilai ? 100, maka mengindikasikan bahwa petani mengalami surplus usaha, dan sebaliknya jika ? 100 maka petani mengalami defisit.
Kita mencoba melihat di salah satu provinsi yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta. NTP yang dirilis selama setahun terakhir oleh Badan Pusat statistik Provinsi DIY, mengalami tren penurunan, bahkan lima bulan terakhir nilai NTP berada di bawah 100, yaitu dari Desember 2020 sd April 2021, berturut-turut: 99.71, 99.20, 98.25, 97.05, dan 96.73. Hal ini mengindikasikan bahwa harga yang diterima petani lebih rendah dari biaya produksi dan konsumsi rumah tangga petani.
Jika dilihat dari sisi harga yang diterima petani (IT), terjadi trend penurunan, sementara harga yang harus dibayar petani (IB) berbanding terbalik, mengalami kenaikan cukup signifikan.
Dari data tersebut dapat dimaknai bahwa harga produk hasil pertanian menurun, sementara harga barang dan jasa yang harus dibayar petani dan biaya konsumsi rumah tangga petani semakin meningkat atau mahal.
Namun demikian, tidak serta merta dengan melihat NTP berada di bawah 100 berarti bahwa kondisi petani tidak sejahtera, atau sebaliknya jika berada di atas 100 kondisi petani semakin sejahtera, NTP hanya salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan petani.
Harga yang dipantau oleh BPS baik harga yang diterima maupun yang harus dibayar, adalah harga per satuan standar, sehingga apabila ingin melihat kesejahteraan petani secara keseluruhan, diperlukan data jumlah produksi dan kuantitas barang dan jasa yang dibutuhkan petani dalam memproduksi hasil pertanian, dan konsumsi rumah tangga.
Dengan melihat nilai NTP dan pentingnya kedaulatan pangan, serta kesejahteraan petani, maka menjadi tugas Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Daerah untuk menjaga stabilitas harga produk pertanian, dan menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh petani, serta kebutuhan konsumsi rumah tangga dengan harga yang terjangkau, sehingga sektor pertanian akan semakin kuat untuk mendukung program Pemerintah terkait ketersediaan pangan bagi bangsa Indonesia.