Hidup Glamor Tidak Menjamin Kebahagiaan Sugar Baby
- vstory
VIVA – “He love me, he give me all his money that Gucci, Prada comfy my sugar daddy” . Pasti sudah tak asing lagi bukan dengan lirik lagu tersebut?
Belakangan ini banyak orang membuat konten pada salah satu aplikasi video menggunakan lagu tersebut. Konten tersebut bertujuan untuk memamerkan barang mewah atau uang yang diberikan oleh sugar daddy mereka, atau hanya sekadar menunjukkan laki-laki yang berparas tampan dan mapan.
Istilah sugar daddy mungkin sudah tidak asing asing lagi di telinga kita, fenomena tersebut bahkan sudah ada sejak dulu. Sugar daddy sendiri diartikan sebagai seorang laki-laki mapan yang menawarkan dukungan finansial maupun materil kepada seorang wanita yang lebih muda.
Mungkin sudah tidak berlaku lagi untuk sekarang fenomena sugar daddy dan sugar baby ini seperti dongeng, didengar tapi tidak terlihat. Seperti belakangan ini trend sugar daddy banyak diperbincangkan kembali, dibuktikan dengan viralnya sebuah postingan di sebuah aplikasi video yang memberitahukan sebuah aplikasi khusus untuk mencari sugar daddy dan sugar baby, banyak orang langsung mencoba untuk mengakses aplikasi tersebut untuk mencari sugar daddy atau sugar baby atau ada pula yang hanya sekadar iseng saja.
Bisa dibilang sekarang ini menjadi sugar baby adalah pilihan untuk memenuhi kebutuhan finansial. Kemewahan membuat sejumlah wanita muda tertarik menjadi sugar baby.
Siapa sih yang tidak tergiur kemewahan apalagi dengan cara yang mudah?. Selama pandemi ini memang orang lebih memilih ingin mendapatkan uang dengan cara yang mudah. Tetapi siapa sangka kehidupan mewah dan glamor tidak menjamin kebahagiaan Sugar baby yang satu ini.
Gaya Hidup Mewah dari Sugar Daddy
Sebut saja dia Anggi (Bukan nama sebenarnya), Anggi adalah seorang sugar baby, awalnya ia tertarik menjadi sugar baby untuk memenuhi gaya hidupnya. Pada awal masuk kuliah saat ia kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jawa Barat, saat pertama kali ia mengenal dunia klub dan lainnya, karena sudah terlanjur basah akhirnya ia terlena oleh ajakan berkenalan dan penawaran menggiurkan yang datang padanya dan ia memutuskan untuk masuk dalam dunia om-om.
Anggi pernah bekerja part time menjadi pelayan sebuah kafe tetapi itu tidak cukup memenuhi biaya hidupnya secara ia tidak bisa mengimbangi gaya hidup hedonisme teman-temannya.
Sejak ia menjadi sugar baby, gaya hidup mewah yang tak pernah tersentuh pun, kini bisa ia nikmati. Penawaran yang ditawari sugar daddy pun beragam yaitu ada sistem kontrak dan sekali jalan beres tarifnya pun berbeda-beda.
Posesif Seperti Pacar
Memang tidak bisa dipungkiri jika seseorang lebih mencari pasangan yang sudah mapan secara finansial. Anggi pernah mengambil sistem kontrak dengan seorang sugar daddy yaitu seorang pengusaha.
Ketika menjalani hubungan tersebut ia harus siap sedia melayani pesan yang masuk dari sugar daddy kapanpun, tetapi ketika sedang bersama keluarga dan istrinya ia tidak boleh menghubunginya.
Untuk bertemu seminggu biasanya hanya dua kali ia bertemu itupun dengan waktunya yang tidak menentu, tetapi ketika sugar daddy tersebut mengajak makan malam atau keluar kapanpun Anggi harus menuruti dan siap, karena kalau tidak mengikuti perintahnya dia akan marah.
Selama menjalani hubungan sistem kontrak Anggi Pun dilarang bertemu atau jalan dengan teman lelakinya, menurutnya sugar daddy lebih posesif, lebih parah dari pada seorang pacar.
Memutuskan Kembali Kejalan yang Benar
Meskipun hidup mewah di sisi lain Anggi tidak menikmatinya. Menurutnya materi tidak menjamin kebahagiaannya, pengorbanannya selama ini melayani hasrat para lelaki paruh bayah hanya dibayar dengan barang-barang branded dan makanan enak saja.
Anggi memutuskan untuk berhenti menjadi sugar baby, menurutnya mengakhiri menjadi sugar baby adalah pilihan yang tepat.
“Percuma gua punya segalanya punya uang berapapun pasti ujung-ujungnya abis namanya uang panas.” Itulah perkataan yang terlontar dari mulut Anggi. Bahagia sendiri tidak butuh materi, karena kebahagiaan cukup diciptakan dengan kesederhanaan hati.