Jalan Terjal Menuju Satu Data Kependudukan
- vstory
VIVA – Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis hasil Sensus Penduduk 2020 (SP2020) bersama Kementerian Dalam Negeri pada 21 Januari 2020 dan menyiarkannya secara langsung melalui saluran Youtube resmi BPS.
Dirilisnya hasil SP2020 tersebut menunjukkan BPS telah berhasil melaksanakan sensus penduduk dengan segala keterbatasan dan penyesuaian desain sensus di tengah pandemi.
Desain awal SP2020 terbagi menjadi dua periode. Periode pertama sensus dilakukan secara online pada 15 Februari 2020 sampai dengan 31 Maret 2020. Periode kedua SP Wawancara pada bulan September 2020.
Namun karena adanya pandemi, maka terjadi banyak perubahan dalam proses bisnis pelaksanaan SP2020. Sensus online diperpanjang sampai dengan 29 Mei 2020. Sedangkan SP Wawancara diubah menjadi Pemeriksaan Daftar Penduduk tanpa wawancara dari rumah ke rumah.
Langkah Awal
Presiden Joko Widodo melalui Perpres No 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia, menginginkan agar pemerintah bisa melakukan melakukan pengumpulan, pengelolaan, dan pemanfaatan data secara akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses, dan dibagipakaikan. Dengan harapan tidak akan terjadi perdebatan mengenai perbedaan data antar instansi pemerintah.
Data penduduk adalah salah satu data dasar yang sangat dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan. Penduduk adalah subjek sekaligus objek pembangunan, sehingga data terkait penduduk haruslah data yang valid dan terpercaya.
Selama ini sering kita dengar terjadi perdebatan penggunaan data penduduk oleh instansi pemerintah. Ada yang merujuk pada data BPS, namun tidak sedikit yang merujuk pada data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).
Pada dasarnya tidak ada masalah dengan perbedaan data tersebut jika konsep definisi serta referensi waktu yang digunakan berbeda. Yang jadi persoalan adalah, banyak pengguna data yang belum melek data. Melek data berarti mampu membaca data dengan baik.
Tidak asal kutip, namun mampu memahami konsep definisi data tersebut. Karena banyak pengguna data yang masih belum melek data inilah maka terjadi perdebatan yang akhirnya menyalahkan pihak lain yang datanya dianggap tidak benar.
Dengan mengusung tema menuju satu data kependudukan, pelaksanaan SP2020 tidak lagi dilakukan oleh BPS sendiri. BPS berkolaborasi dengan Kementerian Dalam Negeri dengan memanfaatkan data penduduk dari Dirjen Dukcapil sebagai data dasar. Hal ini dilakukan BPS sebagai langkah awal untuk mewujudkan satu data kependudukan.
De facto vs de jure
Selama ini data kependudukan yang ada di Indonesia masih bersumber dari beberapa instansi, diantaranya adalah Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Perbedaan data kependudukan yang terjadi selama ini sering menjadi perdebatan publik. Alih-alih memahami alasan perbedaan data-data tersebut, beberapa pihak justru sibuk saling menyalahkan tanpa memberikan solusi.
Data kependudukan di Indonesia selama ini memang masih bersumber dari beberapa instansi/lembaga, diantaranya adalah Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Perbedaan data yang dihasilkan oleh kedua instansi/lembaga ini disebabkan oleh perbedaan konsep, definisi, dan metode pengumpulan data. Data yang dihasilkan Ditjen Dukcapil merupakan data registrasi, sedangkan data yang dihasilkan BPS berasal dari sensus/survei penduduk.
Penduduk yang dicatat oleh Ditjen Dukcapil adalah penduduk secara de jure (berdasarkan dokumen resmi kependudukan), sedangkan BPS mencatat penduduk secara de facto (berdasarkan tempat tinggal). Data yang dihasilkan tersebut tentunya memiliki manfaat dan kegunaan berbeda.
Jika data Ditjen Dukcapil yang bersifat individu berperan dalam melayani dokumen legal kependudukan, maka data BPS yang umumnya bersifat agregat berperan dalam menyediakan data dasar untuk perencanaan dan evaluasi pembangunan.
Jalan terjal
Upaya mewujudkan satu data kependudukan bukanlah hal mudah. Namun juga bukan hal mustahil untuk diwujudkan. Penyebab utama sulitnya mewujudkan satu data kependudukan adalah ego sektoral. Masing-masing lembaga merasa bahwa data yang dimilikinya adalah data yang benar.
Sehingga tidak mau menerima data dari pihak lain. Jika pun data sudah tersedia, namun lebih memilih mencari data melalui pendataan langsung dibandingkan memanfaatkan data yang sudah ada.
Selain itu, keengganan masyarakat untuk mengupdate data kependudukan melalui registrasi penduduk turut memegang andil terjadinya perbedaan data kependudukan tersebut. Masyarakat enggan mengubah status kependudukan pada dokumen resmi kependudukan seperti KTP dan KK sesuai dengan alamat tempat tinggal karena berbagai macam alasan.
Kewajiban bayar pajak kendaraan, jika pindah ada biaya mutasi, dsb. Merupakan beban tersendiri bagi masyarakat. Selain itu perbedaan fasilitas yang diterima antar wilayah, menyebabkan seseorang juga enggan mengupdate data kependudukannya.
Sebagai contoh fasilitas BPJS Kesehatan yang diberikan kepada semua warga di wilayah tertentu belum tentu diterima oleh wilayah lain. Fasilitas Pendidikan juga membuat orang enggan mengupdate data kependudukannya karena terkait sistem zonasi.
Perlu dukungan semua pihak dalam mewujudkan satu data kependudukan. Pemerintah, dengan kebijakan yang seragam antar wilayah, kebijakan perpajakan, kebijakan bidang Pendidikan, kesehatan serta banyak kebijakan lain yang bisa dibuat pemerintah untuk mendukung upaya menuju satu data kependudukan.
Apakah dengan adanya hasil sensus penduduk, mimpi mewujudkan satu data kependudukan telah tercapai? SP2020 adalah permulaan, kita lihat saja perkembangan berikutnya.