Rantai Pasok dan Kestabilan Harga Pangan

Pantauan harga di pasar tradisional oleh pemerintah daerah. (Foto/koleksi pribadi)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Akhir-akhir ini bila kita ke pasar tradisional, obrolan yang sering terlontar dari para pedagang dan konsumen berkutat pada naiknya harga cabai rawit merah yang tidak wajar.

Faktanya demikian, dari harga normal secara rata-rata pada kisaran Rp40.000 kini harga cabai rawit merah telah melambung lebih dari dua kali lipat hingga mencapai Rp92.600 (kondisi 31 Maret 2020 dari sumber: https://ews.kemendag.go.id).

Sebelum adanya lonjakan harga cabai rawit ini, produsen tempe juga dibuat kelimpungan oleh kenaikan harga kedelai impor akibat lonjakan permintaan dari Tiongkok di pasar internasional.

Sekelumit cerita tersebut sudah cukup menggambarkan betapa liarnya pergerakan harga bahan pangan volatile. Istilah volatile memang muncul dari perilaku pergerakan harganya yang cenderung bergejolak bak roller coaster, kadang naik kadang turun dengan pola yang ekstrem.

Lonjakan harga yang ekstrem seperti sekarang ini tentunya bisa berdampak negatif terhadap ketahanan pangan kita mengingat daya beli masyarakat Indonesia saat ini juga sedang turun akibat hantaman pandemi covid-19.

Inflasi Volatile Food

Sebagaimana kita ketahui bahwa BPS menghitung inflasi setiap bulannya yang dapat di-disagregasi menjadi inflasi inti, inflasi volatile dan inflasi administered price. Inflasi inti adalah komponen inflasi yang pergerakannya cenderung tetap (persisten) yang dipengaruhi faktor fundamental, sedangkan inflasi administered prices adalah inflasi barang/jasa yang perkembangan harganya diatur pemerintah.

Sementara itu inflasi volatile adalah komponen inflasi yang didominasi oleh bahan makanan sehingga lazim disebut volatile food. Contoh komoditas yang masuk komoditas pangan bergejolak ini meliputi daging ayam ras, daging sapi, beras, telur ayam ras, bawang merah, bawang putih, cabai, minyak goreng dan aneka produk pangan lain.

Saat terjadi gejolak harga, komoditas volatile food ini sering menjadi penyumbang utama inflasi nasional. Ambil contoh inflasi pada Januari 2021 yang mencapai 0,26 persen, andil terbesar inflasi tersebut berasal dari komoditas volatile food sebesar 0,19 persen.

Pergerakan harga pangan bergejolak termasuk licin dan sulit diantisipasi. Kendala stok sering menjadi salah satu penyebabnya. Produksi komoditas pangan sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca dan fluktuasi ongkos produksi. Faktor cuaca inilah yang disinyalir menjadi penyebab utama melambungnya harga volatile food di awal tahun khususnya komoditas cabai rawit. Curah hujan yang tinggi di awal tahun mengakibatkan beberapa daerah sentra cabai mengalami gagal panen.

Peran Rantai Pasok dalam Menentukan Harga

Sebenarnya penentu harga komoditas volatile ini tidak hanya dari faktor stok semata, namun juga berasal dari panjang pendeknya rantai pasok. Rantai pasok yang pendek dan efisien sebenarnya akan mampu sedikit menahan kenaikan komoditas di saat terjadi kelangkaan seperti sekarang ini. Lalu sudah seberapa efisien sebenarnya rantai pasok beberapa komoditas pangan strategis?

Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun selalu melakukan Survei Pola Distribusi (Poldis) untuk melihat rantai pasok komoditas pangan strategis seperti beras, cabai merah, bawang merah dan daging ayam ras. Dari hasil survei tersebut diketahui bahwa pola distribusi komoditas pangan di Indonesia cenderung beragam antara satu komoditas dengan komoditas yang lain.

Rantai Pasok Daging Ayam Ras

Dari hasil Survei Poldis 2020 diketahui bahwa pada tahun 2019 pola umum rantai distribusi komoditas pangan strategis terdiri dari 3 rantai. Rantai pasok paling pendek terdapat pada komoditas daging ayam ras yang hanya terdiri 2 rantai yaitu produsen-pedagang eceran-konsumen.

Penegak Hukum Diminta Bijak Ungkap Fakta di Luar Persidangan

Produsen pada rantai pasok daging ayam ras ini biasanya berbentuk rumah potong ayam (RPA). Jadi para pedagang eceran ini biasanya datang langsung ke RPA untuk kulakan daging ayam. Biasanya semakin pendek rantai pasok maka nilai Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) cenderung rendah seperti yang terjadi pada komoditas daging ayam ras ini yang secara rata-rata hanya terjadi kenaikan harga 25,53 persen untuk sampai ke tangan konsumen.

Rantai Pasok Cabai Merah

UMKM Didorong Bangun Rantai Pasok Bersama Kadin

Untuk komoditas cabai merah, rantai pasok umumnya di Indonesia terdiri dari 3 rantai yaitu produsen-pedagang pengepul-pedagang eceran-konsumen. Peran pedagang pengepul cukup besar dalam distribusi cabai merah ini. Pengepul ini berperan menghubungkan produsen yang biasanya petani gurem dengan pedagang eceran terutama pedagang pasar.

Pedagang pengepul ini juga bisa berperan sebagai tengkulak dan biasanya mengambil margin yang relatif besar. Pada banyak kasus, pedagang pengepul ini juga berinteraksi dengan pedagang luar kota yang biasa melakukan perdagangan antar wilayah.

Anindya Bakrie Pastikan Kadin Bantu Pemerintah Pulihkan Rantai Pasok Perdagangan

Provinsi perkotaan yang tidak mampu memproduksi cabai merah seperti DKI Jakarta mempunyai rantai pasok yang lebih panjang dengan melibatkan 4 rantai. Tambahan satu rantai tersebut berasal dari distributor yang merupakan pedagang antar provinsi.

Ternyata bertambahnya satu pelaku ekonomi ini berdampak pada tingginya margin perdagangan dan pengangkutan. Dari hasil Survei Poldis 2020, komoditas cabai merah di DKI Jakarta mempunyai MPP total 77,84 persen, dengan kata lain kenaikan harga cabai merah dari produsen sampai dengan konsumen akhir adalah sebesar 77,84 persen. Lain cerita dengan daerah produsen (sentra) cabai merah seperti Jawa Tengah, meskipun rantai pasoknya juga terdiri dari 4 rantai namun MPP-nya hanya 34,25 persen.

Rantai Pasok Beras

Beras merupakan komoditas pangan paling strategis di Indonesia. Bagaimana tidak, kebutuhan karbohidrat sebagian besar penduduk (87,03 persen) berasal dari beras. Beberapa provinsi sentra produksi beras seperti Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan memegang peranan penting dalam rantai pasok beras.

Secara umum, pola utama distribusi perdagangan beras di Indonesia terdiri dari 3 rantai yaitu produsen-distributor-pedagang eceran-konsumen akhir. Saat ini sebagian besar petani Indonesia masih menjual berasnya ke distributor yaitu sebanyak 37,25 persen. Di tangan distributor ini beras disebar ke beberapa pelaku ekonomi seperti pedagang eceran dan agen.

Beras yang berada di tangan agen biasanya akan membentuk rantai yang lebih panjang untuk sampai ke tangan konsumen. Namun demikian, MPP beras masih relatif rendah dibandingkan beberapa komoditas pangan lain yaitu hanya sebesar 22,34 persen.

Rantai pasok merupakan salah satu elemen penting dalam penentuan harga komoditas pangan di samping stok (produksi). Beberapa komoditas sudah mempunyai rantai pasok yang pendek dan MPP yang rendah seperti komoditas beras dan daging ayam ras, namun cabai merah cenderung mempunyai rantai yang panjang dengan MPP yang relatif besar.

Untuk mengendalikan inflasi volatile food, pada momen-momen tertentu pemerintah perlu melihat rantai pasok yang terkadang mengalami perubahan tak terduga terutama di saat terjadi gagal panen maupun momen hari raya/keagamaan. Meskipun tidak selalu bisa mengatasi lonjakan harga akibat turunnya pasokan, rantai pasok yang efisien tentu akan sedikit meredam gejolak harga yang terjadi. (Penulis: Eri Kuntoro, SST, M.Si, Statistisi Ahli Muda BPS Kabupaten Bantul)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.