Nasib Wartawan, Media di Era Digital dan Corona
- vstory
VIVA -- Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengakui, saat ini bisnis media tengah mengalami perubahan. Sehingga bisnis-bisnis yang sudah ada saat ini makin berat untuk dijalankan.
Hal itu disampaikan Erick saat menjadi pembicara dalam Rapat Kerja Nasional Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Kempinski Hotel, Jakarta, Jumat (5/3/2021) seperti dikutip CNBC Indonesia.
Yang lebih repot lagi, ya siapa lagi kalau bukan nasib sebagian teman wartawan. Sudah kerja banting tulang, siang malam di lapangan, boro-boro dapat uang pensiun, gaji saja ada yang setahun belum dibayar oleh perusahaan sampai sekarang.
"Pasti itu nasib teman kita di sebelah ya pak Nur. Tapi celakanya masih banyak juga wartawan yang mau walau tak dibayar," komentar Percoyok, seorang teman, di status Facebook saya.Â
Teman ini termasuk yang tak kuat bertahan sebagai pekerja media. Dia kini beralih profesi jadi pengacara. Mendampingi kliennya di depan polisi, jaksa hingga masuk ruang sidang pengadilan.
"Bro Nur...prihatin sekali ya kalo masih ada (banyak) nasib teman-teman kita seperti yg ente cerita. Saya bersyukur Alhamdulillah. Setelah seperempat abad mengabdi di dunia pers, saya tetap berjuang untuk bisa hidup," timpal satu teman, juga mantan wartawan.
Menurut dia, perusahaan media tempatnya bekerja kebetulan dikelola secara benar dan profesional. Saat melakukan pengurangan tenaga, dia terima uang pensiun (pesangon).
"Setelah membayar semua utang-utang, sisanya saya belikan mobil angkot bekas. Lima taon pertama berkembang, nambah satu lagi angkot. Masuk taon keenam datang wabah. Usahaku keserempet Corona. Tewas...hadeeeeh!," kata dia.
Banting Stir, Alih Profesi
Beberapa lama kemudian, si teman ini lalu banting stir jadi "angon wedus", berternak kambing domba.
"Namun di tengah-tengah kerumunan embee, saya masih suka menyalurkan hobi, menulis via medsos (Facebook misalnya). "Salam prihatin ya teman. Semangat terus," kata Djoharudin Baking, teman yang saya ceritakan di atas.
Nasib teman-teman wartawan, memang berbeda-beda. Saya sendiri hampir 40 tahun jadi wartawan, "dipaksa" pensiun dini karena korannya dijual oleh pemiliknya. Wartawan dan karyawan diberi pesangon seadanya.Â
Saya yang masa kerja hampir 40 tahun, cuma dapat 50 juta. Setelah dipotong utang koperasi dan lain-lain, sampai di rumah cuma 10 jutaan. Padahal media saya termasuk lumayan besar.
Ada lagi teman bekerja di media besar, dikelola secara benar (profesional), juga nasibnya tak jauh berbeda. Dengan datangnya Corona, kerja lebih banyak di rumah. Sekali seminggu masuk kantor. Akhirnya perusahaan merumahkan karyawan (PHK). Yang masih mau bertahan bekerja, gajinya dipotong 20 persen.Â
Jadi nasibnya juga "Betis", beda-beda tipis dengan nasib mereka yang bekerja di media besar. Itulah realitanya. Celakanya, tak ada pekerjaan yang bisa mereka lakukan di luar sana, kecuali hanya bisa tetap menulis. Menulis buku atau menulis di medsos. Itupun kalau ada "bakat" menulis hahahaha...
Kiat dan Solusi Erick Thohir
Itu sebabnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang mengaku bisnis media tengah mengalami perubahan, merasa ikut prihatin dengan kondisi ini.
"Saya pengusaha media dengan perubahan media, koran mati, radio masih oke, billboard kalau jadi digital oke, TV dengan adanya Netflix dan macam- macam, situasinya berat," kata Erick Tohir, mantan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf.
Untuk itu, menurut dia, sebuah bisnis itu dinilai harus bisa menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Namun juga dijalankan berdasarkan keahlian di bidang masing-masing.
Nah, bagaimana menurut Anda sendiri, terutama wartawan dan para mantan? (Nur Terbit).