Membludaknya Pengangguran Terdidik, Ini Solusinya!

Sumber : Freepik.com
Sumber :
  • vstory

VIVA – Indonesia sebagai negara dengan 270,2 juta penduduk tak terhindari dari berbagai masalah, salah satunya masalah ketenagakerjaan. Tingginya jumlah penduduk yang tidak diiringi dengan kesempatan kerja yang tinggi menyebabkan tingginya jumlah pengangguran.

Pengangguran menjadi masalah yang serius karena dampak dari pengangguran tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah dari sisi sosial-ekonomi. Dari sisi ekonomi, adanya pengangguran menyebabkan kemakmuran masyarakat menjadi berkurang. Bahkan dari sisi sosialnya, pengangguran dapat memicu perilaku kejahatan.

Pengangguran di Indonesia selama empat tahun terakhir didominasi oleh pengangguran bagi angkatan kerja terdidik atau yang disebut dengan pengangguran terdidik. Pengangguran terdidik tak lain ialah pengangguran dari penduduk 15 tahun ke atas yang tingkat pendidikannya SMA-sederajat ke atas.

Membludaknya Pengangguran Terdidik

Dari data Badan Pusat Statistik, pengangguran terdidik di Indonesia pada Agustus tahun 2020 tercatat sebanyak 6,27 juta jiwa atau 64,24 persen dari seluruh jumlah penganggur di Indonesia. Angka tersebut melonjak drastis hingga 34,16 persen jika dibandingkan dengan Agustus tahun 2019. Meningkatnya pengangguran terdidik tak terlepas dari dampak pandemi COVID-19 ini.

Dari membludaknya pengangguran terdidik di Indonesia, mengindikasikan bahwa lulusan SMA-sederajat dan perguruan tinggi yang diharapkan mampu memperbaiki bangsa ini ke depannya tetapi justru terjebak pada dilema pengangguran terdidik.

Dari data tersebut juga menjadi sebuah fenomena yang ironis mengingat bahwa berarti semakin tinggi pendidikan seseorang, peluang atau kemungkinan seseorang tersebut menjadi pengangguran pun semakin tinggi. Seseorang dengan pendidikan tinggi belum menjamin mereka akan mendapatkan suatu pekerjaan.

Mengapa bisa terjadi?

Pengangguran terdidik ini terjadi karena membludaknya tenaga kerja terdidik, tapi pasar kerja yang kurang untuk menampung mereka. Ditambah dari efek pandemi yang membuat banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan-perusahaan.

Selain dari membludaknya tenaga kerja, ada hal lain yang selama ini menjadi femomena yaitu kurangnya wawasan profesi.

Masyarakat kita masih banyak terjebak pada pilihan-pilihan profesi yang umum dan populer, serta cenderung abai pada berbagai pekerjaan lain yang kurang populer.

Semua berbondong-bondong memilih jurusan atau fakultas yang sedang tren di masyarakat dan diminati. Bahkan tanpa tahu dan tak acuh apakah jurusan itu benar-benar bidang yang mereka minati dan memiliki bakat di situ atau tidak.

Yang penting bagi mereka ialah populer dan menurut orang lain mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, kenyataannya justru bidang tersebut tak mampu menampung seluruhnya lulusan tersebut.

Padahal ada banyak sekali lapangan pekerjaan membutuhkan tenaga ahli pada bidangnya masing-masing, tapi sayang sumber daya manusia Indonesia belum cukup mampu untuk berpikir demikian. Sebagian besar hanya memilih jurusan berdasarkan passange grade atau kepopuleran semata.

Penelitian oleh Harvard Business Review menunjukkan bahwa seseorang yang masuk ke universitas tidak menjamin bahwa seseorang akan memiliki keterampilan yang berkualitas. Ijazah dan gelar juga tidak menjamin seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Hasil studi tersebut juga membantah tentang paradigma “yang penting lulus dan dapat ijazah, nanti cari kerja mudah”.

Saran

Sebagai masukan untuk mengatasi masalah pengangguran terdidik ini, dari sisi pemerintah, perlu meningkatkan lapangan kerja yang ada. Selain itu, yang terpenting ialah meningkatkan kualitas dari pendidikan itu sendiri dengan cara mengevaluasi baik dari sisi tenaga pengajar, sarana fasilitas dan lainnya apakah sudah sesuai standar yang diharapkan atau belum.

Dampak positif dari hal itu diharapkan seseorang yang terdidik dapat menjadi lulusan yang berkualitas sehingga dapat terserap dalam dunia kerja atau bahkan ia dapat mandiri menciptakan lapangan kerja sendiri.

Di Hadapan Gibran, Menaker Beberkan Terobosan Menekan Angka Pengangguran

Selain itu, pembukaan program studi juga sudah semestinya diperhitungkan sesuai kebutuhan. Misalnya, perguruan tinggi mesti membatasi jumlah mahasiswa dalam suatu jurusan karena jika berlebihan hanya akan menimbulkan gelombang pengangguran.

Perguruan tinggi di Indonesia juga sebaiknya berfokus pada orientasi untuk menciptakan lulusan yang memiliki kemampuan yang sesuai kebutuhan pasar lapangan kerja.

Bela KH Syarbani yang Dicap 'Pengangguran', Rabithah Melayu Banjar: Dia Aktivis Sosial, Pensiunan PNS

Tulisan ini seharusnya bisa membuat kita untuk introspeksi bagi kita semua khususnya kawula muda Indonesia tentang tujuan melanjutkan pendidikan. Apakah tujuan dari melanjutkan pendidikan setinggi mungkin itu hanya sekadar untuk mendapatkan ijazah atau lebih ironisnya hanya untuk gaya-gayaan saja.

Atau memang tujuan kita melanjutkan pendidikan itu untuk mengejar keterampilan dan meningkatkan kualitas diri sehingga dapat berkontribusi untuk negara Indonesia bukan justru menjadi beban negara.

Bursa Asia Menguat Tersengat Lonjakan Dua Indeks di Wall Street
Barang bukti OKT dan barang lainnya dari tangan tersangka DS dan RH

Lama Menganggur, Dua Warga Garut Terpaksa Jualan Obat Keras Terbatas

Diduga lama menjadi pengangguran, dua warga Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut Jawa Barat, nekat menjual obat keras terbatas (OKT) tanpa resep dokter.

img_title
VIVA.co.id
13 Januari 2025
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.