Kesejahteraan Petani Menurun Selama Pandemi
VIVA – Sebagai negara agraris, proporsi terbesar penduduk Indonesia berada pada sektor pertanian. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Februari 2020, ada sekitar 38,05 juta (29,04 persen) penduduk 15 tahun ke atas di Indonesia yang bekerja pada sektor pertanian. Hal itu menjadikan sektor pertanian adalah sektor dengan jumlah serapan tenaga kerja paling tinggi di Indonesia.
Tingginya serapan tenaga kerja pada sektor pertanian, maka perhatian pembangunan untuk meningkatkan pendapatan petani menjadi sangat relevan dan strategis. Oleh karena itu, pada setiap tahap kegiatan pembangunan pertanian, kesejahteraan petani haruslah selalu menjadi tujuan pembangunan.
Salah satu indikator yang biasa digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). NTP merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani.
Indeks harga yang diterima petani menunjukkan fluktuasi harga komoditas pertanian yang dihasilkan petani. Sedangkan indeks harga yang dibayar petani menunjukkan fluktuasi harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh petani, serta fluktuasi harga barang dan jasa yang diperlukan untuk memproduksi hasil pertanian.
Selanjutnya, NTP yang telah dihitung dibandingkan dengan angka 100. Jika indeks NTP lebih besar dari 100 poin maka pada saat itu petani mengalami surplus yang artinya tingkat kesejahteraan petani lebih baik dari yang sebelumnya dan begitu juga sebaliknya.
Selama ini, penghitungan NTP dilakukan oleh BPS dan angkanya dirilis setiap bulan. Menurut BPS, cakupan petani yang masuk dalam penghitungan NTP meliputi petani yang berusaha pada kegiatan subkategori tanaman padi dan palawija, hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan, dan perikanan (tangkap dan budidaya).
NTP yang disajikan BPS tersedia pada level nasional dan regional, sehingga dapat dihitung indikator kesejahteraan makro nasional dan regional. Selain itu, dapat pula dihitung indikator kesejahteraan masing-masing subkategori termasuk komoditas penyusunnya.
Bagaimana Perkembangan NTP selama Pandemi ?
Tak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya pandemi covid-19 ini telah berdampak hampir di semua aspek kehidupan, tak terkecuali sektor pertanian. Para petani terpaksa menelan kerugian akibat mahalnya biaya produksi sementara produk hasil pertanian mereka tidak bisa terjual secara maksimal.
Berdasarkan data BPS, NTP Indonesia pada bulan Januari sebesar 104,16 poin. Lalu, pada awal ditemukannya kasus covid-19 pertama di Indonesia, indeks NTP Indonesia turun menjadi 102,29 poin (Maret).
Kemudian, pada bulan-bulan berikutnya indeks NTP terus mengalami penurunan hingga berada di bawah nilai 100 yaitu 99,47 poin (Mei) dan 99,60 poin (Juni). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa petani di Indonesia mengalami defisit yang artinya tingkat kesejahteraan petani pada saat itu mengalami penurunan dibanding tingkat kesejahteraan petani sebelumnya.
Ada banyak faktor yang membuat indeks NTP terus turun selama pandemi, salah satunya adalah karena sedang diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dimulai pada bulan April di beberapa wilayah.
Dengan diberlakukannya PSBB, banyak pasar yang akhirnya ditutup sehingga para petani tidak dapat menjual hasil pertanian mereka. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung.
Menurutnya, kerugian petani terjadi karena beberapa faktor. Salah satunya adalah penutupan sejumlah pasar di Jakarta. Mengingat, sebagian besar hasil pertanian di Bandung dikirim ke Jakarta. Namun, selama PSBB banyak pasar yang tutup sehingga para petani tidak bisa menjual hasil panen mereka (Ayobandung.com, 24/6/2020).
Selanjutnya, pada masa awal adaptasi kebiasan baru (new normal), indeks NTP tampak menunjukkan perbaikan setelah beberapa bulan terakhir selalu mengalami penurunan. Pada bulan Juli, indeks NTP kembali berada di angka 100, yaitu 100,09 poin. Kemudian pada bulan September, tercatat bahwa indeks NTP sudah mulai membaik menjadi 101,66 poin.
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa setelah diberlakukannya masa adaptasi kebiasaan baru para petani di Indonesia kembali mengalami surplus yang artinya tingkat kesejahteraan petani pada saat itu mengalami kenaikan dibanding tingkat kesejahteraan petani sebelumnya.
Bagaimana Kebijakan Peningkatan NTP ?
Menurut Dr. Muchjidin Rahmat, peneliti utama di Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), ada dua pendekatan kebijakan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan indeks NTP yaitu kebijakan di bidang pendapatan rumah tangga petani dan kebijakan di bidang pengeluaran rumah tangga petani.
Kebijakan di bidang pendapatan rumah tangga petani yaitu meliputi peningkatan akses petani terhadap sumber pendapatan petani yang lebih beragam, pengembangan usaha tani terpadu dengan memaksimalkan pemanfaatan lahan yang terbatas, jaminan harga melalui pengembangan pola kemitraan petani-pengolah-eksportir dengan mengembangkan sistem rantai pasok, serta penyediaan infrastruktur seperti sarana jalan, pengairan dan drainase, listrik, farm road, dan telekomunikasi.
Adapun, kebijakan di bidang pengeluaran rumah tangga petani ditujukan untuk pengurangan beban pengeluaran rumah tangga, yaitu meliputi penyediaan bahan pangan yang murah, penekanan biaya pendidikan, penekanan biaya kesehatan, program rumah murah, angkutan umum murah, subsidi air bersih, listrik dan lainnya. Selain itu, untuk mengurangi biaya produksi, pemerintah perlu memberi subsidi sarana produksi (benih dan pupuk) dan subsidi bunga kredit.