Kesejahteraan Petani dalam Menyongsong Ketahanan Pangan 2021

Bekerja sama menanam padi
Sumber :
  • vstory

VIVA – Di tengah pandemi yang tak tahu kapan akan berakhirnya, kebutuhan pasokan pangan menjadi bagian krusial bagi setiap negara. Apabila kebutuhan pangan di suatu negara sudah mulai menipis, maka dapat menyebabkan kelangkaan terhadap barang kebutuhan pokok tersebut, sehingga menyebabkan harga menjadi tidak stabil.

Presentasi di Oxford Summer Courses, Verrell Bramasta Pukau Netizen

Skenario terburuknya dapat menimbulkan konflik yang berujung kekacauan. Hal itu juga dapat terjadi di Indonesia, jika pemerintah tidak sensitif terhadap keadaan kebutuhan pangan di Indonesia. Pada tahun 2021, pemerintah menganggarkan 104,2 triliun rupiah untuk membangun ketahanan pangan di Indonesia.

Dana sebanyak itu bertujuan untuk membangun sarana dan prasarana sektor pertanian, pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Selain itu, pemerintah juga berencana untuk melakukan revitalisasi sistem pangan nasional dengan memperkuat korporasi petani dan nelayan.

Kasih LKPP 2023 WTP, BPK: Ekonomi dan Sosial RI Pasca-Pandemi Relatif Pulih

Hal lain yang juga menjadi fokus pemerintah di dalam mengembangkan sistem ketahanan pangan adalah dengan membangun kawasan pangan berskala luas (food estate) dan memastikan bahwa distribusi pangan dari hulu ke hilir tidak mengalami hambatan.

Selain peningkatan fasilitas sarana dan prasarana, pemerintah juga berencana untuk meningkatkan kesejahteraan sumber daya manusia, yaitu petani. Salah satu target yang hendak dicapai, yaitu meningkatkan Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN) sebesar 102-104.

SYL Mengaku Jadi Korban Framing Opini: Seolah-olah Saya Manusia Rakus dan Maruk

Nilai tukar petani merupakan perbandingan antara nilai yang diterima petani terhadap nilai yang dibayarkan oleh petani, begitu juga dengan pengertian dari nilai tukar nelayan. Jika nilai NTP dan NTN kurang dari 100, hal itu berarti bahwa pendapatan yang diterima petani lebih sedikit dibandingkan terhadap pengeluaran yang harus dibayarkan oleh petani.

Nilai NTP Juni 2020 naik 0,13 persen menjadi 99,60. Namun, nilai NTP tersebut masih berada di bawah 100. Hal ini mengindikasikan, bahwa selama Juni 2020, pendapatan yang diperoleh oleh petani lebih sedikit dibandingkan terhadap pengeluaran yang harus dibayarkan oleh petani.

Nilai NTP selama 2020 yang kurang dari 100 terjadi sejak Mei 2020 hingga Juni 2020. NTP tertinggi di tahun 2020 terjadi pada bulan Januari 2020, yaitu sebesar 104,16. Namun, seiring berjalannya waktu, NTP selama 2020, selalu mengalami penurunan setiap bulannya hingga akhirnya dibawah 100 pada Mei 2020.

Salah satu penyebab penurunan NTP selama periode 2020 adalah harga-harga kebutuhan pokok petani yang cenderung naik, sedangkan pendapatan yang diperoleh petani cenderung konstan atau kenaikannya tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

Kenaikan harga-harga tersebut disebabkan mulai munculnya kasus covid-19 pertama pada bulan Maret 2020, sehingga muncul goncangan perekonomian berupa panic buying. Hal itu berakibat meningkatkan harga-harga kebutuhan pokok.

Banyak generasi muda Indonesia yang cenderung tidak ingin menjadi petani. Salah satu alasan utamanya adalah prospek dari kehidupan masa depan yang kurang baik dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Padahal, Indonesia memiliki lahan pertanian yang cukup besar, selain itu sektor pertanian menjadi penyumbang kedua terbesar terhadap komposisi PDB Indonesia setelah sektor industri pengolahan.

Apabila regenerasi petani Indonesia terus menurun, bukan tidak mungkin di masa depan Indonesia akan menjadi pengimpor bahan-bahan pertanian. Sebenarnya, apa yang menjadi pemicu keengganan generasi muda untuk menjadi petani?

Berdasarkan hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018, jumlah petani di Indonesia ada sebanyak 33,4 juta penduduk. Dari jumlah tersebut, terdapat 15,8 juta rumah tangga petani gurem. Rumah tangga petani gurem adalah rumah tangga yang menguasai lahan pertanian kurang dari 0,5 ha.

Banyaknya jumlah rumah tangga petani gurem di Indonesia mengindikasikan, bahwa rata-rata hasil pertanian yang diperoleh cukup sedikit bagi rumah tangga pertanian tersebut, sehingga kebanyakan hasil yang diperoleh oleh para petani hanya bisa dikonsumsi sendiri, tidak dapat diperjualbelikan untuk membeli kebutuhan pokok lainnya.

Di Indonesia tidak semua petani memiliki dan menguasai lahan pertaniannya, terdapat pekerja bebas di pertanian atau buruh pertanian yang menerima upah berupa uang atau barang dari majikan atau pemilik lahan pertanian tersebut.

Hasil dari publikasi BPS berjudul Keadaan Pekerja di Indonesia Februari 2020, menunjukkan bahwa terdapat 4,9 juta penduduk yang bekerja sebagai buruh pertanian. Dari jumlah tersebut, komposisi terbanyak sebanyak 2,2 juta adalah buruh pertanian yang hanya tamat SD.

Jumlah buruh pertanian yang hanya menamatkan pendidikan di tingkat SD tersebut masih akan terus bertahan setidaknya hingga 15 tahun ke depan. Artinya dengan kemajuan teknologi yang semakin masif dan cepat, para petani tersebut diharapkan mampu beradaptasi di dalam mengimplementasikan pemanfaatn teknologi di dalam pertanian.

Emrus Sihombing, Direktur Eksekutif EmrusCorner (tangan menunjuk)

Penegak Hukum Diminta Bijak Ungkap Fakta di Luar Persidangan

Direktur Penuntutan Jampidsus Kejagung, Sutikno mengomentari kasaksian Sandra Dewi dalam sidang dugaan korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis di salah satu televisi.

img_title
VIVA.co.id
11 Oktober 2024
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.