Penanggulangan Tindak Kekerasan di Sekolah
- vstory
VIVA – Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, menyebutkan bahwa penanggulangan adalah tindakan, cara, proses untuk menangani tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan secara sistemik dan komprehensif.
Menurut Pasal 3 Permendikbud di atas, penanggulangan tindak kekerasan di sekolah ditujukan untuk tiga kepentingan. Pertama, melindungi anak dari tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan maupun dalam kegiatan sekolah di luar lingkungan satuan pendidikan.
Kedua, mencegah anak melakukan tindakan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan maupun dalam kegiatan sekolah di luar lingkungan satuan pendidikan. Ketiga, mengatur mekanisme pencegahan, penanggulangan, dan sanksi terhadap tindakan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan yang melibatkan anak, baik sebagai korban maupun pelaku.
Tindakan kekerasan yang dimaksud di atas beragam bentuknya. Menurut Pasal 6 Permendikbud di atas,  ada sepuluh perilaku yang tergolong tindak kekerasan di lingkungan pendidikan. Perilaku tersebut antara lain pelecehan fisik, psikis atau daring, tindakan mengganggu terus-menerus, penganiayaan, perkelahian, perpeloncoan dengan mengendapkan (mengikis) tata pikiran yang dimiliki sebelumnya, pemerasan, pencabulan, pemerkosaan, tindak diskriminasi suku, agama, ras, antar golongan (SARA), dan tindak kekerasan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat. Porsi kekerasan seksual terhadap anak pada 2010 hanya 38,4 persen dari seluruh kasus kekerasan pada anak. Namun, 2013, porsinya naik hingga 53,6 persen.
Sementara itu di berbagai media massa baik cetak maupun online juga banyak ditemui bentuk-bentuk tindak kekerasan di sekolah. Kadang kekerasan dilakukan oleh guru pada siswa. Tak jarang pula sebaliknya dilakukan oleh siswa pada gurunya.
Semua fakta di atas mengindikasikan beberapa hal.
Pertama, sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak mampu mencegah tindak kekerasan di lingkungannya. Kedua, sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak mampu menanggulangi tindak kekerasan di lingkungannya. Jika indikator pertama sudah maksimal dilakukan sekolah¸maka dipastikan penanggulangannya yang kurang tepat. Lalu bagaimana penganggulangan tindak kekerasan tepat yang harus dilakukan sekolah?
Pada Pasal 9 Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015, penanggulangan tindak kekerasan harus memperhatikan enam hal. Pertama, kepentingan terbaik bagi peserta didik. Kedua, pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Ketiga, persamaan hak (tidak diskriminatif). Keempat, pendapat peserta didik. Kelima, tindakan yang bersifat edukatif dan rehabilitatif. Keenam, perlindungan terhadap hak-hak anak dan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan.
Enam hal di atas harus dijadikan pedoman sekolah dalam memberikan sanksi baik kepada guru atau siswa pelaku tindak kekerasan. Menurut Pasal 11 Ayat 1 Permendikbud ini, satuan pendidikan memberikan sanksi kepada peserta didik berupa teguran lisan, teguran tertulis dan tindakan lain yang bersifat edukatif.
Sedangkan menurut Ayat 2 dalam pasal yang sama disebutkan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat memberikan sanksi kepada pendidik atau tenaga kependidikan yang diangkat oleh satuan pendidikan atau pihak lain yang bekerja di satuan pendidikan berupa teguran lisan, teguran tertulis, pengurangan hak dan pemberhentian sementara atau tetap dari jabatan.
Yang lebih penting lagi, saat menemukan tindak kekerasan, sekolah harusnya cepat tanggap dalam mengadakan penanganan. Menurut Pasal 10 Permendikbud di atas ada delapan tindakan yang harus dilakukan sekolah. Tindakan-tindakan tersebut antara lain;
1. Wajib memberikan pertolongan terhadap korban.
2. Wajib melaporkan kepada orang tua atau wali murid baik sebagai korban atau pelaku.
3. Wajib melakukan identifikasi fakta kejadian.
4. Menindaklanjuti kasus secara proporsional. Berkoordinasi dengan pihak/lembaga terkait dalam rangka penyelesaian.
5. Wajib menjamin hak peserta didik untuk tetap mendapatkan pendidikan.
6. Wajib memfasilitasi peserta didik, baik sebagai korban maupun pelaku mendapatkan hak perlindungan hukum.
7. Wajib memberikan rehabilitasi dan/atau fasilitasi korban.
8. Wajib melaporkan kepada Dinas Pendidikan dan aparat penegak hukum setempat setempat apabila terjadi tindak kekerasan yang mengakibatkan luka fisik berat.
Masalah tindak kekerasan di lingkungan sekolah memang tidak pernah ada habisnya. Meskipun berbagai upaya pencegahan dilakukan masih saja terdengar kasus di media massa tentang tindak kekerasan di lembaga pendidikan formal ini.
Fakta-fakta tindak kekerasan harusnya juga tidak terjadi. Di Indonesia ada begitu banyak kebijakan yang mengharamkan berbagai bentuk tindak kekerasan. Harusnya itu menjadi rambu-rambu yang mencegah pelaku tindak kekerasan.
Demikianlah seharusnya standar penanggulangan tindak kekerasan di sekolah. Setiap penanggulangan tindakan harus didasarkan pada kesamaan hak dan yang paling penting sesuai prosedur dalam perundang-undangan.