Agar Tetap Stabil dalam Menjalani Hidup, Pentingkah Motivasi Diri?
- vstory
VIVA – Kita harus berani mengubah nasib. Nasib yang lebih baik tentunya. Man kana yaumuhu khairan min amsihi fahuwa rabih, siapa yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin maka ia beruntung. Jika harinya sama dengan hari kemarin fahuwa khasir, maka ia merugi.
Itulah cara kita memberikan motivasi. Berusaha untuk menjadi lebih baik. Misalnya dengan berkata, “Saya harus mempunyai wawasan yang luas,” “Saya harus selesai membaca buku ini dalam satu pekan,” dan seterusnya. Sehingga, banyak buku yang berhasil kita baca.
Untuk meningkatkan diri, pertama, belajarlah dari pengalaman. Harus mau belajar dari pengalaman. Kedua, harus mau belajar, mau berkorban, dan mau bersabar, karena semua itu diperlukan guna mencapai sebuah cita-cita. Jika tidak memiliki cita-cita, maka dalam hidupnya, ia asal ikut saja.
Bahkan, sebagai seorang guru, dalam mengajar pun, ia asal mengajar. Ritme hidupnya cuma minal hujrah ilal fasl wa ilal masjid wal ghayr, keluar dari kamar menuju kelas, lalu ke masjid dan tempat lainnya. Jika seperti ini, maka hidupnya akan menjadi repot dan tidak memberi banyak manfaat.
Bacalah, karena dengan membaca wawasan kita akan menjadi luas. Membawa buku dan membacanya ketika naik pesawat terbang. Ini lebih baik dari pada mengantuk. Orang Jepang kalau naik kereta atau bus biasa membaca buku. Apalagi jika memakan waktu setengah jam, satu jam atau lebih.
Maka tidak heran, apabila di setiap stasiun kereta atau bus terdapat penjual buku dan keranjang sampah untuk buku. Setelah diperkirakan akan selesai membaca buku dalam waktu sekian maka setelah selesai ia akan membuangnya di tempat sampah buku. Kemudian membeli buku lagi.
Begitulah orang Jepang yang senang membaca buku. Selalu ada yang menjual buku dan tempat untuk membuang buku di setiap stasiunnya. Demikian juga orang Perancis, Belanda, dan lain lainnya. Tapi konon katanya tidak ada masyarakat yang punya budaya membaca sehebat orang Jepang.
Memotivasi diri sebetulnya bisa dilakukan dengan fokus kepada cita-cita kita. Maka merugilah orang yang tidak memiliki cita-cita dalam hidupnya. Cita-cita itu ada yang idealis dan ada pula yang pragmatis. Contohnya, “Setelah lulus kuliah, saya ingin ke luar negeri,” “Setelah lulus S1 saya ingin melanjutkan ke Pakistan atau Qatar,” atau “Setelah lulus S1 saya mau nikah.” Boleh tidak bercita-cita seperti itu? Tentu saja boleh, maka aturlah semuanya.
Tapi, selain itu harus memantapkan dalam diri, “Saya harus lulus S1 dengan predikat sangat baik,” atau “Saya harus mempunyai pengalaman yang dahsyat, berwawasan luas, keterampilan mengajar yang hebat dan keterampilan kepemimpinan yang prima,” dan lain sebagainya. Jangan sampai seperti kapas yang diterpa angin.
Untuk itu, diperlukan kesabaran dan ketekunan dalam meniti karier. Ingatlah tujuan semula meski tujuan itu bisa berubah dan berkembang. Jadi, cita-cita itu ada yang idealis dan ada juga yang pragmatis. Maka pintar-pintarlah kita memotivasi diri supaya kita berkembang, berubah, dan mempunyai prestasi.
Sebenarnya, kita semua mempunyai potensi dan mampu berbuat banyak hal. Mampu berbuat yang baik-baik. Keterampilan demi keterampilan telah dibekali selama berada di bangku sekolah, maupun kuliah. Berupa keterampilan hidup, berorganisasi dan macam-macam keterampilan lainnya. Maka tinggal pintar-pintarlah memotivasi diri.