APKASINDO: Tarif PNBP Kehutanan Memberatkan Petani Sawit

Hasil panen petani sawit (Foto/DPP APKASINDO)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Pasca terbitnya UUCK November 2021 dan turunannya di tahun 2021 telah membangkitkan semangat petani tentang masa depan usaha tani sawit yang sudah digeluti puluhan. Mimpi menjadi petani sawit yang mempunyai legalitas lahan telah di depan mata.

Tingkatkan Ketahanan Pangan, Wamentan Sudaryono Ajak Petani Sawit Tanam Padi Gogo

Apalagi dengan semakin dekatnya penerapan Perpres ISPO Nomor 44 Tahun 2020 tentang wajib sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di tahun 2025, yang per bulan ini sudah berjalan 1,5 tahun sejak diundangkan, yang artinya waktu menuju wajib ISPO tinggal 3,5 tahun lagi.

Sebagai tindaklanjut dari UUCK ini sebagaimana di uraikan di PP dan Permen LHK adalah denda administrasi dan PSDH-DR. Sebagai lanjutan dari Pasal 110A dan 110B dalam UUCK, maka Dirjen Planologi telah bersurat ke Sekjend Kementerian LHK perihal PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) dengan Nomor S-509/2021, tentang Tarif PNBP untuk penggunaan Kawasan Hutan dan Pelepasan Kawasan hutan, hasil arahan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, di mana surat ini sudah beredar luas di media sosial.

Tragis! Petani Sawit Jadi Korban Ular Piton di Muaro Jambi

Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Dr. Ir. Gulat Manurung, MP.,C.APO yang akrab dipanggil GM, ketika dihubungi memberikan tanggapan perihal Surat tarif PNBP tersebut.

“Ya benar, kami sangat bersemangat pasca terbitnya UUCK tersebut, bahkan saat kami petani sawit mendukung proses penggodokan dan pengesahan UUCK tersebut tahun 2020, kami Petani Sawit ditertawain banyak orang, namun kami membusungkan dada sambil mengepal tangan pertanda tangguh dan setara ketika itu.

Petani Sawit Dilatih Promosikan Praktik Perkebunan Terbaik Berkelanjutan

Tapi yang terjadi setelah beredarnya di media sosial surat tarif PNBP Kehutanan tersebut, kami kembali ditertawain, namun kali ini kami sedih karena kami Petani sawit merasa terlampau berat sekali beban tanggungan kami. Kami ini Petani sawit yang serba keterbatasan, jadi kalau disamaratakan dengan korporasi, kami sangat berkeberatan,” ujar GM.

Lanjut GM, petani sawit untuk memahami Pasal 110A dan 110B UUCK dan turunannya saja sudah kebingungan, apalagi dengan tabel tarif PNBP ini. Ini baru taraf memahami lho, belum pada taraf sanggup atau tidaknya, angka-angka PNBP Kehutanan ini perlu ditinjau ulang, apa dasar dan variabelnya.

Semangat dan harapan petani sawit tersebut seakan sirna setelah beredarnya di medsos surat dari KLHK Nomor S-509/2021 tersebut.  Semua petani sawit terkejut, menimbulkan kecemasan dan kegaduhan, terkhusus petani yang masih terjebak dengan nama kawasan hutan.

Pihak APKASINDO segera berkirim surat ke Menteri Keuangan dan Menteri LHK tentang argumen penetapan besaran tarif PNBP ini. 

“Kami akan mengedepankan komunikasi dulu, sebagaimana seperti pembahasan PP dan Permen LHK Turunan UUCK dulu, demo adalah pilihan terakhir,” ujar GM.

“Saya secara pribadi malunya dua kali, pertama sebagai petani yang mendukung pengesahan UUCK dan turunannya. Kedua sebagai Ketua Bravo-5 Riau Relawan Jokowi-Amin. Karena sebagai relawan tentu kami dua tahun lalu dengan bangga menyampaikan program-program strategis Pak Jokowi dan Pak Makruf Amin bidang perkebunan sawit ke masyarakat luas. Lha saat membaca surat tarif PNBP Kehutanan ini pikiran saya entah melayang ke mana, langsung turun imun kami petani sawit.

Namun saya yakin Pak Jokowi dan Pak Maaruf Amin sebagai Presiden dan Wapres belum mengetahui tarif PNBP Kehutanan tersebut. Pak Jokowi dan Pak Maaruf Amin pasti akan berlaku adil perihal Draft Tarif PNBP tersebut,” ungkap GM dengan yakin.

Lebih lanjut GM menguraikan areal perkebunan kelapa sawit Indonesia menurut Menteri Pertanian (2019) adalah seluas 16.381.957 hektar dan yang terindikasi dalam kawasan hutan luasnya 3,4 juta hektare (20,75%) di mana 2,6 juta hektare di antaranya tanpa izin.

Yang 2,6 juta hektar ini identik dengan pekebun (petani), karena memang pekebun tidak wajib memiliki izin sebagaimana korporasi dan menurut data juga diketahui bahwa 68?ri 3,4 juta ha tersebut adalah pekebun.

Adapun sebaran perkebunan sawit dalam Kawasan hutan tersebut antara lain di hutan konservasi (HK) luasnya 97.913 hektar (3%), di hutan lindung (HL) luasnya 155.119 hektar (4%), dihutan produksi tetap (HPTT) seluas 501.572 hektar (44%), di hutan produksi terbatas (HPTB) seluas 1.497.421 hektar (15%) dan di hutan produksi konversi (HPK) seluas 1.127.428 hektar (34%), dari data ini dominasi sawit itu berada di Kawasan Hutan Produksi (93%), kecil sekali dikawasan hutan Lindung dan konservasi.

Dandan Ardi, Sekretaris DPW APKASINDO Kalimantan Tengah, ketika dihubungi mengungkapkan rasa kekecewaannya,  Tidak habis pikir membaca tarif PNBP Kehutanan tersebut, ini keterlaluan. Bagaimana mungkin kami petani bisa membayar tarif PNBP yang sebegitu besar, per tahun pula, sama saja ingin mematikan kami petani sawit yang terjebak dalam Kawasan hutan.

Kami juga sebagai petani tidak ingin berkebun dalam Kawasan hutan, tapi kami kan mana tau mana batas-batas hutan dan bukan hutan, toh juga kami ketika menanam sawit tidak ada menumbang tanaman hutan, sebab saat kami menanam sawit di lahan tersebut sudah tidak berhutan. Harusnya orang Kehutanan itu yang dihukum karena lalai melaksanakan tugasnya jangan malah kami petani yang di denda dan juga di kenakan PNBP,” ujar Dandan dengan logat Dayak.

Demikian juga dengan Sofyan Abdullah, Ketua APKASINDO Aceh dan Dorteus Paiki dari Papua Barat, mengatakan bahwa petani sawit itu pahlawan dan sudah berperang untuk negara dengan berkebun sawit sebagai penyelamat ekonomi Indonesia, terkhusus disaat pandemic covid ini.

Kalau dihitung tarif PNBP tersebut, dipastikan sampai kapanpun petani tidak akan mampu membayarnya, jangankan 4 juta, 500 ribu rupiah per hektar per tahun pun belum tentu punya uang untuk itu, belum lagi denda administrasi dan PSDH-DR sebagaimana Pasal 110A dan 110B UUCK.

GM melihat bahwa penerapan denda dan PNBP ini sangat berpotensi mengagalkan banyak program strategis Presiden. antara lain Program PSR (Peremajaan Sawit Rakyat), karena 84% Petani gagal (ditolak) usul PSR karena diklaim dalam Kawasan hutan karena syarat PSR adalah harus bukan Kawasan hutan.

Demikian juga dengan Ketahahan Energi dan Program Biodisel melalui Program Stranas EBT (Energi Baru Terbarukan), karena petani sawit akan terhenti produksi TBS nya karena aspek legalitas yang akan tegas di tahun 2025 sebagai implementasi Perpres 44 wajib ISPO bagi pekebun (RAN).

“Ya memang demikian, karena jika tidak membayar denda sebagaimana tertuang di Pasal 110A dan 110B (tipologi 1 dan tipologi 2) maka legalitas lahan petani tetap akan disebut illegal. Tentu hal ini akan menjadi ancaman bagi kami petani sawit, apalagi muncul tarif PNBP ini,” tegas GM.

Sebagai contoh, jika Petani A masuk tipologi 1 yang dikenakan adalah Pasal 110A yaitu hanya dikenakan denda PSDH-DR dan pasangannya di Tarif PNBP ini adalah Tabel C (Poin B di Tabel Tarif PNBP Kehutanan) dengan tarif Rp.13.449.640, jadi tarif ini hanya sekali bayar karena lahan si petani A langsung pelepasan kawasan.

Tapi jika si Petani B tersebut masuk ke Tipologi 2 (Pasal 110B) maka selain membayar denda PSDH-DR, juga membayar denda administrasi (Denda = luas kebun x Masa Usia TM x Tarif Denda).

Setelah denda ini dibayar si petani B, maka lanjut membayar Tarif PNBP yaitu Rp.4.350.000/tahun (Tabel A Tarif PNBP). Kenapa si petani A dan si Petani B berbeda tarif PNBP nya? jawabannya karena beda Resolusi penyelesaian keterlanjuran sawit dalam Kawasan hutan nya (Tipologi).

Jadi di UUCK dan turunannya tersebut ada 4 Tipologi Resolusinya dan masing-masingnya membedakan tipologi permasalahan sawitnya yang terjebak dalam Kawasan hutan, “jadi ini patokan penetapan tarif PNBP nya, itulah sepemahaman saya,” jelas GM.

Jadi untuk Tarif PNBP si petani B ini ibaratnya STNK lah, membayar PNBP setiap tahun sebesar Rp.4,350 juta, yang terhitung setelah Pasal 110B tadi dibayar si Petani B tersebut.

Jadi kalau sisa usia produktifnya 10 tahun lagi maka selama itulah membayar STNK nya per tahun, karena di Pasal 110B ini kan tetap Kawasan hutan (tidak dilepas) hanya dikasi pinjam selama satu daur “ya kira-kira uang sewa kontrakanlah mungkin menurut Ibu Menteri Kehutanan dan Ibu Menteri Keuangan,” ujar GM sambil tertawa.

Gulat Manurung menjelaskan terkait PSR, jika katakan saja petani B memiliki kebun 8 ha dalam Kawasan hutan. Lalu mengusulkan ikut program PSR 4 ha nya (karena sawitnya sudah berumur 28 tahun), maka petani B akan terlebih dahulu membebaskan klaim dari Kawasan hutan dengan membayar denda sebagaimana dalam Pasal 110B dan selanjutnya membayar tarif PNBP tersebut Rp.4.350.000/ha/tahun (dihitung kedepannya dan tidak berlaku surut).

Maka pengali Pasal 110B nya adalah 1 ha x Rp.1,5juta (asumsi keuntungan Petani B per ha/tahun) x 20 tahun (masa tanaman menghasilkan) = Rp.30juta x 4ha calon lahan PSR si Petani B (Rp120juta).

Sementara jika 4 ha ikut PSR maka dana yang diterima Petani B dari BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) adalah Rp.30jt x 4 ha = Rp.120juta. Kan impas namanya ini?, belum lagi dengan “sewa tanah” (PNBP) Rp. 4,350juta/ha/tahun tadi.

Masak petani kampung ini disamakan dengan Korporasi yang full manajemen, atau jangan-jangan juga sama-sama berkeberatan?. Perlu juga dicatat bahwa asumsi keuntungan 20% yang 1,5juta/tahun tersebut jika harga TBS Rp.3.500/kg.

“Kami akan membahas draft tarif PNBP ini, kami DPP APKASINDO segera mengundang Pakar-Pakar PNBP dan Kebijakan Kehutanan untuk kami mintai pendapat, biasanya kalau kami Petani yang bermohon ke pakar-pakar dengan senang hati dilayani, ini karena mereka tahu kami adalah petani yang sudah berjasa untuk negara dan lingkungan hidup.

Hasil dengar pendapat (diskusi) ini akan kami ramu dalam bentuk surat yang kami tujukan ke Kementerian Keuangan dan KLHK, “kami akan mengedepankan komunikasi dalam menyampaikan pendapat, biar nampak petani sawit saat ini sudah Generasi kedua,” ujar GM.

“Kalau tarif PNBP ini dipaksakan maka kami petani sawit menyerah sajalah, kami petani sawit sudah capek bersoal terus dengan kawasan hutan, sementara Bapak kami Kementerian Pertanian tidak bisa berbuat banyak menolong kami petani sawit, entah mungkin sudah dianggap sawit itu tanaman kehutanan,” tutup GM.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.