Kontribusi Besar Sawit di Tengah Pandemi COVID-19
- vstory
VIVA – Badai Pandemi dan dampak multi efeknya sangat terasa bagi semua negara dan umat manusia, tanpa kecuali Indonesia. Lesu layunya perekonomian nasional akibat pandemi Covid-19 sudah dirasakan sejak awal tahun 2020, bahkan perekonomian Indonesia sempat minus di 2020 (triwulan IV 2020 sebesar -2,19%, yoy) dan kerja keras semua lini yang saling topang akhirnya Ekonomi Indonesia pada triwulan II-2021 terhadap triwulan II-2020 mengalami pertumbuhan sebesar 7,07 persen (y-on-y).
Ini menjadi harapan baru ke depannya. Salah satu kunci keberhasilan Indonesia menghindar dari keterpurukan perekonomian saat pandemik Covid-19 dan stabilnya neraca devisa negara terbesar yang diterima negara ini adalah dari tanaman kelapa sawit.
Hasil penelitian Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute, PASPI (2021), mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di kabupaten kota yang memiliki perkebunan kelapa sawit cenderung lebih baik dibandingkan dengan kabupaten kota yang tidak memiliki perkebunan sawit, dan pertumbuhan ini lebih kontras perbedaannya di saat wabah Covid-19 melanda semua daerah dan negara.
10 provinsi yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru seiring dengan berkembangnya industri sawit di daerah adalah Aceh, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Papua dan Papua Barat, kesepuluh provinsi ini memiliki elastisitas pertumbuhan ekonomi di atas provinsi yang tanpa perkebunan sawit terkhusus di saat pandemic covid.
Terkhusus kabupaten kota yang memiliki sentra sawit perkembangannya lebih cepat dibandingkan dengan kabupaten kota yang tidak memiliki sawit. Ini hasil penelitian secara empiris dan hasilnya sama dengan penelitian World Bank (Bank Dunia).
Hasil penelitian APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) di tiga Provinsi Sawit (Riau, Kalimantan Barat dan Sulawesi Barat), rerata pendapatan bersih petani sawit/ha/bulannya Rp.1.485.000 (dihitung pada bulan Juli 2021), di mana rata-rata kepemilikan petani hasil survei tersebut adalah 4,18 ha yang artinya per bulan petani mendapat penghasilan bersih Rp.6.207.300 dengan tingkat keberlanjutan (sustainability) aspek ekonomi, ekologi dan sosial masuk dalam kategori sangat berkelanjutan. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia 42% (hampir 7 juta ha) dikelola oleh Pekebun (masyarakat) memberikan kontribusi besar untuk perekonomian Indonesia.
“Makanya di beberapa seminar saya selalu menekankan kepada korporasi bahwa “menyengsarakan Petani Sawit sama dengan mematikan sawit Indonesia”, tegas Ketum Apkasindo Gulat ME Manurung.
Menurut Gulat ini menjadi referensi NGO-NGO luar negeri untuk atur strategi. Data lain yang terungkap adalah bahwa 1 ha kebun sawit masyarakat itu sama dengan 1.000 ha kebun sawit korporasi manfaatnya terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat sekitar perkebunan sawit tersebut, oleh karena itu tidak heran jika dari hasil penelitian kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Riau dengan APKASINDO (2021) bahwa perkebunan sawit masyarakat nilai keberlanjutannya lebih tinggi dibandingkan kebun sawit korporasi.
Data BPS (2020) menunjukkan di tengah menurunnya pertumbuhan ekonomi global dan nasional, justru industri perkebunan kelapa sawit tetap kokoh berdiri tegak dan berjalan normal. Industri sawit yang paling tangguh di negeri ini dan sebagai andalan bangsa.
Kendati Tangguh bertahan di tengah pandemi Covid-19, masih ada tantangan bagi industri sawit, khususnya dalam pemasaran dan serapan produk minyak sawit tidak hanya terpaku ke CPO dan B-30, baik pasar dalam negeri maupun luar negeri.
"Harus ada usaha besar-besaran menciptakan demand dalam negeri dan luar negeri. Bukan hanya memelihara (serapan) pasar yang sudah ada, tapi juga membuka pasar baru dan BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) sebagai andalan terdepan dalam hal ini," Indonesia sangat bijak ketika mendirikan BPDPKS 6 tahun yang lalu, tanpa BPDPKS sulit terbayangkan harga CPO Indonesia saat ini, ujar Gulat.
Sawit tidak mensyukuri pandemi Covid-19 ini, tapi faktanya "dengan adanya Covid-19, negara penghasil minyak nabati lainnya seperti Brasil, Argentina dan Negara UE lainnya mengalami penurunan produksi dan di saat yang bersamaan permintaan CPO sebagai bahan baku obat dan keperluan kesehatan lainnya meningkat signifikan," tuturnya.