Social Distancing Teman Para Introvert, Mitos atau Fakta?
- vstory
VIVA – Banyak yang menganggap, jika social distancing adalah sebuah keuntungan bagi para introvert. Memang ada kemungkinan seorang introvert merasa lebih nyaman, jika meminimalisir interaksi dengan orang lain dan menghabiskan lebih banyak waktu sendiri.
Tetapi, apakah itu berarti mereka baik-baik saja dalam menghadapi keadaan saat ini dan menjalankan batasan-batasan sosial yang ada? Menghindari dari interaksi sosial dan tetap berada dalam rumah mungkin terlihat seperti sebuah hal yang biasa bagi orang-orang berkepribadian introvert.
Ditambah lagi dengan kondisi saat ini yang menghambat mereka untuk melakukan interaksi normal dengan satu sama lain. Jadi, para introvert memiliki kesempatan untuk menghabiskan sebagian besar waktu mereka dengan dirinya sendiri tanpa ada gangguan dari orang lain, dan tanpa adanya rasa lelah yang disebabkan dari interaksi langsung dengan banyak orang dalam kehidupan sehari-harinya.
Mereka dapat menikmati waktu di dalam zona nyaman mereka dan mengeksplorasi pemikiran yang dalam, bahkan mengembangkan ide-ide yang mereka punya menjadi karya-karya yang luar biasa.
Sejak awal pandemi Covid-19, banyak meme yang merambat di dunia maya tentang para introvert yang menikmati social distancing dan pembatasan interaksi langsung dengan orang lain. Bahkan, ada pula meme dengan kasus yang sama dalam bentuk video yang sudah dilihat sebanyak jutaan kali di aplikasi TikTok.
Tetapi pertanyaannya adalah, apakah social distancing benar-benar ‘surga’ dari para introvert?
Matthias Mehl, profesor psikologi di University of Arizona mengungkapkan bahwa memang betul para introvert rata-rata memiliki lebih sedikit interaksi sosial dibandingkan para ekstrovert, tetapi bukan berarti social distancing adalah sesuatu yang biasa untuk para introvert.
Sama seperti para ekstrovert, ternyata para introvert juga mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang berlangsung saat ini. Para introvert mungkin menikmati berada dalam zona nyaman mereka dengan mengurangi interaksi yang membuat mereka merasa lebih cepat lelah, tetapi ternyata bukan dalam keadaan seperti ini.
Psikolog klinis Abisha Fernandes menyatakan, bahwa para introvert mungkin lebih suka berada di dalam ruangan dan lebih sedikit bersosialisasi, tetapi mereka juga merindukan rutinitas dan pergi keluar.
Fernandes juga mengatakan bahwa gagasan dimana mereka tidak boleh terpengaruh oleh social distancing karena mereka mempunyai kepribadian introvert menambah beban untuk para introvert, dan membuat mereka bertanya, ‘Bukankah seharusnya saya suka berada di rumah?’.
Saat ini, mereka harus menjaga jarak dari orang lain bukan berdasarkan keinginan mereka sendiri, tetapi karena keadaan yang memaksa mereka untuk melaksanakan pembatasan sosial tersebut.
Maka dari itu, para introvert juga sedang merasa stress. Ditambah lagi terbeban oleh pernyataan stereotip yang menganggap bahwa introvert pasti tidak terpengaruh oleh social distancing karena sudah terbiasa.
Sebenarnya, masih banyak orang yang salah paham dengan pengertian dari introvert. Introvert bukan berarti anti sosial, tetapi lebih merupakan kepribadian seseorang yang reflektif dan soliter, dimana mereka membutuhkan ketenangan untuk mengisi kembali energi mereka. Jadi, orang yang berkepribadian introvert belum tentu pendiam, penyendiri, dan tidak suka bergaul dengan orang lain.
Semua orang, introvert maupun ekstrovert, membutuhkan interaksi sehari-hari dan kehidupan sosial untuk menjaga kondisi mental mereka agar tetap baik. Maka dari itu, bukan hanya para ekstrovert, tapi para introvert pun merasa lelah dengan situasi saat ini.
Mereka tidak bisa bertemu orang-orang, rencana yang sudah dirancang harus dibatalkan, dan tujuan yang ingin mereka capai juga tertunda. Sama seperti yang lainnya, mereka juga ingin keluar, ingin beraktivitas, dan menjalankan rencana-rencana mereka. Tetapi social distancing membuat mereka tidak tenang untuk menjalankan rutinitas mereka seperti biasa.
Dalam keadaan pandemi global yang berkepanjangan seperti ini, perasaan “bebas” sudah berubah menjadi perasaan “cemas” karena pandemi telah berlangsung selama berbulan-bulan, dan sampai sata ini, penghujung dari pandemi masih belum terlihat. Perpanjangan pembatasan sosial karena pandemi yang berkepanjangan ini membuat semua orang kesulitan untuk tetap tenang dan berjuang.