Menyampaikan Titipan Salam di Rumah Allah
- vstory
VIVA - Desember tahun lalu, kutitip rindu pada langit yang kutatap. Kemarin, aku bergegas ingin mengunduh rindu itu. Tak peduli terik yang membakar kulit dan memudarkan fokus pandang. Lelah karena kurang tidur selama perjalanan 9 jam, sepertinya tak terasa begitu melihat langit di atas Nabawi. Payung peneduh khas yang bisa buka tutup otomatis ini mempercepat langkah menuju masjid terbesar di Kota Madinah itu.
Rindu yang kutitip pada langit yang kutatap itu tak lain tertuju kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Pemimpin yang mencintai umatnya. Manusia pilihan yang di kala ajal hendak menjemputnya masih memikirkan ummatnya. Singkat waktu, tibalah raga ini berada di atas karpet hijau. Penanda Raudhah, salah satu tempat mustajab untuk berdoa.
Hanya beberapa meter saja dari makam Muhammad, sosok yang terus mengalir kebajikan dari dirinya walau sudah tiada. Pelan dan khidmat kutumpahkan rindu melalui doa dan selawat untuknya. Bisa (seolah) berada di dekatnya saja sudah luar biasa bahagianya. Dalam khusyuk, hanya berharap syafaatnya bisa menaungi sisa umur dan setelah mati nanti.
Dalam radius terijabahnya doa ini, kusampaikan titipan salam dari teman dan handai tolan. Setelah hari berganti, dengan mencukupkan istirahat malam secukupnya, dini hari kembali ingin melepas rindu ini. Alhamdulillah, bisa dengan mudah bersimpuh lagi di permadani hijau itu. Kali ini berdampingan dengan seorang sepuh bernama Muhammad Syukri.
Kakek asal Lumajang ini mengungkapkan selalu istikamah mendoakan Muhammad kekasihnya, sejak usia 15 tahun atau mulai sekitar 1962 dengan merujuk naskah dan doa-doa pada kitab Dalailul Khoirot. Pagi dini hari kemarin, kami berdua mengeja kalimat demi kalimat wirid Kamis untuk kekasih kami, idola jutaan orang, termasuk mereka yang dari kejauhan menitip salam.