Kisah Penjual Sate Keliling di Stasiun Depok Lama
VIVA – Tak kenal Lelah dan tak juga kalah oleh teriknya panas matahari di siang hari, Pak Rachmat Sugandi tetap saja berjualan sate di Stasiun Depok Lama. Ia berjualan mulai dari jam 8 pagi hingga jam 9 malam. Ia adalah pria berumur 57 tahun, berparas lelah, berkumis tebal, dan memiliki suara berat.
Ia bercita-cita untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus kuliah. Bahkan bermimpi ingin menguliahkan anaknya di luar negeri. Agar tidak sama seperti ayahnya yang hanya seorang penjual sate dan minuman keliling ini.
Sedikit demi sedikit uang yang didapat dari berjualan dikumpulkannya. Dari uang itulah Pak Rachmat dapat menyekolahkan kedua anaknya. Kesadaran akan sebuah pendidikan yang utama membuat ia banting tulang untuk mencukupi kebutuhan sekolah kedua anaknya yang dirasakannya memang sangat berat.
Namun, pria yang lahir di Pasar Minggu, Jakarta Selatan itu tak patah semangat. Banyak tetangga-tetangganya yang mencibir keinginan keras Pak Rachmat untuk menyekolahkan kedua anaknya hingga ke pendidikan yang tinggi. Biaya sekolah yang sekarang semakin tinggi membuat Rachmat sesekali berutang ke tetangganya.
Kesuksesan dari sebuah perjuangan besar. Hanya dengan berjualan sate dan minuman dingin, ternyata mampu mewujudkan cita-cita seorang bapak untuk menyediakan pendidikan yang luar biasa untuk anak-anaknya. Ia sudah menjalani pekerjaannya ini sejak 1980. Awalnya, bapak berkumis tebal ini menjual sate di daerah Jatinegara.
Tidak hanya menjual sate, Bapak Rachmat Sugandi jual menjual beraneka macam minuman ringan yang dingin yang diyakininya akan laku karena ia menjual di tempat yang terkenal panas pada saat itu, yakni di Pasar Jatinegara. Sudah banyak tempat yang dia singgahi. Mulai dari Jatinegara, Pasar Rebo, Pasar Cisalak, hingga saat ini berada di dekat Stasiun Depok lama.
Bukan tanpa alasan, penjual sate keliling ini berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Karena masalah biaya keamanan yang diminta oleh preman-preman sekitar. Selain itu, ia tidak hanya berjualan menetap di satu tempat saja. Jika sudah jam 5 sore, ia akan berkeliling ke warga di daerah sekitar untuk menjajakan dagangannya.
Penjual sate ini tinggal di daerah pemukiman Kelapa Dua, Depok. Awalnya ia tinggal di Cibubur, namun karena masalah ekonomi, ia pun pindah ke Kelapa Dua Depok karena ada rumah kontrakan dengan harga yang sangat terjangkau di sana. Ia tinggal bersama dua orang anak perempuannya, Siti dan Ayu. Mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar di Depok.
Siti berada di bangku Sekolah Dasar kelas 6, sedangkan Ayu masih di kelas 2. Tak lepas dari itu, kedua anaknya sering mendapat bully-an dari teman sekelasnya. Mereka sering mengolok-olok Siti dan Ayu sebagai anak seorang pedagang sate keliling. Padahal, di balik bully-an tersebut ada perjuangan yang sangat keras yang dilakukan orang tuanya.
Bapak berparas lelah ini sudah ditinggal istrinya sejak empat tahun silam. Karena sang istri tidak suka dengan pekerjaan Pak Rachmat yang kurang menghasilkan. Istrinya pun akhirnya meninggalkan Pak Rachmat bersama kedua anaknya.
Kabar terakhir, Syifa, mantan istrinya ini, sudah menikah lagi dengan duda lain di daerah Jagakarsa dan sudah memiliki tiga orang anak. “Syifa sudah nikah sama duda di Jagakarsa kata tetangga saya. Anaknya sudah tiga dan masih kecil-kecil,” ujarnya dengan nada yang menurun mengungkapkan perasaan sedih.
Pak Rachmat hanya bersekolah hingga bangku SMP. Bukannya tidak mau bekerja kantoran, ia sudah banyak melamar pekerjaan sebagai kasir atau sebagai kurir di sebuah jasa antar barang, namun tidak membuahkan hasil. Oleh karena itu, ia hanya bisa menjual makanan dan minuman saja di daerah yang ramai seperti pasar dan stasiun kereta.
Bapak bertopi bundar ini pernah bekerja di sebuah pabrik saus, namun hanya berlangsung selama 11 bulan. Ia berhenti karena di PHK oleh perusahaannya yang akan terancam bangkrut karena tersandung kasus saus berbahan kimia yang pada saat itu sedang marak diberantas oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Setelah di PHK, ia mulai berpikir kalau peluang dalam berjualan di tempat yang ramai mungkin akan menguntungkan. Namun sayangnya, tidak semua sesuai dengan perkiraannya. Pertama kali ia berjualan di Pasar Jatinegara, ia diusir oleh preman karena tidak tahu jika harus membayar uang keamanan.
Satu tahun ia berjualan di Pasar Jatinegara, kemudian ia pindah karena terkena program penggusuran oleh Pemerintah setempat. “Dulu diusir-usirin sama Satpol PP, soalnya pedagang-pedagang pada jualan sampai ke jalan raya. Malah trotoar sampai enggak bisa dilewati pejalan kaki, Mas.” Jelas Pak Rachmat. Akhirnya, ia pun pindah ke Pasar Rebo selama 8 bulan. Lalu pindah ke Depok, karena tuntutan biaya kontrakannya di Cibubur yang tinggi.
Setelah pindah ke Depok, ia hanya berjualan keliling di daerahnya yaitu Kelapa Dua, tepatnya di dekat Brimob Kelapa Dua. Setelah sekian lama ia berjualan keliling di daerah tersebut, ia pun pindah ke Stasiun Depok lama. Karena ia berpikir dagangannya akan laris, karena di sana banyak orang yang mungkin ingin membeli sate atau minuman dingin yang dijualnya.
Proses berpindah-pindah ini tidaklah semulus yang dikira. Masih banyak perjuangan yang harus dilalui oleh bapak berbadan gemuk ini. Contohnya, saat ia masuk ke daerah Stasiun Depok Lama, ia harus membayar sejumlah uang sewa lahan dan keamanan. Belum lagi saat meminta restu dari pedagang-pedagang sekitar yang akan menjadi teman berjualannya. Tak sedikit juga pedagang-pedagang lain yang menolaknya, karena takut jadi ada saingan lain.
Penghasilan bapak berkumis ini hanya sekitar Rp80.000 hingga Rp200.000 per hari. Ini tergantung dari hari apa ia berjualan dan sejauh mana ia berkeliling setelah lewat jam 5 sore. Dengan uangnya, ia dapat menghidupi dan menyekolahkan kedua anaknya tersebut. Tanpa keluhan, Rachmat Sugandi tetap bekerja.
Bukannya tidak lelah, pria paruh baya ini sama seperti orang pada umumnya yang dapat kelelahan. Namun motivasinya dalam berdagang adalah kebahagiaan dan pendidikan anak-anaknya. Ia tidak ingin anaknya bernasib seperti ayahnya yang hanya seorang penjual sate dan minuman keliling. (Tulisan ini dikirim oleh Muhammad Fadillah Batubara dan Legaria Marpaung, Universitas Nasional)