Partai Golkar Kritis, Apa Solusinya?
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Berbicara Golkar, memang tidak luput dari masalah e-KTP. Setya Novanto dan pemimpin baru pengganti Setya Novanto, saat ini di mana-mana ramai dibicarakan. Di media elektronik, cetak, media online, serta media sosial yang dibicarakan pasti salah satunya tentang Partai Golkar.
Menarik memang berbicara siapa calon pengganti Setya Novanto, yang saat ini sedang mengajukan praperadilan untuk status tersangkanya oleh KPK. Di sisi lain, Partai Golkar telah melakukan rapat pleno yang menegaskan penunjukkan Plt Ketua Umum sampai selesainya proses praperadilan.
Isu sekarang telah menginjak pada episode siapa pengganti Setya Novanto ke depan. Gerilya politik pun telah banyak dilakukan untuk mencari sosok yang pas untuk mengantikan Setya Novanto. Saat ini, yang banyak digadang-gadangkan oleh sebagian orang yaitu nama Airlangga Hartarto.
Persaingan untuk memperebutkan posisi nomor satu di partai beringin saat ini mungkin tidak seramai Munaslub di Bali tahun lalu. Pada saat itu, kandidat banyak bermunculan. Saat ini, kelihatannya yang terang-terangan menyatakan kesediaan menggantikan Setya Novanto hanya Airlangga Hartarto. Atau mungkin, bisa saja Plt Ketua Umum saat ini, Idrus Marham, bersedia mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Golkar.
Dinamika pengganti ketua umum memang tidak bisa dipungkiri menghiasi wacana di internal dan eksternal partai. Kemungkinan Munaslub dilaksanakan memang cukup besar. Walaupun belum diputus secara resmi oleh DPP saat ini. Karena menunggu keputusan praperadilan.
Munaslub seakan menjadi cara ampuh untuk mengembalikan kepercayaan diri internal dalam menghadapi momentum politik tahun depan dan tahun berikutnya. Tidak bisa dipungkiri, bahwa adanya kasus yang menimpa Setya Novanto membuat popularitas Partai Golkar paling tinggi dengan opini negatif. Hal ini tentu saja berimbas terhadap elektabilitas yang rendah.
Walaupun isu ini masif pemberitaannya, namun Partai Golkar tidak bisa dibilang cepat turun elektabilitasnya. Bisa dilihat dari hasil beberapa lembaga survei yang merilis hasilnya. Partai Golkar memang mengalami penurunan, tetapi tidak anjlok sekali. Partai Golkar masih di kisaran 10-12 persen kalau dirata-ratakan dari beberapa lembaga survei yang telah dirilis.
Ini menandakan, bahwa memang Partai Golkar solid secara sistem dan memang kader-kadernya tidak mengutamakan sosok personal ketua umum dalam menjalakan aksi kerja nyata melayani masyarakat. Distribusi kepemimpinan tidak terfokus pada pemimpin pusat, melainkan terfokus pada pribadi-pribadi kader yang berkualitas yang selalu mengedepankan sistem berpolitik dalam Partai Golkar. Ini mungkin yang menjadikan Partai Golkar saat ini masih tetap eksis dan diperhitungkan.
Walaupun demikian, memang wacana pemimpin baru Partai Golkar sudah menjadi keharusan untuk membalikkan opini negatif yang selama ini beredar di publik. Yang mengesankan bahwa partai Golkar identik dengan kasus korupsi. Padahal, kalau mau jujur dan terbuka, dalam kasus e-KTP semua partai memang terlibat. Bisa dilihat dari keterangan saksi yang menerangkan keterlibatan semua partai yang ada di DPR dalam kasus e-KTP.
Terkait kasus e-KTP, memang menjadi tugas utama KPK untuk terus memegang teguh dalam pemberantasan korupsi , untuk menegakkan dan menindak siapapun itu, dan saya menyakini selaku pemerhati sosial politik, bahwa KPK akan memproses semua yang terlibat dalam kasus e-KTP ini.
Kembali pada wacana pemimpin baru Partai Golkar, tentunya menurut hemat saya memang perlu secepatnya melakukan konsolidasi dan penyamaan persepsi untuk mencari jalan tengah. Apakah dengan melaksanakan Munaslub dan menghadirkan pemimpin baru bisa mengangkat moral dan kepercayaan kembali Partai Golkar.
Menurut sebagian besar orang, memang pergantian kepemimpinan itu menjadi hal yang mutlak dalam proses transisi saat ini. Mari kita lihat dan cermati. Ke depan, apa yang akan terjadi di tubuh Partai Golkar. Apakah akan muncul pemimpin baru yang bisa mensolidkan internal dan bisa mengangkat moril Partai Golkar? Semua menunggu perubahan di Partai Golkar. (Tulisan ini dikirim oleh Deni Yusup)