Indonesia Membutuhkan Kebijakan yang Berkelanjutan
VIVA – Selama 12 hari saya mendapatkan kesempatan mengikuti seminar tentang nilai-nilai liberal, lingkungan hidup, dan hak kepemilikan yang diadakan oleh Fridrich Naumann Stiftung di Gummersbach, Jerman. Saya mendapatkan kesempatan bertemu dengan 27 orang dari seluruh dunia. Sungguh kesempatan yang sangat bernilai. Kami mendiskusikan banyak tema-tema aktual yang relevan dengan kondisi yang kami alami di negara kami masing-masing.
Di hari pertama, kami mendiskusikan dalam kelompok kecil masalah-masalah lingkungan yang paling urgent dan memapar negara-negara kami. Setiap kelompok membahas tema-tema lingkungan yang berbeda-beda. Seperti over populasi, hilangnya bio diversitas, kebakaran hutan, dan lain-lain. Setiap kelompok mendiskusikan empat dari 15 topik yang diberikan dalam lembar kerja.
Sekalipun kami berasal dari negara yang sangat beragam, ternyata semua kelompok membahas tiga tema yang sama, yang dianggap sebagai masalah yang sedang terjadi dan memberikan dampak yang besar terhadap lingkungan. Ketiga masalah itu antara lain polusi, perubahan iklim, dan pembuangan sampah.
Dalam diskusi di hari-hari berikutnya, kami membahas lebih spesifik tentang upaya-upaya solutif yang bisa dihadirkan untuk menjadi solusi atas problem lingkungan yang terjadi saat ini. Tools yang kami gunakan adalah hak kepemilikan (property right), penegakan hukum (rule of law), dan juga nilai-nilai liberal lainnya.
Hal menarik lainnya dalam seminar ini adalah dibahasnya hubungan antara demokrasi dan lingkungan. Bahan bacaan yang disajikan adalah laporan Environment Permance Index (EPI) tentang Global Matrics for The environment yang berisi peringkat negara-negara di dunia yang ditandai berdasarkan kinerja lingkungan berdasarkan kebijakan negara.
EPI sendiri merupakan metode untuk mengukur dan menandai secara numerik kinerja lingkungan dari sebuah kebijakan negara. Indeks ini dikembangkan dari Pilot Environmental Performance Index, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2002. Dan dirancang untuk melengkapi target lingkungan yang ditetapkan dalam United Nations Millennium Development Goals.
Dalam laporan ini disebutkan bahwa persoalan polusi merupakan salah satu isu yang mendapatkan perhatian. Data-data menunjukkan, secara global kematian yang disebabkan oleh polusi udara lebih banyak dibandingkan oleh kekurangan air bersih.
Pada tahun 2013, kekurangan air bersih telah menyebabkan orang meninggal di dunia sebanyak 1,24 juta jiwa atau dua persen secara global. Namun, pada tahun yang sama, polusi udara telah menyebabkan orang meninggal sebanyak 5,52 juta jiwa atau sekitar sepuluh persen secara global. Ironisnya, lebih dari 3,5 miliar, separuh dari penduduk dunia tinggal di negara-negara dengan kualitas udara yang sangat buruk.
Fakta lain menunjukkan, bahwa negara-negara berkembang dan penghasil minyak merupakan negara dengan kualitas udara terburuk. Ada indikasi yang korelasional antara negara demokratis dan pencemaran lingkungan. Data menunjukkan bahwa negara-negara yang tidak demokratis, problem lingkungan, dan pencemaran udara semakin banyak dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara yang menerapkan sistem demokratis.
Persoalan polusi udara atau buruknya kualitas udara, sebenarnya tidak hanya terjadi di negara-negara penghasil minyak, namun juga terjadi di Indonesia. Penggunaan kendaraan bermotor, kebakaran hutan, kemacetan, dan lain lain telah menyebabkan meningkatnya polusi dan kerugian yang mencapai ratusan triliun di Indonesia.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Universitas Indonesia, polusi udara telah menyebabkan masalah saluran pernafasan bagi hampir 60 persen warga Jakarta. Polusi udara juga menyebabkan jantung koroner dan pneumonia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bahkan pernah merilis data Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Jakarta.
Walhi menyatakan baku mutu udara Jakarta pernah mencapai 200, alias sangat tidak sehat. Polusi ini sebagian besar berasal dari kendaraan bermotor. Pemprov DKI juga mengakui 70 persen polusi udara kategori PM10 terbesar bersumber dari mobil.
Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2015 yang lalu juga telah menelan kerugian yang mencapai triliunan rupiah. Walhi provinsi Jambi memperkirakan kebakaran hutan dan lahan di Jambi menimbulkan kerugian besar. Api yang melahap lahan seluas 33 ribu hektar, nilai kerugiannya diperkirakan mencapai Rp7 triliun. Untuk melakukan rehabilitasi membutuhkan dana Rp44 triliun.
Di hari terakhir, kami membahas upaya-upaya solutif atas problem lingkungan yang terjadi. Tidak ada solusi tunggal untuk setiap negara. Perbedaan kebijakan dan prioritas pembangunan telah menghasilkan banyak alternatif pemikiran dan pendapat. Dan itulah sisi menarik dari liberalisme. Tidak ada sentralisme dan tidak ada klaim atas kebenaran solusi tunggal. Hal itu juga berlaku saat kita membahas tentang strategi pengembangan energi di setiap negara, tidak terkecuali Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui, karena pertumbuhan populasi dan meningkatnya kekayaan, permintaan akan energi, khususnya listrik meningkat. Terutama bagi jutaan orang yang tidak memiliki akses terhadap energi vital tersebut. Sampai saat ini, sumber yang paling umum digunakan untuk produksi listrik adalah batubara (41 persen dari semua listrik dihasilkan dari batubara, menurut World Coal Association).
Karena tingginya tingkat polusi (pencemaran air dan udara selama penambangan dan pencemaran udara selama pembakaran) dan keadaan yang sering menyedihkan bagi para penambang, dapat disimpulkan bahwa ini bukan sumber listrik yang berkelanjutan.
Ketika melihat sumber daya listrik yang berkelanjutan, kita biasanya mengidentifikasi empat hal, yaitu surya, angin, hidro, dan biomassa. Masing-masing bisa diperbaharui. Tapi itu tidak berarti membuat mereka berkelanjutan. Keberlanjutan ditentukan oleh tiga parameter yang berbeda, yaitu kelestarian lingkungan, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan ekonomi.
Kelestarian lingkungan berarti hal itu tidak merugikan lingkungan. Itu berarti kita membutuhkan keseimbangan energi positif untuk memulai. Keberlanjutan (sustainability) sosial sangat beragam dan kompleks. Ini mencakup keadaan sehat bagi pekerja dan upah yang layak.
Di banyak negara, bahan bakar fosil termasuk produk yang paling banyak disubsidi. Menurut IEA World Energy Outlook, listrik fosil masih disubsidi seharga lebih dari $100 miliar di seluruh dunia. Pertanyaannya, bagaimana teknologi energi terbarukan bersaing, ketika subsidi untuk sumber terbarukan hanya 1/6 dari itu?
Di akhir diskusi, kami menggaris bawahi beberapa hal. Antara lain keberlanjutan adalah kata yang sangat kompleks dan memerlukan banyak aspek untuk bisa diimplementasikan. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita menangani semua aspek ini? Bisakah kita menyeimbangkan semua pro dan kontra? Dan bagaimana kita melakukannya?
Indonesia memerlukan paradigma pembangunan berkelanjutan yang bisa diukur dan dievaluasi. Laporan EPI yang menempatkan Indonesia sebagai negara di ranking ke 107 telah menginsafkan kita untuk terus mendorong kebijakan-kebijakan yang berkelanjutan. (Tulisan ini dikirim oleh Billy Ariez)