PT 20 % Pemilu 2019, Melemahkan Sistem Presidensial
VIVA.co.id – Disahkannya RUU Pemilu 2019 yang memuat ketentuan Presidential Threshold 20 persen menuai kritik keras dari berbagai kalangan. Pengamat Politik Universitas Bakrie, Muhammad Tri Andika, menegaskan bahwa ketentuan Presidential Threshold atau PT 20 persen, bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 14/PUU-XI/2013 yang mengatur Pemilu Serentak 2019.
Muhammad Tri Andika menyatakan bahwa salah satu semangat dan pesan utama Pemilu Serentak 2019 adalah ingin memperkuat sistem presidensial di Indonesia. Bahasa praktisnya, agar presiden terpilih nanti tidak perlu repot-repot membangun koalisi di parlemen, sebagaimana yang terjadi selama ini.
Selepas Pilpres, presiden terpilih sibuk melakukan transaksi kursi kabinet kepada partai politik demi mendapatkan dukungan di parlemen. Kita tidak ingin itu terjadi lagi. Pemilu serentak akan membentuk dukungan parlemen yang organik.
"Sebab di dalam Pemilu Serentak memungkinkan terjadinya apa yang disebut coattail effect, yakni ketika Pilpres dan pemilihan legislatif dilakukan serentak, terdapat kecenderungan pemilih presiden akan memilih partai yang sama dengan partai yang mendukung presiden," ujar M. Tri Andika.
Lanjut Tri Andika, namun dengan adanya PT 20 persen yang acuannya hasil Pemilu 2014, agenda memperkuat sistem presidensial menjadi mundur kembali. Sebab, belum tentu partai pengusung presiden akan jadi pemenang juga.
Mengingat tren partai politik pemenang Pemilu di Indonesia cenderung berganti-ganti. Misalnya, Partai Demokrat pada Pemilu 2009 adalah pemenang, namun pada Pemilu 2014 berada pada posisi ke empat. Golkar pada Pemilu 2004 pemenang, tapi pada pemilu 2009 bergeser. Pemilu 2019 pun serupa, belum tentu PDIP akan menang kembali. Jika demikian, presiden terpilih akan sibuk kembali mencari koalisi di parlemen. Sebab, partai pengusungnya ternyata gagal mendapat kursi mayoritas di parlemen.
Selain itu, Tri Andika juga menyatakan bahwa penerapan PT 20 persen pada Pemilu 2019 dengan acuan hasil Pemilu 2014 bertentangan dengan nalar politik yang sehat. Sangat aneh jika hasil yang sama dipakai dua kali untuk pertarungan politik yang baru.
Butuh sikap negarawan dari para elite partai, agar demokrasi kita bisa lebih mapan dan sehat. Jangan sampai terjebak pada ambisi elektoral jangka pendek, namun menabrak nalar hukum yang berlaku. (Tulisan ini dikirim oleh Muhammad Tri Andika, Pengamat Politik Universitas Bakrie)