Tuhanku Bukan Warisan Nenek Moyangku
VIVA.co.id – Akhir-akhir ini aku sering mendengar namamu, Afi. Kamu kini terkenal dengan warisanmu yang menjadi viral. Tapi di balik kepopuleranmu, aku melihat ada dua pesan yang kau sampaikan, yaitu warisanmu dan perdamaian. Tetapi tahukah kau apa itu warisan? Mungkin saja bagimu agamamu adalah warisan, tapi bagiku agamaku bukan warisan.
Sebagaimana pesan yang tersirat di balik “warisan" yang kau wariskan, kau mengajak aku juga untuk berpikir. Walaupun kita tak seharusnya sama dalam hasil pikiran itu. Maka ini saatnya aku mengajakmu berpikir ala kita, ya kita sama-sama pecinta damai.
Agamaku bukan warisan seperti agamamu, tapi Islamku sama dengan Islammu. Islam yang memanusiakan manusia. Tapi tahukah kau, banyak di antara kita yang punya kebebasan memilih Tuhan. Kebebasan itu aku gunakan untuk memilah mana yang patut untuk aku sembah dan mana yang tak patut disembah. Kau tentu perlu tahu jika Tuhanku saat ini bukanlah warisan dari nenek moyangku.
Aku dan nenek moyangku berbeda dalam soal penyembahan. Aku dan nenek moyangku beda soal sembahyang. Mereka memuja roh para leluhurnya, aku justru menyembah Sang Pencipta roh-roh itu. Aku sadar betul jika ternyata aku dan generasiku tak diwarisi Tuhan. Atau jangan-jangan kau pun begitu, nenek moyangmu pun begitu.
Itulah warisan. Ia ada karena diturunkan bukan dipilihkan. Jika warisan itu bisa dipilih maka aku akan memilihkan anakku kelak agar tak hitam, sehingga ia terhindar dari ejekan. Warisan bagiku sesuatu yang tak bisa dihindari tetapi patut disyukuri.
Warisan bagiku bukanlah pilihan, tetapi ketetapan. Ia bersifat mutlak, tak bisa ada yang mengubahnya. Jika pun ada yang bisa mengubahnya, tetap saja tampak di permukaan apa yang diwariskan itu. Hitam tetap hitam, jika ia diputihkan maka ia bakal putih tetapi putihnya tetap berbeda dari putih yang sebenarnya digariskan.
Jika kamu pernah mendengar apa itu ideologi dan apa itu biologi, maka kau bakal tahu keduanya punya perbedaan. Namaku bukan warisan, sebab telah berubah sebanyak empat kali dalam beberapa hari. Sebab itu pula aku berkesimpulan, bahwa namaku bukan warisan tapi pilihan dari doa-doa kedua orangtuaku tersayang.
Bagaimana bisa sebuah nama yang indah "Masfhiq" berubah menjadi "Abdul Rasyid" tanpa melalui sebuah proses pilihan. Pilihan itulah yang mengubah Masfhiq kecil berubah menjadi Abdul Rasyid yang besar.
Ya, namaku Abdul Rasyid Tunny, Tunny bukanlah pilihan tetapi ketetapan. Tunny adalah sebuah marga di Maluku yang jika menggunakan pisau bedahmu maka akupun akan berkata tak memilih lahir dari keturunan seorang Tunny, tetapi itulah ketetapan.
Mungkin aku, kamu, bahkan mereka berbeda soal penafsiran apa itu warisan. Mari kita terus berpikir sama-sama tanpa harus berpikiran sama seperti ajakanmu dan ajakan Tuhan. Bukankah Tuhan menciptakan langit dan bumi, siang dan malam, agar kita berpikir?
Memang benar apa yang menjadi keresahanmu juga menjadi keresahanku. Kini di antara kita banyak yang menuhankan kesombongan atas pilihan mereka. Mereka sombong dengan pilihan Tuhan mereka. Padahal Tuhan sendiri melarang mereka untuk jangan terlalu berlebihan. Jika marah jangan terlalu berlebihan, jika suka juga jangan terlalu berlebihan.
Afi, soal kebangsaan saya justru memilih untuk pribumisasi ajaran Gus Dur yang memandang perbedaan adalah fitrah yang tak bisa dipungkiri. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah harus diperkuat agar kita masih Indonesia. Sebab Indonesia juga bukan warisan, tapi pilihan leluhur kita atas dasar romantisme penderitaan dan perjuangan melawan penjajahan. Semoga Tuhan memberikan jalan yang lurus bagi kita semua. (Tulisan ini dikirim oleh Abdul Rasyid Tunny)