Kongres PMII dan Fenomena Kekerasan
- VIVA.co.id/ Fajar Ginanjar Mukti.
VIVA.co.id – Sejarah kelahiran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tentunya tak lepas dari adanya tuntutan peran kaum muda Nahdlatul Ulama (NU) dalam menjawab segala problematika bangsa. Ketika bangsa saat ini sedang diuji oleh berbagai isu perpecahan, maka semua mata tertuju pada NU sebagai salah satu organisasi masyarakat terbesar Indonesia yang selama ini memperjuangkan keutuhan Indonesia dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.
Dalam ruang lingkup kehidupan kampus, tentunya NU sangat menitik beratkan agar PMII bisa memainkan peranya sebagai salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama. Dan hal ini terlihat jelas dengan bagaimana kader-kader PMII selalu mengecam segala bentuk intoleransi apalagi yang mengatasnamakan agama. PMII juga selalu mempertahankan diri sedemikian rupa dari segala bentuk serangan ideologi transnasional.
Sebelum pemerintah mengeluarkan pengumuman pembubaran salah satu organisasi masyarakat yang dinilai tidak berkontribusi positif terhadap pembangunan bangsa Indonesia, jauh-jauh hari sebelumnya PMII mengingatkan pemerintah akan bahaya doktrin-doktrin transnasional yang juga membuat PMII kewalahan di berbagai kampus.
PMII selalu terlibat adu argumentasi dalam berbagai forum jika ada yang mencoba mengganti ideologi Pancasila. Bahkan sekalipun PMII dituduh liberal oleh sebagian pihak yang merasa PMII lebih memilih nasionalisme daripada persatuan umat. Bahkan PMII pula dituduh sebagai organisasi yang tidak agamis.
Agama yang dianut oleh PMII sebagai anak adalah agama yang diajarkan oleh orang tuanya, dalam hal ini adalah Nahdlatul Ulama. Jika Nahdlatul Ulama mengajarkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, maka tak heran PMII begitu pula pola pikirnya. Ketika PMII toleran dengan perbedaan keyakinan, hal itu pula tak lepas dari nilai-nilai yang diajarkan oleh Nahdlatul Ulama.
Saat ini PMII sedang menjalani rutinitas organisasi yaitu Kongres PMII yang diselenggarakan di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Namun di balik kongres ini, sejumlah harapan muncul akan atmosfer kongres yang selama ini tidak berkenang. Konsep perdamaian dan toleransi yang diusung PMII terkadang hilang begitu saja dengan pertarungan perebutan orang nomor satu di PMII. Nampaknya ideologi kekerasan di PMII menjadi halal dan wajib ketika adanya pertarungan di kongres.
Kehadiran ribuan warga pergerakan di arena kongres bisa saja disusupi dengan kehadiran sejumlah warga bersumbu pendek. Hal ini dikarenakan pertarungan perebutan kekuasaan yang kemudian merobek nilai-nilai yang selama ini dijunjung PMII.
Tampaknya pula kejadian ini bukan saja menimpa PMII, tetapi juga Nahdlatul Ulama. KH. Mustofa Bisri atau dikenal juga dengan panggilan Gus Mus ini memberikan arahan dengan tangisan di tengah-tengah arena Muktamar NU di Jombang kala itu. Bahkan beliau sendiri membaca sebuah headline surat kabar yang berjudul “Muktamar NU Gaduh, Muktamar Muhammadiyah Teduh”.
Dalam sejarah tercatat jelas bagaimana asal muasal ideologi kekerasan ini lahir. Saat PMII akan melaksanakan kongres pada Tahun 2008 yang saat itu dilaksanakan di Batam, sejumlah peserta kongres PMII yang tidak bisa berangkat ke arena kongres kemudian melakukan transit di Jakarta. Peserta kongres yang transit ini teridentifikasi berasal dari cabang-cabang di Indonesia Timur. Mereka pun menduduki markas PMII di Salemba Tengah lalu kemudian melakukan sejumlah pengrusakan.
Jika kita mundur beberapa langkah, kita bisa menemukan catatan buruk juga pada Tahun 2005 lalu. Tepatnya saat berlangsungnya Kongres PMII ke-XV di Bogor. Kader-kader PMII dari daerah yang sama juga melakukan perusakan karena tidak bisa pulang ke daerah asal sehabis mengikuti kongres. Hal yang serupa juga terjadi di kongres yang digelar di Jambi. Ada keributan antara cabang Ambon dan cabang Makassar. Bahkan keributan ini tersebar di Youtube dengan judul “Kongres PMII Ricuh”.
Kekerasan dalam kongres PMII sudah menjadi bagian dari ritual-ritual yang tidak perlu dan tidak pantas. Sehingga di beberapa media online mencuat kabar jika Ketua Umum PB PMII, Aminudin Ma’ruf tidak menampikkan akan adanya ritual-ritul tersebut. Bahkan Ma’ruf berpikir keras guna menghindari adanya ritual-ritual kekerasan di akhir masa kepemimpinan. Dengan menegaskan jika pelaksanaan Kongres XIX PMII yang digelar pada 15 Mei 2017 rencana awalnya akan digelar di Masjid Agung Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Pernyataan Ma’ruf ini menggambarkan bahwa adanya potensi terjadi kekerasan. Dan apabila kongres akan berjalan sebagaimana yang telah direncanakan oleh Ma’ruf selaku ketua PB PMII tetap saja diwarnai kekerasan, maka ada yang tidak beres dengan internal PMII yang harus dievaluasi oleh Nahdlatul Ulama selaku orangtua kepada anaknya.
Sejumlah catatan ritual-ritual kekerasan yang dilakukan dalam arena kongres PMII tentunya melenceng dari apa yang PMII perjuangakan selama ini. Pasalnya, hal ini tidak bisa dianggap bagian dari dinamika semata sebab wajah PMII hari ini adalah wajah Nahdlatul Ulama di beberapa tahun akan datang. Sehingga sudah saatnya Nahdlatul Ulama turun tangan untuk memberikan nasihat-nasihat kepada PMII agar segera berbenah dengan merancah sebuah solusi konkrit mengatasi ideologi kekerasan yang menyusup ke PMII.
Nilai-nilai toleransi yang selama ini menjadi dasar PMII dalam menjalanakan kehidupan organisasinya nampaknya tidak berlaku dalam kongres. Hal ini terlihat dengan karakter keras yang dibingkai dengan etnis dan emosi selalu muncul ke permukaan jika ada perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat di arena kongres adalah hal yang biasa-biasa saja. Namun, menjadi celaka jika tidak diselesaikan dengan debat dan diskusi, tapi malah menggunakan ideologi kekerasan.
Semestinya Nahdlatul Ulama tidak membiarkan hal ini begitu saja. Sebab berkembang sebuah rumusan pola hubungan PMII dan NU, yakni dikenal dengan “PMII sudah pasti NU dan NU itu belum tentu PMII”. Hal ini menggambarkan bahwa PMII adalah pemasok intelektual-intelektual NU. Maka pola-pola kehidupan PMII dalam perhelatan internal organisasinya adalah gambaran yang sama yang akan menjadi wajah NU di kemudian hari.
Saat ini, penulis melihat jika dalam kongres di Palu masih saja ada ritual-ritual kekerasan mewarnai maka tak ada jalan selain Nahadlatul Ulama harus turun gunung untuk membuat mekanisme perbaikan sistem pengkaderan yang menyangkut aspek penghayatan dan transformasi nilai-nilai gerakan yang dimiliki oleh pergerakan seperti nilai keislaman, aswaja, dan toleransi. (Tulisan ini dikirim oleh Abdul Rasyid Tunny, Ketua PMII FKM Universitas Muslim Indonesia)