Apakah Guru SD Terlalu Banyak di Indonesia?
VIVA.co.id – USAID melalui program PRIORITAS baru saja merilis hasil studi Supply and Demand (suplai dan kebutuhan) Guru Kelas Baru di Sekolah Dasar. Studi ini untuk membantu Kemenristekdikti dan Kemendikbud dalam menganalisis cara memperkecil kesenjangan antara menyiapkan suplai dan kebutuhan guru kelas SD.
Berdasar data rembuk Nasional pendidikan dan kebudayaan 2015 yang dikutip oleh tim studi, disebutkan bahwa Indonesia masih kekurangan guru kelas PNS sebesar 282.224 guru. Namun, jika memasukkan data guru bukan PNS, maka ada kelebihan 82.245 guru kelas.
Sementara pada tahun yang sama, berdasar Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) Kemenristekdikti, ada 415 lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan (LPTK). Yaitu 37 LPTK negeri dan 378 LPTK swasta, yang meluluskan program PGSD sebanyak 91.247 lulusan. Lulusan tersebut akan terakumulasi setiap tahunnya dan diproyeksikan pada tahun 2025 mencapai 444.551 lulusan.
”Dengan mengetahui data guru kelas di Sekolah Dasar, maka LPTK dapat mempertimbangkan kuota mahasiswanya sesuai kebutuhan guru kelas baru di Sekolah Dasar,” kata Stuart Weston, direktur program USAID PRIORITAS di Jakarta, Jumat, 27 April 2017.
Studi yang dilaksanakan dalam 18 bulan terakhir tersebut menemukan bahwa kebutuhan guru kelas baru di SD akan meningkat seiring berjalannya waktu, seperti guru yang pensiun. Semakin sedikit guru baru yang masuk ke dalam sistem, dan jumlah siswa di sekolah yang meningkat. Namun, ke depan dengan perubahan populasi penduduk, jumlah siswa di SD akan stabil dalam waktu sekitar lima tahun.
Jika sistem berlanjut seperti saat ini, tanpa usaha untuk meningkatkan efisiensi dalam penyebaran guru, maka kita dapat mengharapkan adanya penurunan jumlah suplai guru kelas baru selama tahun-tahun mendatang. Menurut Mark Heyward, ketua tim studi, ada empat skenario yang bisa dilakukan untuk mengurangi kebutuhan guru kelas SD berdasar pengalaman USAID PRIORITAS saat membantu penataan dan pemerataan guru di tujuh provinsi mitra.
Pertama, skenario normal atau tidak melakukan kebijakan apapun. Kedua, melakukan skenario penggabungan sekolah atau kelas rangkap. Ketiga, melakukan skenario alih fungsi guru mata pelajaran menjadi guru kelas. Keempat, melakukan skenario gabungan kedua dan ketiga. “Bila gabungan skenario kedua dan ketiga dilakukan, maka bisa mengurangi kebutuhan guru kelas SD mencapai 45 persen, dan ini akan membuat efisiensi anggaran pendidikan,” tukas Mark.
Namun demikian, kebutuhan guru baru akan meningkat sejalan dengan jumlah guru yang pensiun dan bertambahnya penduduk usia sekolah. Pada tahun 2025, kebutuhan guru baru diproyeksikan sebesar 560.003 guru (skenario 1), sebesar 516.794 guru (skenario 2), sebanyak 438.058 (skenario 3), dan sebanyak 394.914 (skenario 4).
Bila melihat jumlah suplai lulusan PGSD dari sisi wilayah, menurut Aos Santosa salah satu anggota tim studi, LPTK yang ada di Jawa memberikan suplai lulusan PGSD paling besar. Sebagian besar juga dari Sumatera, kecuali Provinsi Kepulauan Riau, dan sebagian besar di Sulawesi, kecuali Sulawesi Barat dan Tenggara, serta Kalimantan Selatan.
“Membandingkan suplai dan kebutuhan guru kelas SD dengan asumsi tidak melakukan scenario efisiensi, di wilayah Jawa baru mengalami kekurangan suplai pada tahun 2023, wilayah Sulawesi pada tahun 2019, wilayah Sumatera pada tahun 2017. Wilayah yang mengalami kekurangan suplai sejak tahun 2017 adalah wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua,” kata Aos.
Hasil studi ini merekomendasikan suplai guru kelas baru di SD yang berasal dari lulusan LPTK harus melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) setelah lulus S1 PGSD. Dengan demikian, PPG bisa menjadi pengendali kelebihan suplai lulusan PGSD terutama memperhatikan kebutuhan nyata di masing-masing wilayah atau lebih rinci menurut provinsi dan kabupaten. “Bahkan dalam mendistribusikan suplai guru SD bisa lintas wilayah berdasarkan rekam jejak LPTK dan provinsi/kabupaten yang sangat membutuhkan guru baru,” tambah Aos. (Tulisan ini dikirim oleh Anwar Holil, Jakarta)