Bobroknya Pendidikan di Indonesia
- Pixabay
VIVA.co.id – Betapa mengusik hati apa yang terjadi dengan pendidikan di bumi pertiwi ini. Kiprah pendidikan dengan tujuan memanusiakan manusia tak ubahnya seperti menunjuk bulan dengan jari hingga menjadi ironi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa manusia-manusia hasil rekayasa pendidikan Indonesia tidak jarang selalu unggul dalam hal mencetak manusia yang koruptif, manipulatif, berhubungan dengan praktik penyalahgunaan jabatan, tindak kejahatan, kriminalitas, pencabulan anak, bahkan geng motor yang acapkali menjadi langganan kejahatan di kehidupan masyarakat.
Celakanya, Departemen Agama sendiri menjadi salah satu lembaga negara paling korupsi. Anggota dewan dari partai yang mengganggap dirinya agamis dan religius, malah ketahuan menonton film porno saat sidang paripurna.
Kerusakan moral kini bukan hanya terjadi di kalangan birokrasi pemerintahan dan aparat penegak hukum, melainkan juga sudah meracuni seluruh aspek kehidupan masyarakat. Jika kondisi ini dibiarkan, negara bisa menuju ke arah jurang kehancuran. Salah satu faktor utama pemicu keterbelakangan ini adalah kepemimpinan bangsa ini tak mampu melakukan pembangunan karakter.
Dampak bobroknya pendidikan karakter terkhusus kaum pelajar saat ini identik dengan tindakan tawuran, korban budaya cinta-cintaan, dan lain-lain. Apalagi berbicara dengan sosok anak didik di perguruan tinggi swasta atau negeri yang bernama mahasiswa.
Kalangan yang dulu sejak awal dikenal sebagai agen perubahan intelektual, pembela rakyat, dan lain-lain, kini karakternya kian jauh di ujung harapan. Jika zaman dulu mahasiswa identik dengan jiwa heroik sebagai garda terdepan, namun kini masyarakat sering melihat citra buruknya semata.
Hal ini terbukti dari mata telanjang penulis sendiri, yang melihat banyak mahasiswa yang diusir dari kosnya oleh masyarakat setempat karena kos-kosannya dicurigai digunakan untuk kegiatan seks bebas atau narkoba. Berikut ini ada beberapa faktor utama yang menimbulkan bobroknya pendidikan.
Kapitalisme Pendidikan
Merupakan salah satu ideologi ekonomi politik yang membentangkan paham individualisme yang dilakoni oleh aktor pemilik modal dengan bebas demi meraih keuntungan sebesar-besarnya. Dalam hal ini, negara memberikan kebebasan kepemilikan perorangan kepada sang beruang atau pemilik modal dalam sektor pendidikan sebagai penyelenggara penyedia jasa pendidikan.
Namun pengelola pendidikan pun menawarkan harga tanpa memikirkan kemampuan dari pihak pengguna jasa pendidikan. Jelas ini akan memunculkan kesenjangan-kesenjangan bahwa orang kayalah yang bisa mendapatkan pendidikan. Pendidikan eksklusif dan elitis hanya akan menjadi santapan lezat bagi yang mampu membelinya. Dan hak-hak setiap orang untuk mendapatkan sekolah diingkari karena persoalan ekonomi lemah.
Apa jadinya? Perguruan Tinggi akan diisi anak-anak manja yang memiliki sudut pandang borjuis (kaum beruang) dan anti perubahan. Kebanyakan dari mereka datang ke kampus hanya untuk menunjukkan status sosial dan gaya hidup.
Sangat berbeda jika dibandingkan dengan anak-anak orang miskin (kaum prasejahtera) yang bukan hanya sekadar meraih status mahasiswa, melainkan datang untuk membaca sudut pandang perubahan, karena mereka lebih merasakan arti penindasan.
Pendidikan elitis merupakan bagian dari sistem pendidikan yang sengaja disetting untuk melanggengkan penindasan. Yang tujuannya memproduksi manusia menjadi individualistik, materialistik, konsumeristik dan hedonistik. Paling bisa dilihat dari segi penggunaan gadget, kendaraan, fashion, pergaulan, dan sebagainya.
Penistaan Ilmu
Banyak sekali mahasiswa yang berprestasi di sekeliling kita yang seharusnya layak bekerja sesuai kemampuan dan mendapatkan hasil (uang), tapi justru tidak bisa bekerja. Ini karena rekrutmen tenaga kerja di negeri ini diwarnai manipulatif praktik suap-menyuap atau sogok-menyogok, terutama sektor PNS. Hal inilah yang membuat mengapa kita semua tidak harus heran jika orang kuliah tidak perlu serius, karena ilmu dilecehkan uang oleh nafsu bejat kekuasaan.
Kekerasan di Sekolah
Salah satu faktor yang sangat kuat dalam pembentukan karakter adalah lingkungan. Kekerasan akan mematikan mental bahkan mencutikan akal. Anak didik bisa saja terseret sehingga membentuk jiwa yang patuh dan tunduk pada kekuasaan. Mental inilah yang membuat anak bangsa menjadi pecundang.
Guru atau dosen (pendidik) yang membunuh karakter
Kediktatoran pendidik telah menjadi momok terbesar bagi para anak didik. Kaum pendidik semacam itu di antaranya yang membuat penulis dan teman penulis ketakutan saat melakukan proses belajar mengajar di sekolah. Penulis dan teman-teman penulis dapat menceritakan kebobrokan yang terjadi saat menjalani bangku perkuliahan.
Mulai dari pengajar yang malas atau sibuk dengan urusan pribadi hingga jarang masuk, kejar tayang dosen dengan tanda tangan dua sampai tiga kali untuk sekali pertemuan, metode pengajaran yang tidak profesional, men-justifikasi daya nalar anak didik lemah dengan lontaran kata bodoh, proses pembelajaran yang seharusnya mengajak tapi malah mengejek anak didik. Intinya bahwa membangun karakter itu dengan karakter yang memberi contoh. Karena karakter pendidik yang jelek akan melahirkan anak didik yang tidak berkarakter.
Tetapi, penulis juga ingin mengungkapkan bahwa di tengah-tengah situasi cenderung curamnya wajah pendidikan, masih ada pula orang-orang yang berdedikasi tinggi dan berpegang teguh dalam nilai-nilai kemanusiaan.
Penulismasih menjumpai guru-guru dan dosen-dosen yang cerdas dan menjadi inspiratif dengan menghasilkan karya tulis ilmiah baik dalam skala Nasional maupun internasional. Bahkan, tidak jarang dari mereka mengajak anak didiknya untuk berpikir bagaimana caranya menghadapi sistem kebodohan.
Akhir dari penulis, dalam menyikapi carut-marutnya persoalan kebangsaan dalam sistem pendidikan, Pemerintah harus membuat produk hukum (Undang-undang) yang kuat dan tidak tumpang tindih untuk membatasi naiknya biaya pendidikan yang mahal. Dalam kebijakan juga dibutuhkan pokok kepemimpinan yang berani dan tidak pecundang sebagai pendobrak dalam menegakkan hukum untuk melawan banyaknya polemik (penyimpangan).
Dan tidak kalah pentingnya, dibutuhkan dedikasi kaum pendidik (guru/dosen) yang paham betul terkait strategi pembelajaran untuk bisa menjebol watak anak didiknya menjadi manusia yang lebih pancasilais (menjiwai nilai-nilai Pancasila), adil, tidak otoriter, tidak pecundang dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanistik (kemanusiaan) dalam konsep bingkai kebangsaan. (Tulisan ini dikirim oleh Jaya Nug Miharja, aktivis PMII)