Menjadi Penulis adalah Cita-citaku sejak Dulu
- http://ciomasonline.com
VIVA.co.id – Entah sudah berapa banyak huruf dan kata-kata yang sudah aku tulis di secarik kertas HVS yang sering aku bawa ke mana-mana ketika aku sedang berada di suatu tempat. Entah sudah berapa banyak juga paragraf yang aku ketik pada program Microsoft Word yang ada di komputer warnet, tempat biasa aku bermain dan berkumpul dengan teman-temanku yang hobi main game online. Setidaknya sudah hampir 50 lebih artikel yang ada nama “Ridho Adha Arie”. Tanpa aku sadari aku telah membuat hampir 50 judul artikel dengan banyak cerita dan kisah dengan berbagai macam ide yang lewat begitu saja di kepalaku ini.
Dibilang kreatif, tidak. Dibilang inovatif, juga tidak. Memotivasi, menginspirasi dan menghibur, apalagi. Jelas aku tidak mengetahui apa manfaat aku menulis banyak cerita yang sama sekali belum mengubah jalan hidupku ini. Masih berusia 21 tahun, jelas jalan hidup dan karierku masih panjang. Masih muda, enerjik, dan memiliki keinginan yang pasti, jelas itu bisa menjadi nilai tambah bagiku untuk selalu berkarya dengan bercerita. Dengan maksud ingin memotivasi dan menginspirasi orang banyak, termasuk orang-orang yang membaca ceritaku.
Mungkin orang-orang yang ada di sekitarku tidak mengetahui apa yang telah aku lakukan selama ini. Karena mereka hanya tahu apa yang aku lakukan dengan apa yang dilihat mata kepala mereka. Sebenarnya aku juga yang bodoh karena tidak memberitahu mereka. Lagipula untuk apa diberitahu, jelas-jelas itu tidak ada gunanya sama sekali.
Penulis? Ya, penulis. Itu cita-citaku sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Ingat sekali ketika aku mengatakan itu pada keluargaku, khususnya kakekku yang saat ini masih hidup. Diberitahunya padaku kalau menjadi penulis itu tidak akan memberikan manfaat apa-apa bagiku. Malah dengan menjadi penulis tidak akan membuat aku bahagia di masa depan.
Lain halnya dengan nenekku. Aku pernah berkata padanya kalau aku ingin menjadi penulis, ketika aku masih duduk di kelas 1 Sekolah Menengah Pertama. Karena nenek sangat sayang padaku, nenek pun memberiku dukungan dan semangat. Tapi takdir berkata lain, belum sempat nenek melihat aku sukses sebagai penulis dengan buku yang ada nama cucunya “Ridho Adha Arie”, nenek pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Padahal waktu itu aku sedang mengumpulkan dana untuk membeli laptop agar bisa mengetik sebuah cerita.
Aku memang sama sekali belum berhasil menghasilkan satu buku pun. Tapi yang jelas aku pernah beberapa kali membuat cerita dan mengirimkan naskahnya ke salah satu penerbit yang ada di Indonesia. Ketika aku mendapatkan naskahku kembali lagi padaku, aku bertekad untuk mencoba lagi. Namun, semuanya masih sia-sia juga. Beberapa naskah yang kembali dikirimkan padaku sudah aku bakar. Dengan maksud aku ingin membuang kegagalan yang sudah aku dapatkan.
Bukannya menulis cerita untuk dikirim ke penerbit lagi, aku malah mengikuti lomba menulis artikel. Aku berusaha untuk menang dengan harapan jika ada salah satu editor dari salah satu penerbit yang menyadari usahaku. Juga aku berharap ada salah satu sutradara terkenal yang akan mengajak dan mengundangku untuk bermain di filmnya.
Harapan yang sangat bodoh dan idiot sekali menurutku. Namun, ketika aku menyadari namaku terpampang di salah satu artikel, itu sudah cukup membuatku bangga. Karena, setidaknya namaku sudah masuk laman resmi salah satu situs yang dikenal banyak rakyat Indonesia ini. Walaupun hanya sekadar artikel. (Tulisan ini dikirim oleh Ridho Adha Arie, Pekanbaru)