Kaleng Kosong Itu Kado Spesial untuk Ibuku
- Pixabay/Freeimages9
VIVA.co.id –Kasih ibu sepanjang zaman. Kasih anak sepanjang penggalan. Mentari menyeruak dalam balutan kabut. Di ufuk timur itu, lampu dunia menerangi awan yang kalang kabut. Cicit burung yang bersenda gurau di tiang-tiang listrik mengendar di daun telinga. Nuansa gedung penembus langit kembali memantulkan cahaya mentari yang tak terlalu terik karena terhalau laju kabut. Sesekali nampak, sesekali tak memeta jejak.
Walaupun begitu, tetap saja pagi menjadi awal mula bagi kehidupan. Di sudut kota, tepat di balik gedung-gedung yang menerobos langit ke tujuh. Pemuda berambut gondrong dan awut-awutan itu memerosotkan tubuhnya di dinding tembok. Sudah tiga minggu dia tidak pulang ke penaungan ibunda. Lantaran kantong sakunya belum tertimbun logam untuk membuah tangankan kado istimewa bagi seseorang yang amatlah dicintainya.
Dihisapnya berkali-kali, sebuah tubuh mulus berisi tembakau yang berbalut kertas putih. Dia lalu memainkan asapnya menjadi huruf O. Sejenak bibirnya membulat lalu mengatup seperti semula. Dari kemarin dia hanya mengenakan pakaian kaos berlukis tengkorak, dengan warna hitam kelam sepadan dengan rambutnya. Celana pendek dan sepatu butut pun menempel di kakinya. Bibirnya sekering jalan yang dijejakinya.
Matanya tampak sendu, pucat dan menyembunyikan pedih yang hampir tak berujung. Bau tubuhnya bacin, hampir selama itu pula dirinya tak tersiram air. Tak pernah telat wajahnya yang kusam itu berpucat pasi akibat deraian airmata. Bisa dikata dia seorang lelaki, tapi hatinya rapuh bak perempuan lemah tak berdaya. Jikalau dia mengingat sosok ibu yang dulu mengandungnya.
Sosok ibu adalah orang yang sangat dimuliakannya. Menyadari kesibukan ibunya selama ini, semuanya demi dirinya. Ibu hanya memberi dan memberi, tak pernah mengharapkan imbalan kecuali hal indah bagi putranya sendiri. Hidupnya hampa tanpa seorang ibu. Angin pagi itu membawa angannya ke masa silam yang telah dilaluinya. Klise kasih ibu yang telah tertimbun waktu, seolah tampak di layar lebar wajahnya. Ibunya membangunkan mimpinya dengan lembut. Menghidangkan makanan lezat di meja bundar ruang makannya. Kala sakit ibunya juga yang menemani.
Hampir seharian penuh ibunya bekerja banting tulang, jungkir balik. Pagi bersih-bersih rumah, belanja, memasak, mencuci. Malamnya, jika sempat masih menjahit dan mengajarinya belajar. Bukan main kesetiaan ibunda kepada anak yang sekarang malah tengah terpekur di balik tembok raksasa para berdasi biru itu. "Ibu, kenapa kau korbankan segala-galanya untukku?" tanyanya kepada sang ibu kala malam merangkak dalam desah napas angin kerinduannya kepada sang suami yang telah lama meninggalkannya sebatang kara. Mereka berdua menikmati malam di balkon rumahnya yang tak terlalu luas.
Ravid anak semata wayangnya hanya bersandar di pangkuan kakinya menatap langit. Usai sejenak menatap binar wajah ibunya yang mencerminkan kerentaan. "Lihat ke atas, Nak!" pinta beliau yang belum menyadari bahwa Ravid telah menatapnya dan lautan biru yang menggelap dengan kemilauan bintang itu lebih dulu. Beliau menunjuk seribu bintang-bintang itu dengan telunjuknya.
"Kau paham makna bintang itu, Nak?" tanya Sulastri yang tak lain adalah ibundanya. Ravid yang waktu itu baru berumur 11 tahun hanya menggelengkan lehernya. "Bintang adalah simbol keindahan untuk dunia Ibu. Ibu sangat mengagumi bintang daripada rembulan. Karena bintang memancarkan cahayanya sendiri, sementara rembulan bisa terpancar karena pantulan sinar matahari. Ibu ingin kamu seperti bintang, Nak." ungkap Sulastri dengan binaran mata yang kaya akan harapan. "Tapi Ibu, bagaimana aku bisa menjadi bintang? Aku tidak punya cahaya dan aku hanya manusia biasa yang hanya bisa menyusahkan Ibu," terangnya lalu bangkit menatap wajah Sulastri.
Ravid duduk di depan Sulastri. "Caranya mudah Nak, belajarlah sungguh-sungguh dan berpikirlah yang dewasa. Jangan suka menggantungkan hidup kepada orang lain. Seperti rembulan yang menggantungkan hidupnya kepada matahari. Berilah keindahan kepada orang lain dengan jerih payahmu sendiri, Nak." kata Sulastri dengan mantap. Ravid yang waktu itu belum terlalu paham, hanya mengangguk. Tak tahu bahwa anggukannya menyimpan makna harapan yang terdalam bagi Sulastri.
Enam tahun kemudian, saat umurnya menginjak garis tujuh belas. Semburat kekecewaan menghajar sanubari Sulastri. Anaknya dikatakan tidak lulus karena sering membolos dan berkelahi. Ravid memang anak pandai dan bisa dibilang cerdas. Nilainya selalu di atas angka tujuh. Hanya saja, kesibukan orang tuanya yang membuat perilakunya tidak terlahir budiman. Mungkin di depan Sulastri dia bertindak lemah lembut dan penurut, tapi di belakang dirinya dia tak pernah telat membuat onar.
"Kau anak Ibu satu-satunya, Nak. Kenapa kamu tak bisa membanggakan hati ibu?!" bentak Sulastri usai pulang dari sekolah untuk menghadiri pengumuman kelulusan. Ravid hanya menunduk menatap lantai kamarnya yang tak berubin. Tanah merah menempel di kakinya yang terbungkus sepatu usang. Tubuhnya masih terbalut kain putih dan celana abu-abu. Bibirnya dikunci rapat-rapat, tak berani membantah Sulastri sedikit pun.
"Kau sebenarnya anak yang pandai dan cerdas, lantas mengapa tak kau gunakan kecerdasan otakmu itu?" hardik Sulastri. "Kenapa hanya diam saja?" Sulastri mengguncang-guncangkan bahu Ravid. "Jawab pertayaan Ibu, Nak! Ibu lelah bertahun-tahun mencukupi sekolahmu, tapi kamu malah tidak lulus seperti ini," keluh Sulastri dengan aliran butir hujan dari matanya yang menua. "Maafkan aku, Bu." Kali itu Ravid berani membuka mulut, tapi wajahnya masih menunduk.
"Apa maumu, Nak? Apa maumu! Hingga kamu tak mau berjuang menjadi bintang dan mengamalkan kebaikan?" Sulastri jongkok di depan tubuh Ravid. Dia memandang paras Ravid yang berkaca-kaca. "Ravid ingin disayang Ibu. Ravid benci Ibu, karena Ibu selalu sibuk bekerja siang malam. Pagi beres-beres rumah, siangnya kerja sampai jam 12 malam. Itu yang membuat Ravid emosi dan kesal. Ravid ingin berkumpul dengan Ibu. Tapi Ibu selalu tidak ada waktu. Oleh sebab itu..." Ravid diam sejenak. "Apa, Nak? Katakan!" cecar Sulastri. "Ravid sering bolos dan mencari kesenangan dunia luar, Bu." Terang Ravid dengan penuh penyesalan.
Plaaakkkk.. "Kesenangan kamu bilang?!" hardiknya usai melesatkan satu tamparan di pipi Ravid. "Ibu susah payah bekerja mati-matian malah kamu mencari kesenangan?" bentak Sulastri dengan nada serak.
Meluluskan putra semata wayangnya dari SMK ternama di kotanya adalah impiannya sejak Ravid berusia 5 tahun. Dari dulu Sulastri selalu memberikan hal terbaik untuk putranya. Mulai dari memilihkan sekolah favorit dan menyediakan alat-alat belajar seperti komputer, kamus elektrik, buku-buku bacaan. Bahkan mengikutkannya les piano di luar jam belajarnya sewaktu SMP. Tapi ternyata hal yang diyakininya akan berakhir indah, kini telah sia-sia. Semuanya hanya berbalut kenang-kenangan menyedihkan. Lantaran di balik semua itu, Ravid malah suka keluyuran tanpa sepengetahuan Sulastri.
Sulastri sangat menyesal karena tak bisa mendidik buah hatinya dengan kasih sayang yang diharapkan Ravid. Padahal selama ini Sulastri rasa sudah memberikan kasih sayang yang dipikirnya cukup. Kalau tidak, untuk siapa lagi dia membanting tulang jika bukan demi anaknya. Pihak negara sebenarnya meluluskannya, karena nilai ujian nasionalnya memuaskan mata. Tapi pihak sekolah tak meluluskannya lantaran perilakunya tidak baik dan sangat tercela. Terpaksa dia harus mengulang setahun lagi di SMK, baru ijazah akan diberikan tahun depan.
"Kamu ini sudah dewasa. Sudah tujuh belas tahun! Seharusnya kamu mengerti mengapa Ibu seperti itu!!!" Sulastri kembali menggoncang-goncangkan tubuh Ravid. "Ibu, tapi selama SMP aku belum cukup dewasa untuk memikirkan itu! Aku masih seperti anak kecil yang ingin juga dikasihi seperti anak lain. Apa aku salah kalau aku menuntut hal itu?" ujar Ravid. "SMP itu kamu sudah dewasa! Ibu tidak menyangka kalau ternyata kamu malah sebodoh ini. Ibu tak mengira di balik nilai-nilaimu yang memuaskan mata, jiwamu malah tak terurus sama sekali," kata Sulastri penuh kekecewaan.
Ravid berpaling melangkah menuju kamarnya yang sederhana. Di sana ia membanting tubuhnya di atas kasur tua. Matanya menatap lurus ke langit-langit yang mengusam. Penyesalan berkecamuk di dalam dada. Selama ini, dia selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk Sulastri. Tapi ego jiwanya yang miskin akan kasih sayang selalu membuatnya marah dan mudah emosi kepada sesama.
Dalam diam Sulastri mengikuti langkahnya. "Maafkan ibu, Nak. Ibu tidak bisa mengurusmu dengan baik. Ibu hanya bisa memberimu makan dan mengajarimu belajar, itu saja seminggu sekali di hari Minggu. Bahkan, Ibu selalu memintamu memasak sendiri. Maafkan Ibu ,Nak. Ibu memang pengecut!" kata Sulastri yang berdiri di mulut pintu dengan genangan airmata.
Ravid pun bangun dari pembaringannya, ia menghampiri tubuh Sulastri dengan penuh penyesalan. Semenjak kepergian ayahnya dia menjadi anak yang brutal dan suka keluyuran. Dia hanya akan pulang saat jam kerja Sulastri usai. Batin Ravid terpukul palu teramat pahit. Ayahnya adalah penopang langkahnya yang sangat berharga. Hanya beliau pula yang membuat Ravid tersenyum dan selalu bersemangat menjalani hidupnya. Dia selalu berusaha agar nilai akademi dan non akademi di sekolahnya sempurna. Tentunya demi sang ayah. Tapi, pukulan godam yang tak diinginkan menghajarnya. Malaikat maut telah merenggut nyawa ayahnya.
Ravid pun menjadi pribadi yang resah dan gelisah. Tanpa ayah apa yang bisa diperbuatnya? Sementara Sulastri hanya bekerja menjadi pelayan toko supermarket yang tak jauh dari rumahnya. Dia membuang puntung rokoknya ke pinggir trotoar. Disibakkan rambutnya yang gondrong itu ke belakang. Lensanya menatap ke langit. "Tiga minggu telah berlalu, tapi aku belum bisa berpikir bagaimana caranya aku membahagiakan Ibuku. Sementara besok adalah ulang tahun Ibuku." katanya iba sambil menatap awan yang beredar di angkasa.
Iya, tepatnya dia kabur dari rumah untuk memberikan kejutan indah di hari ulang tahun ibunya yang ke 38. Setelah tiga bulan lalu ia menombak hati ibunya dengan kekecewaan yang teramat dalam. Ia merasa tak berguna dengan semua pribadi buruknya yang hanya suka begadang dan menjadi perokok aktif. Lihat, dalam sejam saja dia sudah menghabiskan sepuluh batang rokok.
Selama dia kabur dari rumah tiga minggu itu, ia tak sempat memikirkan bagaimana kondisi tubuhnya yang semakin memburuk karena kebanyakan zat nikotin yang telah dihisapnya bertahun-tahun semenjak SMP. Belum lagi tubuhnya yang awut-awutan. Pikirannya hanya terfokus pada sosok ibu yang telah melahirkannya dari dulu. Apa yang harus ia perbuat untuk membanggakan ibunya? Apa? Apa? Apaaaaaa...?Dalam batin ia menjerit dan menahan airmata.
Sejenak dia melihat bungkus rokok yang ada di depannya. Ia mengambilnya. Lalu memandanginya dengan seksama bungkus rokok itu. "Selama ini hidupku hanya habis untuk menghisap tubuhmu. Aku belum pernah memberikan hal indah untuk Ibuku. Aku adalah pecundang!" oceh dirinya sendiri. Dilemparnya bungkus itu dengan penuh emosi.
Langit cerah namun harinya tetap keruh. Malam berputar lebih cepat dari sebelumnya. Hari pun kembali beranjak pagi. Waktu itu Ravid menuntun langkahnya dengan gontai menyusuri jalan menuju rumahnya. Sambil menendang-nendang kaleng minuman yang sudah tak berisi. Bagaimanapun rindunya sudah berkecamuk di dalam dada. Mendadak terbesit dalam benaknya tentang kado spesial yang tak pernah dibayangkannya sama sekali. Dia mengambil kaleng itu, dan mengusap kotoran yang ada di sekeliling tubuhnya.
Sesampainya di depan pintu rumahnya, tak dijumpai manusia agung yang dirindunya itu. Dia masuk ke dalam ruang tengah, barulah di situ dia menemukan Sulastri yang sedang terbaring di kursi panjang ruangan itu sembari mendekap foto dirinya. Dengan pelan dia menepuk pundak Sulastri agar wanita itu terbangun dari tidurnya. Sejenak mata Sulastri terkuak. Beliau nampak berkedip-kedip menetralisir alam sadarnya, lalu mendudukkan tubuhnya.
"Ibu," kata Ravid dengan kelembutan. "Raviiiiiiddddd...." Sulastri langsung mendekap putranya dengan penuh kasih. "Maafkan Ibu, Nak. Ibu selama ini egois. Ibu tak akan pernah sibuk bekerja lagi, Ibu akan terus menjagamu sampai dewasa. Ibu janji. Ibu telah menabung untuk usaha gado-gado di depan rumah kita. Ibu akan selalu di rumah menemanimu, Nak! Maafkan Ibu..." isakan Sulastri tumpah di bahunya. "Ibu tidak salah," ujar Ravid setengah menahan isakan. "Ibu sangat menyayangimu. Jangan tinggalkan Ibu lagi. Ibu akan di rumah dan mencari nafkah di rumah saja!" terang Sulastri.
"Ibu, maafkan aku! Selamat ulang tahun, Ibu." kilah Ravid sambil membalas pelukan Sulastri. Ravid sengaja memperpendek percakapan. "Terima kasih Nak. Kamu ingat ulang tahun Ibu," Sulastri sangat terharu. "Ibu," panggilnya sambil melepas pelukan Sulastri. "Ravid ingin memberikan kado ini, Bu." tuturnya seraya mengulurkan benda silinder dengan berbungkus kertas batik. "Apa ini, Nak?" tanya Sulastri. "Itu…" Ravid tak berani mengatakan yang sejujurnya.
Akhirnya Sulastri membuka kado itu dengan pelan. Dan ternyata isinya kosong, tak ada apa-apanya. "Kaleng kosong? Tak apalah. Ibu senang mendapat hadiah ini darimu," kata Sulastri walau rautnya menyimpulkan kekecewaan. "Hari-hariku selalu kosong tanpa Ibu. Seperti kaleng itu Ibu. Hariku hampa, jika Ibu tidak ada di sisi Ravid. Ravid menjadi keras dan seperti gembel begini karena Ravid selalu merasa hampa dan merindukan belaian kasih sayang Ibu. Entah bagaimana lagi Ravid melampiaskan kehampaan itu kalau tidak dengan cara mencari kesenangan di dunia luar," kata Ravid sambil sesengukan.
Hatinya benar-benar pahit dan dihunus perasaan sakit yang amat dalam. Bisa dipeluk dan mendengar bahwa ibunya sekarang akan bekerja di rumah adalah hal yang baginya sangat membahagiakan. "Anakku, kaleng ini adalah kado terspesial yang Ibu dapatkan seumur hidup! Kaleng ini menyadarkan Ibu akan arti sebuah kasih sayang dalam keluarga. Maafkan Ibu, Nak." Ucap Sulastri.
Mulai hari itu, Ravid selalu menghabiskan waktunya di rumah untuk membantu berjualan kecil-kecilan. Walau hasilnya tidak seberapa, mereka tetap mensyukurinya. Dan dari detik itu pula, Ravid rajin membaca. Buku yang dulu dibelikan Sulastri dibaca dengan memahaminya sampai sedetail-detailnya. Akhirnya dia nekat membuka les privat seluruh mata pelajaran.
Sosok Ravid yang dulu gondrong dan mengerikan itu telah berubah menjadi sosok guru privat rupawan yang dipersibuk oleh mata pelajaran muridnya. Sampai sekarang ia masih aktif menjadi seorang guru tanpa ijazah SMK. Dan tentunya itu membuat Sulastri amatlah bangga.
Tahun 2014 lalu, Ravid mendapat panggilan dari lembaga bimbingan pelajaran anak-anak SD dan SMP. Dengan kemampuan yang dimilikinya pun dia berani melangkah menuju gerbang ilmu yang semakin luas. Dia ingin mengisi kekosongan otaknya dengan pelbagai pengetahuan untuk murid didiknya. Karena baginya, dengan mengajar dia akan dituntut untuk belajar. Dan semua itu tak luput karena dia ingin membanggakan ibunya Sulastri. (Tulisan ini dikirim oleh Titin Widyawati)