Negara Dicambuk, Gus Dur Menangis
- embunhikmah
VIVA.co.id – Permasalahan yang terjadi pada bumi ibu pertiwi, baik di bidang ekonomi, sosial, dan politik sudah barang tentu menjadi pekerjaan rumah bersama. Baik Pemerintah maupun rakyat. Pada hakikatnya, kebijakan Pemerintah harus berpegang teguh pada ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945 sebagai penyetir arah bangsa demi mewujudkan cita-cita luhur kebangsaan. Yang tiada lain semuanya tercurahkan demi kepentingan rakyat.
Ironisnya, program-program yang ditawarkan dalam pemerintahan oleh segelintir orang disalah wewenangkan. Dengan mengatasnamakan rakyat namun dimanipulasi sebaik-baiknya demi kepentingan tahta (kekuasaan) yang terang-terangan tidak pro rakyat.
Kebijakan Pemerintah yang lahir dari rahim ibu pertiwi selalu saja dianggap cacat. Tidak memberikan tawaran solusi untuk mengurangi masalah. Tapi justru kebijakan yang lahir tidak jarang bertentangan, bahkan menambah beban pikulan di pundak rakyat Indonesia.
Alasan ini didukung karena masih banyaknya masalah pelik yang terkatung-katung, dengan kekhawatiran jika dibiarkan terlalu lama bisa menimbulkan ancaman bagi jiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penulis mengumpamakan seperti halnya ada virus berbahaya yang bersemayam di dalam tubuh ibu pertiwi sehingga rentan terjangkit penyakit.
Seperti penyakit kemiskinan, korupsi, penegakan hukum yang diskriminasi, pengelolaan sumber daya alam yang buruk, melemahnya ekonomi hingga berujung SARA yang terkontaminasi dengan politik. Hingga melibatkan agama sebagai pembenaran-pembenaran politikus. Dengan sebutan lain, agama telah dipolitisasi oleh kaum fanatisme sempit berjubah agama tapi tak beragama. Dan keserakahan sekelompok kaum elit bangsawan.
Hal inilah yang membuat negara plural (beragam) ini dicambuk atas dasar carut-marutnya persoalan kebangsaan. Ini berseberangan pikiran dengan cita-cita Gus Dur yang mendambakan kehidupan antar agama yang ramah dengan menanamkan sikap toleransi. Gus Dur kemudian seperti dibangkitkan kembali dari makam intelektualnya. Tampak wajahnya kemerahan serta melelehkan air mata, saking sedihnya melihat penyakit kronis yang diderita oleh ibu pertiwi yang tak kunjung mendapatkan perawatan intensif.
Realitasnya, pada peristiwa di penghujung tahun 2016, menjadikan cambuk untuk merefleksikan kembali pentingnya Pancasila sebagai tameng proteksi dan pendeteksi dari segelintir orang yang mencoba mengebiri atau memotong spirit ruh demokrasi dengan menggunakan ideotlogi-nya. Itulah yang muncul, yaitu persoalan SARA akhir-akhir ini di tengah-tengah masyarakat Indonesia dalam bingkai kemajemukan (plural).
Demikian halnya Indonesia, secara kuantitas mayoritas Muslim. Belum lama ini gempar dengan isu dugaan penista agama yang dilakukan oleh Gubernur Jakarta non aktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang jelas berbeda akidah alias non Muslim. Selanjutnya, di tengah-tengah hiruk pikuk mengenai isu penistaan agama ada kekhawatiran akan terjadi pergulatan antar umat beragama yang dilakoni mayoritas Muslim dan minoritas non Muslim. Sehingga tidak heran nama Gus Dur kembali mengapung di atas udara. Disebut-sebut sebagai solusi simbol perdamaian, kesetaraan dalam masyarakat Indonesia yang plural (beragam) atas dasar sesama manusia dan warga negara, serta pembela utama bagi kalangan minoritas.
Hal ini dibuktikan pada tahun 2004, saat Gus Dur diberi gelar “Bapak Tionghoa” atas kegigihannya membela pluralisme. Menurut Gus Dur, negara Indonesia bukan negara agama tapi negara beragama. Kalimat pendek tapi mengandung makna sangat dalam. Sengaja penulis pinjam demi mengobati satu dari 101 penyakit ibu pertiwi.
Di samping itu, Gus Dur dengan tegas dan komitmen bahkan ia berani mempertaruhkan nyawa demi Pancasila. Hal ini terbukti pada kutipan pernyataan Gus Dur yang pernah dilontarkan pada tahun 90-an. “Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia dikebiri oleh angkatan bersenjata atau dimanipulasi umat Islam,” ujarnya. Inilah jejak Gus Dur dalam memperjuangkan Pancasila sebagai falsafah negara Indonesia.
Mulai dari kalangan konglomerat hingga mereka yang melarat pastinya tahu Indonesia sebagai negara demokratis. Namun penulis ingin menegaskan bahwa nama demokratis yang kita anut itu adalah Demokrasi Pancasila yang berfungsi sebagai jalan hidup bangsa dan tetap berkelanjutan. Mirisnya, ada sekelompok kaum agamawan beraliran radikalisme yang dengan terang-terangan menghujat, menolak, dan mengkafirkan Demokrasi Pancasila. Bagi mereka yang penting adalah cinta agama dan buang jauh-jauh cinta tanah air.
Menurut analisa, penulis menduga inilah alasan mengapa Gus Dur seringkali menyampaikan dan menegaskan bahwa dalam hidup di suatu negara konsep ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) harus melampaui atau jauh lebih dipentingkan dari konsep ukhuwah islamiyah (persaudaraan umat Islam). Logika sederhananya, bagaimana caranya bersujud kepada Tuhan kalau tak punya tanah air? Gitu aja kok repot.
Gus Dur selain dikenal sebagai tokoh pluralisme pejuang toleransi, ternyata dikenal juga memiliki humor segar, inspiratif, dan nyeleneh yang sering dinilai kontroversial, suka nakal, yang sudah pasti orang atau pihak tertentu bisa saja kesal. Contoh aktualnya adalah ketika Gus Dur “men-TK-kan” DPR dan ada sejumlah anggota dewan yang tersinggung saat itu. Tetapi kembali dengan gayanya yang khas kemudian mampu mendinginkan suasana. “Kalau sampai ada yang tersinggung ya saya minta maaf. Enggak usah marah-marahlah, kok repot-repot,” ujarnya kala itu.
Sosok Gus Dur sebagai Presiden Indonesia ke-4 dari tahun 1999 hingga 2001 yang kebanyakan dipandang sebagai tokoh kerukunan antar umat menyebabkan berbagai kalangan kurang mengetahui kepiawaian tentang gagasan ekonominya dengan konsep kerakyatan dalam menghadapi kesenjangan sosial pada saat itu. Konsep ekonomi kerakyatan ini diselenggarakan oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan dilakukan oleh rakyat kebanyakan yang kemudian menjadi tumpuan utama mendasar dari perekonomian makro.
Inilah resep racikan Gus Dur dan terbukti dalam kurun waktu 1,9 tahun telah membuahkan hasil mencatatkan dirinya pada sejarah kategori terbaik mengenai urusan membayar utang luar negeri sebesar 9 miliar US Dolar. Jika dibandingkan dengan pemerintahan Soeharto yang meninggalkan hutang 144,7 miliar US Dolar. Itulah yang menjadi pembeda. Berdikari Gus Dur sebagai cahaya namun diredupkan oleh nafsu politik bejat dan rakus kekuasaan.
Uraian-uraian sebelumnya mencerminkan perjuangan Gus Dur sapaan Abdurrahman Wahid yang telah membumikan Pancasila pada bumi ibu pertiwi. Bukan saja berlandaskan konsep asas atau sekadar teoritis belaka tapi beliau juga ahli praktisi. Ini terlihat saat menakhodai Indonesia sebagai Presiden ke-4 dalam menjalankan roda pemerintahan yang menjadikan Pancasila sebagai kiblat pergerakannya.
Terakhir, hemat penulis kepada kaum elit politik, kaum agamawan, pemerintahan, warga pergerakan, serta segenab seluruh rakyat Indonesia dalam hal ini sebagai ahli waris untuk melanjutkan perjuangan Gus Dur agar senantiasa menanamkan nilai-nilai dasar Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Supaya tidak terinfeksi dengan virus predator biadab alias mereka si pencambuk negara. Sekali lagi saya ingin mengutip, “Indonesia negaraku, Pancasila ideologiku, jaya selalu bangsaku!” Save NKRI harga mati. (Tulisan ini dikirim oleh Jaya Nug Miharja, Makassar)