Mencari Keadilan untuk Sahabat Tercinta
- makhluklemah.wordpress.com
VIVA.co.id – Malam itu pukul 23.30, yang dibalut dinginnya kota Jakarta seiring hembusan angin yang halus. Tepatnya di depan sebuah warung kopi yang berisi gorengan hangat, kopi, es teh manis, bubur kacang hijau, dan lainnya. Terlihat sekumpulan remaja sedang asyik membicarakan sesuatu yang hanya mereka sendiri yang tahu.
Gasroek, begitulah mereka menyebut nama kelompoknya. Sebuah perkumpulan remaja yang sudah mereka bangun sejak masih mengenakan seragam putih merah. Namun, justru nama Gasroek baru mereka gunakan selama delapan tahun terakhir ini.
Di malam itu, tepatnya hari Minggu tanggal 4 Desember 2015 lalu, mereka dihebohkan oleh kabar yang menyebutkan bahwa salah satu teman terbaiknya yang sangat suka duduk di warung kopi mengalami musibah. “Godot jatuh di kamar mandi di Bandung,“ sebut salah satu remaja gemuk bernama Ardian.
Mereka ingin segera menjenguknya ke rumah sakit, namun teman terbaik itu ternyata berada di Bandung tepatnya di Rumah Sakit Mata Cicendo. “Kenapa bisa di rumah sakit mata? Ada apa dengan matanya?” tanya seorang remaja bernama Septian.
Aditya Falatha, itulah nama teman terbaik sekumpulan remaja itu yang sering dipanggil Godot. Seiring berjalannya waktu, kabar pun cepat didapat. Ternyata dia bukan terjatuh di kamar mandi, melainkan dipukul oleh teman kerjanya sendiri yang bisa dibilang adalah atasannya sendiri pada saat acara outing kantor ke daerah Subang.
Sekumpulan remaja itu pun geram dan sangat ingin mencari keberadaan pelaku. Menurut info yang didapat, saat itu pelaku sudah pulang seusai dia melakukan hal keji terhadap temannya itu. Rapat mendadak untuk menyusun strategi pun dibuat untuk mencari tahu keberadaan sang pelaku.
Aditya Falatha memiliki seorang kakak bernama Haekal Faluthi yang begitu sayang kepadanya. Air matanya bercucuran di Rumah Sakit Mata Cicendo saat dokter memvonis bahwa mata kiri adik tersayangnya harus diangkat karena dianggap rusak 100 persen. Sedih teramat dalam dirasakan kakak, ibu, ayah, serta saudara yang datang pada malam itu menemani Adit. Dukungan moral pun diberikan oleh sekumpulan remaja yang terus memanjatkan doa untuk kepulihan teman terbaik mereka.
Seusai rapat, mereka lanjut pergi menggunakan mobil. Sementara yang lain tetap di tempat untuk mencari informasi melalui akun media sosial untuk melakukan pelacakan terhadap pelaku. Pergilah mereka ke sebuah kantor di dekat Taman Ismail Marzuki di Cikini, Jakarta Pusat. Dengan terus membicarakan ciri-ciri pelaku, kebiasaan pelaku, menduga-duga kejadian dan lain sebagainya, mereka terus menyusuri jalan menuju kantor tersebut.
Sampailah mereka di depan sebuah gerbang hitam panjang yang digembok di balik sebuah portal yang sudah tertutup. Tepatnya di belakang sebuah minimarket yang saat itu masih buka pada saat mereka datang. Bayu mengetuk gerbang dengan membenturkan gembok dan gerbang. Sampai beberapa saat, satpam pun keluar, “Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya satpam itu. Bayu pun balik bertanya, “Pak mau tanya, yang outing belum pulang ya?”
Percakapan demi percakapan dia lalui hanya untuk sebuah informasi kecil dan mengetahui keberadaan sang pelaku. Kemudian masuklah Bayu ke dalam mobil kecil yang hanya memuat lima orang itu. “Kita ke kantor cabang yang di Jakbar, mungkin di sana kita bisa dapat banyak informasi,” ujarnya. Berangkatlah mereka ke daerah sekitaran Jakarta Barat atau tepatnya di Tangerang, Green Lake City.
Safwan Firas yang melakukan pengintaian dengan cara melalui akun media sosial mulai mengirimkan foto pelaku , istri pelaku, dan anak pelaku. Malam itu semua remaja itu berlaku seperti layaknya seorang detektif. Kabar terus dicari, info terus dikejar hanya untuk tahu keberadaan sang pelaku. Sayangnya, bukan kabar tentang pelaku yang didapat namun kabar tentang Adit yang diterima dari handphone salah satu remaja yang ada di mobil bernama Faudi. Mereka mendapat kabar bahwa benar adanya mata kiri Adit akan diangkat karena sudah pecah.
Diam, dan hening pun dirasa. Yang terdengar hanyalah suara wiper mobil yang terus bergerak. Semua seakan tak percaya bahwa mata kiri dari teman terbaik mereka akan diangkat. Kesal, sedih, emosi, empati sudah campur aduk di dalam hati mereka semua.
Akhirnya sampailah mereka di kantor kecil di dalam komplek Green Lake City. Di dalam, mereka bertemu dengan Bang Taufik, seorang driver dari kantor cabang tersebut. Sambut hangat dari Bang Taufik juga ikut mengisi ruangan yang berantakan dengan alat kerja itu. Ternyata Bang Taufik pun sudah tahu tentang kejadian yang menimpa Adit. Namun Bang Taufik tidak tahu-menahu tentang apa masalahnya.
Tak lama, datanglah rekan kerja Adit yang lain. Sambil ngobrol, mereka pun mulai ada yang terbuka kepada Bayu, Faudi, Marvel, dan Septian. “Jadi, katanya Adit dipukul di kamar saat sedang pada main kartu, Bang. Tahu-tahu Bang Rian datang terus memukul Adit,“ ujar salah satu rekan kerja Adit. Semakin emosi mereka mendengar cerita itu, dan mereka pun mencoba menanyakan alamat dari Rian, si pelaku yang juga merupakan atasan Adit.
Hanya mendapat info itu, mereka tidak puas dan terus bertanya kepada rekan kerja Adit yang lain untuk memberitahukan di mana keberadaan Rian si pelaku. Bahkan Bayu sampai meminta alamat Rian. Tapi lucunya, di kantor itu tidak ada yang memiliki data atau pun alamatnya, dengan alasan semua data ada di pusat semua.
Pulanglah mereka akhirnya, karena dirasa sudah pagi dan tidak mendapatkan apa-apa selain informasi yang belum jelas asal-usulnya. Beberapa hari kemudian, pihak kepolisian dari Polsek Subang datang ke kediaman Adit. Pihak kepolisian pun meminta tolong pada kawan-kawan Adit untuk ikut mengantar polisi ke alamat yang sudah mereka kantongi.
“Padahal tadi pagi Pak Gultom bilang kalau Rian mau menyerahkan diri. Namun dia ingin ditemani oleh istri dan diantar oleh HRD kantornya,“ kata Pak Jajang, salah satu Bareskrim Polri Polsek Subang. “Tapi setelah dikonfirmasi kembali, ternyata handphone Rian ini tidak aktif. Padahal saya sudah berangkat dari Subang ingin bertemu di tengah-tengah antara Subang dan Jakarta. Dan tempat yang sudah disepakati adalah Karawang,” tambah Pak Jajang.
Sambil melepas lelah, para Bareskrim itu duduk diam sambil menikmati hidangan sederhana yang disediakan oleh keluarga Adit. Haekal sang kakak pun tidak lantas diam, dan mulai mengumpulkan sahabat-sahabat Adit untuk membantu melakukan pencarian. Berangkatlah mereka semua menuju alamat yang dituju, yaitu rumah istri pelaku di Jalan Anjelin III, Cikokol, Tangerang. Empat orang Bareskrim, empat orang sahabat Adit, seorang paman Adit, dan Haekal pun berangkat sambil terus memanjatkan doa untuk kelancaran pencarian ini.
Sesampainya di daerah rumah istri pelaku, Bareskrim pun memberikan instruksi kepada sahabat-sahabat Adit yang sering duduk bareng di warung kopi itu untuk tetap berada di dalam mobil. Karena ditakutkan mereka tidak bisa menahan emosi pada saat melakukan penangkapan.
Kurang lebih setengah jam mereka menunggu hasil. Kemudian keluarlah para Bareskrim dan menghampiri mereka. Ternyata hasilnya nihil. Pelaku dan istrinya tidak berada di rumah, bahkan pasangan itu meninggalkan bayinya yang dititipkan kepada mertuanya yang juga tinggal bersama Rian dan istrinya itu.
Dirasa tidak mendapatkan apa-apa, polisi dan juga sahabat-sahabat Adit pun bergegas ke luar komplek dan membicarakan langkah apa yang akan diambil. Sesampainya di luar komplek, mereka memutuskan untuk pergi ke rumah sakit terdekat karena menurut info yang didapat bahwa istri pelaku itu sakit. Pergilah mereka ke Rumah Sakit Sari Asih Sangiang, yang kemungkinan Rian dan istrinya di sana.
Ternyata hasilnya kembali nihil. Namun pihak kepolisian juga meminta data dari rumah sakit tentang benar atau tidaknya atau kapan terakhir istri pelaku berobat ke rumah sakit itu. Tidak selesai sampai di situ, polisi pun bergegas mengajak untuk pergi ke Jalan Tambora 2, Kelurahan Tambora. Karena ada kemungkinan mereka di sana karena alamat KTP-nya di sana menurut Pak Jajang.
Satu jam kurang lebih perjalanan yang ditempuh untuk sampai di Tambora. Sampailah mereka ke alamat yang dituju. Setelah melewati jembatan, jalan rusak yang berpasir, gang sempit yang bahkan motor pun tak bisa masuk. Namun hasilnya tetap nihil. Lagi-lagi hanya orang tua Rian yang mereka dapati.
Akhirnya polisi meminta kepada keluarga Rian untuk menyampaikan pesan kepada Rian agar menyerahkan diri dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Akhirnya mereka pun pulang sambil menggerutu. Pencarian terus berjalan yang dilakukan oleh sahabat Adit. Harapan mereka semoga pelaku cepat tertangkap dan Adit pun cepat sembuh.
Polisi memberikan waktu dua sampai tujuh hari bagi pelaku untuk menyerahkan diri ke Kepolisian Subang. Alhasil dua hari setelah pencarian, sang pelaku akhirnya menyerahkan diri ke Kepolisian Subang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. (Tulisan ini dikirim oleh Pareng Adi Prasetyo, mahasiswa Universitas Nasional, Jakarta)