Mantan Pengguna Narkoba yang Sukses Berternak Kelinci
- Pixabay
VIVA.co.id – Siang itu, tepatnya hari Jumat, 4 November 2016, panas terik matahari menerangi pria bercelana pendek dan telanjang dada. Itulah jenis pakaian yang sehari hari ia gunakan. Bukan ia tak mampu membeli baju, namun memang cuaca di Jakarta yang sungguh sangat panas.
Laki-laki dengan senyuman khas yang dihiasi gigi yang agak renggang di bagian kanan bawah itu mengangkat kandang burung peliharaannya. Seraya menggantung kandang tersebut dan mengambil kandang yang lain untuk dibersihkan dia berkata, “Ambil minum saja sendiri. Anggap saja rumah gue. Hehehehe,” candaan seperti ini selalu dilakukan. Karena dia menganggap semua orang yang sudah masuk atau bertamu ke rumahnya adalah saudara.
Siang itu sekitar pukul 14.00, dia selesai membersihkan semua kandang peliharaannya. Laki-laki itu duduk menyandarkan badannya, menaruh tengkuknya di ujung bangku yang sedikit memiliki busa. “Aduh cape ya. Padahal cuma begitu doang, pinggang gue kayak mau meledak,” keluhnya.
Laki-laki paruh baya ini memiliki 3 anak dan seorang istri yang tercantik di hidupnya. Dia juga tinggal bersama ibunya. Edwyn Kertawinnta, itulah nama laki-laki tersebut. “Ayah!” teriak seorang anak perempuan kecil yang terlihat lucu dan cerewet. “Eh, anak Ayah yang cantik. Apa Nak?” sahutnya. “Colat dulu, Yah!” ucapnya sambil menggenggam tangan ayahnya dan bermanja-manja. “Iya, Nak. Yuk, salat sama Ayah.” ajak Kang Edwyn.
Rumah yang memiliki lebar halaman 20 langkah dan panjang 80 langkah ini dihiasi pohon jambu, belimbing wuluh, bonsai, dan banyak tanaman lain. Ada pula kelinci-kelinci lucu di dalam kandang yang juga sedang merasakan panasnya matahari. Terlihat pula banyak kandang kosong di sana. Kandang yang dibuat dengan bahan dasar kawat galvanis ini mempunyai jumlah sekitar 54 kandang dan berisikan 40 ekor kelinci. Usaha inilah yang dijalankan Kang Edwyn selama 9 tahun terakhir.
Awal mula dia beternak kelinci ialah saat ia membeli kelinci biasa yang harganya hanya sekitar 15,000 rupiah. Bermodalkan ketekunan, sedikit demi sedikit kelincinya semakin banyak dan ia mulai menjualnya ke tukang-tukang pinggir jalan atau dia sendiri yang menjualnya secara langsung. Hasil dari penjualan tersebut ia kumpulkan untuk membuat kandang kayu.
Setiap bulan dia mulai mendapatkan hasil yang meningkat, yang pada akhirnya dia mulai mencari tahu apa dan seperti apa berternak kelinci yang benar. Dia mulai belajar dan akhirnya tahu bahwa yang dia lakukan adalah salah. Karena dia beternak dan menjual kelinci yang asal usul atau ras-nya tak jelas.
“Saya belajar ke sana ke sini. Akhirnya kelinci yang saya punya saya jual semua, dan mulai membeli kelinci-kelinci yang memiliki asal-usul yang jelas atau ras yang memang ada dan sudah ditentukan oleh ARBA dan Balitnak,” jelasnya. ARBA sendiri adalah American Rabbit Breeders Association dan Balitnak adalah Balai Penelitian Ternak.
“Kelinci yang saya beli saat itu sangat banyak. Dari mulai Dutch, Himalayan, Satin, Rex, English Anggora, dan Fuzzy Lop. Wah, pokoknya banyak. Sampai 13 ras semuanya gue punya. Sampai akhirnya saya kepikiran membuat Daniels Rabbit ini menjadi rabbitry yang lebih spesialisasi. Dokter saja ada spesialisnya, masa tukang kelinci enggak ada,” candanya.
Akhirnya dia mencari 4 ras yang kira-kira akan menjadi ladang emasnya Daniels Rabbit. Daniels Rabbit sendiri adalah nama peternakan kelinci miliknya. Nama Daniel diambil dari nama anak pertamanya. “Anak yang bandel, anak yang susah pokoknya,” tegasnya. Jadi dia berharap bahwa rabbitry-nya pun bandel dan susah untuk dijatuhkan atau bangkrut.
Ras yang dijadikan spesialis adalah Rex, Rexa, English Anggora, dan Fuzzy Lop. Dimulai dari 4 jenis itulah saya menjalankan dengan tekun peternakan ini hingga menjadi peternakan kelinci terbesar di DKI Jakarta. Dan melakukan jual beli sekaligus mensosialisasikan perawatan kelinci yang benar kepada setiap pembelinya. “Be a smart buyer and be a recommended seller, kalau kata orang kampung mah begitulah kira-kira Om,” candanya.
Lambat laun dia mulai menjalankan usahanya itu. Dia mendapatkan bantuan dari tempat yang bisa dibilang telah menyelamatkan hidupnya dari narkoba. Tempat ia ketika itu direhabilitasi. Tempat itu memberikan uang sekitar 15 juta untuk membantu usahanya. “Memang semua orang yang sudah lulus rehab akan dikasih bantuan, Om. Ada yang usahanya bengkel, macam-macamlah usaha yang dibantu. Alhamdulillah, pas waktu itu saya langsung impor kelinci 2 ekor seharga 12 juta. Dan dari hasil usaha itu bisa buat tambahan jajannya Daniel,” ungkapnya.
Pada 2014, tahun titik kesuksesan tertingginya sedikit lagi bisa ia gapai dengan membuka peternakan di daerah Cipanas, tepatnya di Baliti. Ia bersama temannya membuka dan mencoba menernakkan kelinci jenis New Zealand. Mencari investor adalah langkah pertama yang dia lakukan demi melancarkan keinginannya. Target dia dan temannya adalah menjadikan peternakan itu menjadi peternakan kelinci terbesar se-Indonesia, bahkan se-Asia Tenggara.
Fery Item, begitulah dia memanggil temannya. Pada saat itu, dia mendapatkan bantuan dari sebuah bank. Seiring berjalannya waktu, peternakan itu akhirnya memiliki sekitar 3,000 ekor indukan. Saat itu masih proses pembangunan kandang dan tempat pembuatan pelet atau pakan kelinci. Dan kini, dia juga sudah berhasil mendapatkan pelanggan kelinci pedaging.
Jadi kita penginnya daging kelinci ada di semua rumah sakit di seluruh Indonesia. Karena daging kelinci tidak memliki lemak dan hanya memiliki serat, mineral, dan protein saja. Jadi sehat banget buat orang-orang yang sakit. Dan juga, daging kelinci ini juga bisa sebagai pengganti daging sapi sebagai bahan baku pembuatan bakso dan macam macam,” tegasnya.
“Banyak memang pertanyaan kenapa pilih kelinci yang dijadikan usaha atau dipilih untuk diternakkan? Jawabnya, ya memang rezekinya di situ. Padahal peluang usaha yang besar itu justru kelinci. Orang jarang ada yang bisa berternak dan memelihara kelinci. Nah, kita baca pasarnya dari situ saja. Coba bayangkan, 1 ekor anakan di setiap ras itu berbeda. Misalnya Rex anakan impor atau pure breed dengan kualitas show (untuk kontes) harganya sekitar 1-1,5 juta, Fuzzy Lop anakan harganya 150-200 ribu, English Angora 250-500 ribu, Rexa harganya 300-400 ribu, dan Holland Lop harganya 1,5-2,5 juta rupiah. Semua itu harga anakan per ekornya, dan jarang kelinci melahirkan anakan cuma 1. Minimal sekali 3 atau 4 ekor setiap melahirkan,” lanjutnya.
“Hitung sendiri saja harga anakannya di setiap kelahiran. Kita jual anakan di umur 2 bulan atau lebih, tidak akan kurang dari itu karena itu umur yang baik untuk lepas sapih. Dan daya tahan tubuhnya juga sudah kuat. Kalau harga New Zealand yang pure breed hampir sama seperti harga Rex. Tapi kita jualnya tidak sampai segitu, dan juga tidak kita kawinkan dengan yang pure breed. Jadi kita mainkan genetiknya sehingga bisa menekan biaya juga. Sehingga bisa dijual di harga sekitar 300-400 ribu. Tergantung bobot anakan kelinci saat di umur 3 bulan,” terangnya.
“Jadi, sudah tahu kan kenapa saya pilih kelinci? Sudah tahu juga kenapa saya masih bertahan untuk ternak kelinci?” Begitulah pertanyaan yang seakan meyakinkan bahwa dirinya tak akan pindah ke lain hati dan terus akan berternak kelinci. (Tulisan ini dikirim oleh Pareng Adi Prasetyo, mahasiswa Universitas Nasional, Jakarta)