Mahasiswa Indonesia Gelar Water Film Screening di Taiwan
VIVA.co.id – Salah satu mahasiswa Indonesia di Taiwan, Richad Yanato menggelar water film screening untuk pertama kali di kalangan mahasiswa se-Taiwan, pada Minggu, 25 Desember 2016 di kampus National Yunlin, University of Science and Technology (Yuntech). Water film screening tersebut merupakan rangkaian dari acara The Cries of Sea Photo Exhibition and Film Screening yang berlangsung di kampus Yuntech sejak 25 hingga 30 Desember 2016.
Selain pemutaran film di indoor dan outdoor, acara yang berlangsung selama 6 hari tersebut juga memamerkan 17 buah foto yang bercerita tentang kisah para ABK. "Screening film di dalam ruangan atau teater sudah biasa. Saya ingin membuat sesuatu yang lebih spesial untuk menarik perhatian dari para warga Taiwan ataupun internasional untuk menyaksikan film dokumenter ini. Tujuannya agar mereka dapat lebih memahami tentang masalah yang dihadapi oleh teman-teman ABK di Taiwan," ujar Richad.
Adrian Irnanda, salah satu pengunjung acara mengatakan bahwa pemutaran ini merupakan salah satu cara yang unik. Pengunjung diajak untuk menonton film di depan danau dengan proyektor yang menembak ke layar air. "Selama ini saya hanya melihat film di televisi, proyektor, ataupun bioskop. Kali ini saya melihat sesuatu yang baru dengan menyaksikan pemutaran film yang dilakukan di tengah danau," ujarnya.
The Cries of Sea merupakan film dokumenter pendek yang menceritakan tentang kisah ABK LG (letter of guarantee) yang bekerja di kapal Taiwan. Mereka harus bekerja selama 6-36 bulan di lautan Afrika dan Argentina dengan gaji USD 300 per bulan. Uang tersebut masih harus dipotong biaya agensi sebesar USD 150 per bulan untuk biaya penempatan kerja selama 1 tahun pertama, dan USD 100 per bulan hingga selesai kontrak sebagai uang jaminan. Jadi, di tahun pertama mereka hanya menerima USD 50 atau sekitar Rp 600,000 per bulan.
Disamping bekerja dengan gaji kecil, film karya mahasiswa S2 jurusan DKV tersebut juga menceritakan tentang ABK yang sering disiksa oleh kapten kapal. Mereka juga tidak memiliki jaminan asuransi kesehatan apabila terjadi kecelakaan kerja atau sedang sakit. Para ABK tersebut hanya dibawa berobat seadanya di klinik atau hanya diberikan obat.
"Menurut data dari Kantor Dagang Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei, setiap tahunnya terdapat sekitar 3,000 ABK LG asal Indonesia di Taiwan. Ini merupakan jumlah yang besar. Sebagai salah satu pahlawan devisa, kesejahteraan dan jaminan kesehatan mereka merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Indonesia," lanjut sang sutradara.
Film berdurasi 17 menit yang diproduksi pada tahun 2013 tersebut telah mendapatkan 3 buah penghargaan di kompetisi bergengsi skala nasional Taiwan. Yaitu juara 1 kategori film dokumenter di 2nd Legend Film Festival, special jury prize di Youth Film Festival, dan juara 3 di New Taipei City Labor Bureau Micro Film Award.
Menurut Tay Jou Lin, salah satu sutradara film dokumenter di Taiwan, film ini merupakan sebuah karya yang unik. Sebelumnya belum pernah ada mahasiswa Indonesia yang menggali cerita tentang kisah ABK Indonesia di Taiwan. "Tidak heran jika film ini mendapat beberapa penghargaan. Pasalnya, selama ini belum ada sutradara yang mengambil cerita tentang mereka. Ini juga merupakan salah satu masalah yang cukup serius dan harus diselesaikan," ujarnya. (Tulisan ini dikirim oleh Richad Yanato. B.D, National Yunlin University of Science and Technology, Taiwan)