Kerak Telor, Warisan Kuliner Nusantara Khas Betawi
- VIVAnews/Fernando Randy
VIVA.co.id – Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia yang menawarkan sejuta pesona dan gemerlapnya. Namun, siapa sangka di balik pesona dan gemerlapnya, Jakarta juga memiliki banyak kuliner khas. Banyak diburu para pencinta kuliner, tetapi sulit untuk dijumpai. Ya, kerak telor.
Salah satu makanan khas betawi yang sekarang sudah sulit ditemui. Tidak hanya digemari warga Jakarta, warga luar Jakarta pun banyak yang menggemari jajanan mirip telor dadar ini. Bahkan mereka rela jauh-jauh datang dari luar kota hanya untuk mencicipi kuliner khas Betawi ini bila sedang ada acara kulineran di Jakarta.
Rasanya yang lezat dan gurih tak terlepas dari bahan yang digunakan. Yaitu beras ketan putih, telur ayam maupun telur bebek, udang kering yang digoreng kering seperti abon, serta ditambahkan pula bawang merah goreng, dan diberi bumbu yang dihaluskan. Berupa kelapa sangrai, cabai merah, kencur, jahe, merica halus, garam, dan gula pasir.
Saat ini, jajajan asli Betawi sudah semakin langka. Hanya bisa dijumpai di acara tertentu dan juga objek wisata tertentu saja seperti Setu Babakan, Jakarta Selatan. Serta pada momen tertentu seperti dalam rangka HUT kota Jakarta yang dapat dijumpai di Pekan Raya Jakarta, Jakarta Pusat.
Jayadi, salah satu pedagang kerak telor yang berhasil saya temui ini terlihat sedang mangkal dari kejauhan sana. Ternyata, sedang ada bazar rakyat tahunan yang berlangsung di daerah Kramat Ganceng, Pondok Rangon, Jakarta Timur. Dia terlihat asyik membolakbalik wajannya dengan tangan lihai dan terampil.
Tak perlu waktu lama, sekitar 5 menit kemudian kerak telor sudah tersaji di hadapan pembelinya. Harumnya yang khas dengan perpaduan telor bebek dan beras ketan putih serta bumbu lain yang disatukan membuat para penikmat kuliner nusantara pasti akan segera ingin mencicipinya.
“Memang pedagang kerak telor sudah sangat sulit ditemui, mungkin hanya tersisa satu dua orang saja di wilayah ini,” ujar Jayadi. Dengan perkembangan zaman yang semakin canggih dan era globalisasi yang cepat masuk ke negara ini, makanan tradisional lambat laun semakin ditinggalkan. Banyak orang yang lebih tertarik dengan makanan luar negeri maupun makanan cepat saji atau yang lebih dikenal dengan fast food.
Tidak ada waktu untuk menunggu makanan yang sedang dimasak juga menjadi salah satu masalah yang sering dihadapi warga ibukota yang memiliki kegiatan super sibuk. Serta gaya hidup yang terpengaruh budaya luar sehingga sering mengonsumsi fast food.
Jayadi sudah hampir belasan tahun menjadi pedagang kerak telor. Selain untuk menghidupi keluarganya, dia juga ingin melestarikan warisan kuliner nusantara yang mulai tergerus zaman. Dia berharap semoga kerak telor yang notabenenya adalah ciri khas ini tidak punah. Berharap bisa dikenal sampai mancanegara. “Saya berdagang kerak telor hampir 20 tahun,” ujar pria asli Betawi ini.
Setiap dia mengikuti kegiatan-kegiatan seperti hajatan atau pasar malam, dagangan pasti selalu habis dibeli pembeli yang rindu akan cita rasa makanan khas Betawi. Dengan merogoh kocek sekitar 18 ribu sampai 25 ribu rupiah saja kita sudah bisa menikmati kelezatan kerak telor. Ada telur bebek dan telur ayam, pembeli bebas memilih telurnya.
***
Lewat berdagang kerak telor, Jayadi dapat menyekolahkan ketiga anaknya hingga bisa lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan. Tak hanya kerak telor, pria ini bercita-cita untuk melestarikan kuliner khas Betawi lainnya. Seperti dodol betawi, soto betawi, dan masih banyak lagi keragaman kuliner khas Betawi.
Di era digital seperti zaman sekarang, secara tidak langsung sudah membantu kelestarian warisan kuliner nusantara. Lewat sosial media banyak orang yang membagikan gambar ataupun video tempat makan yang dikunjunginya. Khususnya makanan-makanan khas nusantara. Sekarang sudah banyak menjamur vlogger atau istilah lainnya orang-orang yang sering menayangkan kegiatan kulineran. Banyak vlogger memposting makanan yang mulai tergerus zaman. Saat mereka temui pedagang itu, pasti mereka akan merekam video itu lalu membagikan postingan tersebut ke khayalak luas. Mereka semua turut ambil bagian terhadap pelestarian kuliner.
Selain para vlogger, ada juga para pedagang yang selalu setia berdagang makanan kerak telor ini. Rata-rata mereka telah memasuki usia hampir 50 tahun dengan banyak pengalaman yang telah dilewati. Jayadi contohnya. Dia tetap setia berdagang kerak telor meski lama-kelamaan peminatnya semakin berkurang. Walaupun saat acara tertentu, penikmat kerak telor selalu saja datang ke gerobak pikulnya.
“Terkadang kalau sedang ramai pembeli, saya bisa mengantongi hingga 500 ribu rupiah. Itu pun dengan waktu yang tidak terlalu lama. Mungkin sekitar 6 jam saja,” ujar Jay, sapaan akrabnya. Sebelum dia berjualan kerak telor, kakak kandungnyalah yang terlebih dahulu berdagang kerak telor. Lama-kelamaan usia kakaknya mulai menua dan tidak sanggup lagi. Akhirnya dia berinisiatif untuk meneruskan usaha turun temurun ini.
Entah kenapa kerak telor sudah menjadi bagian hidupnya. Selain untuk mencari nafkah, dia juga menemukan perasaan bangga saat berjualan. Karena walau sedang ada acara besar pun terkadang pedagang kerak telor tetap bisa dihitung dengan jari. “Tidak seperti dulu sekitar tahun 90-an, yang berdagang masih banyak. Kalau sekarang sudah sepi pedagangnya,” ujarnya.
Dia ingin warisan kuliner Betawi tetap ada yang meneruskan. Apalagi di umur dia yang sudah tidak muda lagi, sekitar 46 tahun. Dia selalu berharap kerak telor ini tidak hilang ditelan zaman. Semoga generasi muda Betawi juga ikut ambil bagian dalam pelestarian kuliner ini.
Setu Babakan juga ikut ambil bagian dalam pelestarian kebudayaan dan kuliner asli Jakarta. Semua pedagang makanan khas ini dikumpulkan dan disatukan di sana untuk berjualan dan melestarikan kuliner Jakarta. Tak hanya kerak telor, terdapat juga pedagang bir pletok, selendang mayang, cendol betawi, dan masih banyak juga pedagang makanan dan minuman khas betawi di sana.
“Saya senang ternyata lewat Setu Babakan makanan asli Jakarta tidak akan hilang tergerus zaman. Semakin banyak pengunjung yang datang, semakin tak terlupakan juga makanan kami. Dan semakin banyak orang yang kenal kerak telor khas Betawi,” tutup Jayadi. (Tulisan ini dikirim oleh Nicodimus Novianto, mahasiswa Universitas Nasional, Jakarta)