Semalam Tanpa Azan di Pulau Kenawa
- U-Report
VIVA.co.id – Katanya, Sumbawa itu panas. Katanya, Sumbawa itu seribu pulau, seribu sapi. Katanya, Sumbawa itu gersang. Katanya, Sumbawa itu mahal. Dan katanya, Sumbawa itu jauh.
Katanya, Pulau Kenawa itu indah. Katanya, Pulau Kenawa itu menantang. Katanya, Pulau Kenawa itu menarik. Dan katanya, Pulau Kenawa itu ada di Sumbawa.
Suatu siang saya menghabiskan waktu di Perpustakaan Pusat UIN Malik Ibrahim Malang lantai tiga bersama Mbak Jule. Berawal dari celetukan ingin main ke Pulau Lombok dan kemudian merembet cetusan main ke Pulau Kenawa akibat blogwalking. Di mana? Di Sumbawa. Lebih jauh lagi menyeberang semakin ke timur Indonesia.
Bagi saya seorang pejalan pemula, bagai serbuk sari bunga Anggrek. Kecil hampir tak terlihat, namun memesona menarik saya untuk menyipitkan mata melihat detailnya. Memang bisa ya sampai sana? Harus lompat berapa pulau? Manusianya bagaimana? Mari awali dengan bacaan Basmalah.
Memilih jalur lewat Kota Mataram yang tertempuh sekitar satu setengah jam dari pelabuhan Bangsal, kemudian saya mengambil alih kemudi menuju pelabuhan Kayangan dengan estimasi waktu tempuh tiga jam. Seiring berputarnya roda motor dan waktu melintasi jalanan di sisi lain pulau Lombok. Sebenarnya tak terlalu berbeda dengan keadaan di Jawa, namun pikiran tetap melompat-lompat, bermotor ke pelosok Lombok menuju Sumbawa.
Serasa melayang beradu dengan truk-truk besar yang sepertinya baru menyeberang dari pulau seberang. Juga mengejar waktu agar tidak perlu menunggu waktu menyeberang seperti di pelabuhan Bakauheni, Lampung. Ternyata di Pelabuhan Kayangan ini, penyeberangan tersedia 24 jam. Waktu terus bergulir seiring bertambahnya papan penunjuk arah menuju Pelabuhan Kayangan yang terlewati.
Nama Pelabuhan Kayangan terdengar di telinga saya bagai datang dari negeri dongeng. Namun, kemudian sisi kanan kiri jalan mulai renggang. Rumah penduduk pun kemudian tergantikan oleh padang ilalang kering kecoklatan ber-aura padang Afrika yang biasa saya tonton di National Geographic. Ditambah segaris laut biru tua. Kalau jantung saya bisa bicara, pasti sudah teriak “huwaa huwaa huwaaa,” sambil lompat ke sana ke mari.
Tak lama kemudian, di depan sana, semakin dekat terlihat gerbang selamat datang di Pelabuhan Kayangan yang menyambut kami dalam diam. Untuk menyeberang dengan motor terkena biaya Rp 50.000, dan harga bervariasi tergantung jenis kapasitas mesin motor. Setelah membayar, kami mengantre menunggu giliran masuk ke dalam anjungan kapal.
Aku terakhir kali menyeberang laut adalah ketika Januari awal tahun ini menuju Lampung bersama dengan Mbak Jule juga. Mengumpulkan memori lebih jauh lagi. Lompat ke waktu lampau, zaman ketika umi dan abi dinas di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Kapal dan laut. Jawa, Sulawesi, Lampung, Lombok, Sumbawa. Itulah Indonesia yang disebut negara kepulauan dengan belasan ribu pulaunya.
Kapal menderu meninggalkan Pelabuhan Kayangan. Seinci demi seinci kapal dengan muatan truk-truk besar di bagian bawah menuju ke sana. Sambil berpikir mengenai otak manusia. Sesederhana menerima kapal kayu nelayan dapat membawanya mencari ikan di laut tanpa tenggelam. Kemudian beberapa truk besar sekian ton dapat terangkut di atas kapal. Teknologi. Terberkahilah bagi yang memanfaatkan kemampuan otak, mengeksplorasi ilmu yang terserak di bumi luas ini.
Mengamati penumpang lain dalam kapal. Beberapa bule tampak asyik mengamati perjalanan dengan travel bag besar di samping mereka. Apakah kami memiliki tujuan yang sama? Seorang bapak-bapak kemudian bernyanyi sebuah lagu candaan dengan lantang. Beberapa penumpang tertawa. Ada yang memalingkan wajah seperti terganggu dengan suara yang tidak bisa dibilang indah tersebut. Ironi mencari nafkah.
Bosan duduk di kursi, saya pun bergeser duduk di lantai dekat teralis. Sedikit-sedikit dataran Sumbawa mulai terlihat. Pulau tempat beberapa teman kuliah berasal. Mempunyai teman berasal dari Bima yang dalam pikiran saya, ah entah di mana tempat itu. Saya tidak memiliki bayangan sejauh mana Pulau Sumbawa apalagi Kota Bima. Barulah saat ini saya berpikir betapa jauh perjalanan darat mereka untuk menuntut ilmu di Malang.
Setelah dua jam berlayar dan satu jam menunggu antre sandar di pelabuhan Poto Tano, kami sampai di daratan Sumbawa. Kalau diukur, sebenarnya lebih jauh jarak perjalanan ke Lampung. Bahkan bila dihitung singkatnya waktu karena kami menaiki pesawat dari Surabaya saat menuju Lombok. Namun, secara suasana hati, merasakan degupan jantung yang lebih. Tak sampai lima menit kami sudah sampai di gerbang dermaga Poto Tano yang berseberangan dengan Kantor Jembatan Timbang.
Kebetulan kami bertemu dengan bapak-bapak yang sedang santai di sebuah pos. Bertanya apakah ada yang bisa mengantarkan kami ke Kenawa. Ternyata salah satu dari tiga bapak-bapak tersebut adalah nelayan yang bersedia mengantarkan kami ke Kenawa, yang kemudian kami ketahui bernama Pak Cau. Setelah sedikit tawar-menawar, kami mendapat harga dua ratus ribu rupiah.
Sumbawa menunjukkan keramahannya. Bapak-bapak tersebut menyambut kami dengan hangat setelah tahu kami hanya berdua dari Malang. Bertukar cerita mengenai Pulau Kenawa yang sudah terkenal sampai ke Negeri Jiran. Sebelum ke pulau Kenawa kami terlebih dulu membeli makanan dan minuman untuk buka puasa sekalian sahur. Kami juga menyewa google glass, snorkel, dan pelampung di salah satu warung dekat dermaga dengan harga tiga puluh ribu rupiah.
Jajaran rumah penduduk di dekat dermaga Poto Tano sebagian berdinding tembok. Namun, sebagian besar masih beratap seng, berdinding kayu. Saya melihat beberapa anak bermain perahu-perahuan dari styrofoam besar di kubangan air kotor yang dibendung karena sampah rumah tangga. Senyum bahagia anak-anak kecil yang kontras dengan lalat berterbangan di antara tumpukan sampah, yang tentunya berpotensi menimbulkan penyakit.
Di satu sisi, saya mengagumi tempat tinggal mereka yang indah. Menjejakkan kaki di dermaga Kenawa, menghadap langsung palang selamat datangnya. Mengangkat tangan tinggi-tinggi dan berkata, “Sampai juga!”. Berkecamuk dalam pikiran, mendapati diri sendiri berdiri di pulau ini yang hanya sebatas angan di beberapa bulan yang lalu. Dan kini telah menjadi angan yang lunas. Terimakasih Allah, orangtua, dan Mbak Jule!
Melihat sekeliling yang sepi. Ternyata tak ada pengunjung lain selain kami! Padahal biasanya ada satu atau beberapa rombongan kalau hari biasa, berdasar informasi dari Pak Cau. Antara bahagia dan sedikit ngeri. Berasa menjadi pemilik pulau pribadi. Pulau Kenawa awalnya adalah pulau tak berpenghuni. Meski sudah tercantum secara resmi dalam kawasan bahari, namun masih dikelola oleh masyarakat, bukan Pemerintah.
Karena namanya yang kian tersohor dan semakin banyak pelancong yang mampir, ada penduduk yang kemudian membuat warung dan tinggal di sana. Namun karena bulan Ramadan, warung pun tutup, and we were completely alone. Sendiri, meski berdua di sebuah pulau nun jauh dari rumah tentunya akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Tak ada toilet, tak ada penyedia pangan, tak ada listrik, apalagi penerangan. Namun, Alhamdulillah, masih ada sinyal. Kami dibantu Pak Cau menurunkan barang bawaan. Beliau berpesan untuk tetap berdoa, dan berkata, “Inshaallah aman”.
Pak Cau meninggalkan kami di Pulau Kenawa. Saatnya menikmati 'pulau pribadi'. Sensasi yang belum pernah saya rasakan. Saya menaiki sebuah menara air dan dari sini, sepanjang mata memandang berkeliling di setiap penjurunya terus mengundang decak kagum. Mengamati pinggiran pelabuhan Poto Tano yang setiap beberapa jam sekali disandari kapal. Pesisir Kenawa dengan deretan saung tempat istirahat untuk para pelancong. Ada satu warung dan toilet umum, namun tidak beroperasi karena bulan Ramadan.
Sore syahdu dengan laut yang membiru. Terdapat beberapa pulau di sekitaran pelabuhan Poto Tano. Namun, Pulau Kenawa memiliki keindahan tersendiri dengan ilalang pendek setinggi lutut yang membentuk gumpalan dengan bukit kecil di salah satu ujungnya. Tanpa pohon, Pulau Kenawa yang mulai menguning menyambut musim kemarau. Dikelilingi pasir putih dan terumbu karang yang elok, jangan lewatkan tanpa menyelam!
Saat kami menuju bukit, seekor kucing terus mengikuti kami. Kami berhenti, dia berhenti. Kami jalan, dia ikut jalan. Tidak tahu darimana asalnya kucing ini. Mungkin milik pemilik warung, kemudian tertinggal di sini sendirian. Hingga malam dia menemani kami. Saya beri nama dia Ika, si kucing Kenawa. Namun, kemudian keesokkan harinya dia tidak lagi bersama kami. Saya dan Mbak Jule tidak membahas masalah ini sampai perjalanan berakhir. Saya berpikir, mungkin dia semacam 'teman'.
Sambil menunggu azan magrib, kami menghabiskan waktu dengan tilawah dan berzikir. Namun, karena tak kunjung mendengar suara azan, berbekal informasi waktu magrib dari Pak Cau, saya berulang kali melirik jam tangan menikmati tiap menit seiring menggelapnya langit. Desau angin menjadi pengantar buka puasa di tanah saudara, Pulau Kenawa. Sumber energi berupa roti dan air mineral membawa kami turun ke bawah menuju tempat barang bawaan.
Terdapat satu saung yang cukup luas dan bersih untuk salat dan beristirahat. Tapi tidak lama kemudian setelah salat magrib, di bawah atap jerami yang gelap, suara-suara mengerikan mulai berdengung bersahut-sahutan. Nyamuk. Entah karena sangat sepi, saya juga tidak bisa memperkirakan sebesar apa nyamuknya. Dengung nyamuk tersebut terdengar mengancam di telinga saya meski sudah mengoleskan lotion anti nyamuk di tangan dan wajah.
Akhirnya Mbak Jule memberi ide untuk tidur di dermaga. Apakah terdengar merana? Di dermaga Kenawa kami menggelar jaket sebagai alas salat isya dan tarawih. Menyaksikan berkas sore yang kian memudar di balik Rinjani, dan menyusul titik-titik cahaya di pelabuhan yang mulai dinyalakan. Sesekali waspada mendengar deru perahu kapal nelayan yang lewat mencari ikan di malam hari.
Di atas dermaga saya dan Mbak Jule bersujud ke arah barat, mengira-ngira arah kiblat yang pas. Menikmati setiap takbir sambil terus merapal doa agar selalu dilindungi Allah dan dijauhkan dari marabahaya, baik dari langit maupun di bumi. Setiap rakaat diiringi deburan ombak, selain sunyi. Beratap langit dengan saputan awan dan gemerlip bintang. Menghabiskan salah satu malam di bulan Ramadan tanpa suara azan.
Kami mulai menghabiskan jajanan dan melepas lelah berbaring menyamankan diri. Meluruskan punggung merasakan angin yang tertahan jaket. Mencoba menggapai dunia kapuk rasa kayu dengan air beriak di bawahnya. Malam yang semakin larut. Meski sudah melarikan diri dengan berbaring di atas dermaga berharap jauh dari pasukan nyamuk, sepertinya mereka tak menyerah. Sesekali saya harus menghalau dengungan nyaring nyamuk-nyamuk itu.
Desau angin, alunan ombak, dan dengung nyamuk membuat saya antara terjaga dan tidak terjaga. Kemudian di suatu detik saya merasa hilang, jatuh lelap tertidur. Hingga sekitar jam 3 pagi, udara semakin dingin hingga terasa titik air di wajah. Hujan! Dengan tergesa saya dan Mbak Jule bangun dan membereskan barang-barang, ngibrit menuju saung terdekat.
Kami mengais sisa kelelapan tidur yang sesaat tadi. Oh... hujan. Besoknya kami terbangun karena kehujanan. Sahur dengan roti, mandi di laut yang airnya sebersih kaca, naik ke bukit berbatu yang batunya terpecah belah. Kemudian kami baru diberi tahu oleh Pak Cau bahwa tempat kami tadi main air ternyata banyak ularnya! (Tulisan ini dikirim oleh zharnd)