Aku Tetap Anakmu, Ayah
- U-Report
VIVA.co.id – Bulan ini genap lima puluh tahun usia ayah. Badannya mulai terlihat rapuh. Sebagian rambutnya mulai memutih, membuat beliau terlihat semakin menua. Masih terbayang beberapa tahun sebelumnya, beliau terlihat begitu kuat menjalani aktivitas. Mulai dari mengantar kami sekolah sampai menonton pertandingan sepak bola bersama.
Ayah adalah seorang sopir. Memang tak terlalu banyak cerita yang kudapat. Tapi sedikit cerita tentang pekerjaannya cukup membuatku bangga. Pribadi beliau yang sangat rajin menjadi suri tauladan bagi kami sekeluarga. Sosok pekerja keras dalam keadaan keluarga kami yang pas-pasan.
Cerita tentang ayah bukan hanya sekadar cerita tentang tanggung jawab beliau sebagai pemimpin di rumah. Banyak hal yang kulihat dan kurasakan tentang sosok ayah. Banyak inspirasi yang membuatku menjadi seorang laki-laki. Cerita beliau tentang kehidupan rasanya hampir lengkap mengisi perjalanan hidupku. Mulai dari kenakalan seorang laki-laki, sampai tanggung jawab yang harus dimilki seorang laki-laki.
Tak akan bisa kupungkiri, keadaan hidup memang menjadi kendala aku dalam berkomunikasi dengan ayah. Belakangan ini banyak harapan dan keinginan ayah terhadap diriku, apalagi di usia beliau saat ini. Sejak kepergian ibu, seakan banyak hal yang harus beliau selesaikan. Termasuk memperbaiki hubungan kami berdua dalam menyikapi keadaan keluarga.
Melalui sorot matanya dalam setiap kali memandangku, aku melihat banyak cerita yang ingin ia sampaikan. Aku pun selalu merasa berdosa dengan segala sikapku selama ini. Tapi setiap kali kupikirkan dan kurenungkan, aku merasa tidak ada yang salah dengan sikap dan tindakanku. Atau memang aku yang terlalu egois dan keras kepala?
Pilihanku untuk mencari uang sendiri menjadi pukulan bagi ayah, menjadi perdebatan yang cukup alot dan penuh emosi. Aku memutuskan tetap pada pendirianku untuk mencari uang sendiri dan tidak lagi memberatkan biaya kuliah kepada ayah. Namun ayah mempunyai pandangan lain.
Pertengkaranku dengan ayah kala itu rasanya menjadi penyesalanku yang paling dalam dan tak akan pernah kulupakan sepanjang umurku. Apalagi peristiwa saat itu disaksikan ibu dan adikku. Sejak saat itu aku merasa sangat bersalah, sungguh aku merasa berdosa. Seandainya aku bisa menahan diri untuk tidak emosi mungkin kejadian itu tak perlu terjadi.
Aku tetaplah anak laki-laki Ayah. Yang masih perlu dan selalu rindu dengan nasihat dan pelukannya. Pendirian kami dan cara menghadapi persoalan hidup memang terasa jauh berbeda. Keyakinanku tentang kasih sayang ayah terhadap diriku selalu ada, dan tak akan pernah berkurang. Walau banyak prinsip-prinsip yang berbeda yang kami lakukan dalam menjalani kehidupan.
Saat ini aku hanya berharap ayah bisa mengerti dengan semua itu. Dan aku tidak lagi egois dengan mempertahankan jalan pikiranku sendiri. Aku berharap saat itu datang dan kami bisa tersenyum bersama mengarungi lautan kehidupan. Dengan penuh keyakinan dan harapan. Satu hal yang pasti, aku tetap anak laki-laki ayah. (Tulisan ini dikirim oleh Donny Setiawan, mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta)