Satu Sisi Potret Kehidupan di Ibukota
VIVA.co.id – Ibukota Jakarta sudah tak asing lagi di benak masyarakat sebagai kota metropolitan. Arus perpindahan penduduk yang begitu besar menyebabkan membludaknya jumlah penduduk di sana. Persepsi masyarakat luar Jakarta, ibukota adalah sebuah tempat yang mudah untuk mencari uang dan juga keuntungan.
Semua pendatang menginjakkan kaki di Jakarta hanya dengan berbekal ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh orang-orang terdahulu yang sejak awal menetap di Jakarta berdasarkan pengalamannya. Selain warga pendatang, warga asli Jakarta sendiri sudah memiliki berbagai macam polemik. Misalnya kemiskinan dan tidak tersedianya lahan, yang memaksa mereka tinggal di pinggiran sungai. Hal tersebut dijadikan alasan oleh mereka untuk membuat bangunan liar secara tidak teratur.
Pembangunan yang tidak teratur itu menciptakan munculnya pemukiman-pemukiman yang berada di pinggiran daerah aliran sungai. Mereka beranggapan dengan membangun rumah di tepian sungai, tidak akan menimbulkan masalah ke depannya. Anggapan inilah yang menyebabkan timbulnya anggapan lain. Seperti, “Mereka saja bisa membangun rumah di tepian sungai mengapa kita tidak?” atau “Orang dahulu saja boleh membangun di situ mengapa kita tidak?” Anggapan mengerikan itulah salah satu penyebab banyaknya bangunan di tepian sungai.
Namun ternyata, bukan hanya masyarakat ekonomi rendah yang membangun di tepian. Orang yang dianggap ekonomi atas pun justru ikut membangun di daerah aliran sungai. Kurangnya kesadaran masyarakat akan ketertiban dan efek apa yang akan timbul apabila hal ini terus dibiarkan juga menjadi salah satu penyebab masalah seperti yang sudah disebutkan di atas.
Tetapi tidak adil rasanya bila terus menyalahkan warga pendatang, pribumi Jakarta, ataupun menyalahkan keadaan ekonomi seseorang. Sejatinya hal tersebut tidak dilakukan oleh semua orang yang disebutkan tadi, melainkan adanya oknum yang baik disengaja atau tidak menyebabkan masalah dan mencari keuntungan pribadi.
Salah satu permasalahan terbesar pembangunan rumah di tepian daerah aliran sungai yaitu adanya masyarakat yang secara sengaja maupun tidak sengaja membuang sampah hasil rumah tangga ke sungai. Hal ini muncul akibat kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bagaimana cara menjaga kebersihan lingkungan dengan baik dan benar.
Contohnya warga yang tinggal di pinggiran sungai yang melewati pintu air Manggarai. Masih ada beberapa warga yang secara sengaja maupun tidak sengaja membuang sampah ke sungai. Hal ini tentu menciptakan masalah. Yaitu ketika curah hujan yang tinggi terus mengguyur wilayah Jakarta, sampah-sampah yang berada di sekitar aliran sungai terbawa oleh arus dan tersangkut di pintu air.
Apabila dibiarkan tanpa melakukan penanganan lebih lanjut, akan semakin banyak yang menumpuk dan menimbulkan pemandangan tak sedap bagi warga sekitar Jakarta. Maka dari itu, petugas pintu air Manggarai selalu mengerahkan kendaraan alat besar untuk mengangkut dan menyingkirkan sampah yang berserakan tersebut.
Tapi tahukan Anda kalau ternyata tidak semua kendaraan alat besar bisa menyingkirkan sampah yang tersangkut di pintu air. Contohnya seperti sampah-sampah kecil yang harus disingkirkan secara manual. Manual maksudnya adalah harus ada jiwa kemanusiaan seseorang yang turun ke sungai untuk mengambil sampah kecil yang menumpuk tepat di pintu air tersebut.
Sampah yang dibiarkan tersangkut akan menumpuk di pintu air. Tumpukan tersebut menciptakan sebuah kondisi unik dimana sampah-sampah itu dapat digunakan sebagai tempat berpijak seseorang di atas air. Tetapi ini adalah hal yang berbahaya, sebab di bawah tumpukan sampah tersebut masih merupakan sebuah aliran arus sungai yang cukup deras yang bisa saja membahayakan nyawanya.
Tidak ada alat pengaman profesional, hanya konsentrasi saja yang bisa membuat dirinya aman. Tujuan orang tersebut berpijak di atas tumpukan sampah adalah menyingkirkan sampah yang membuat aliran arus air sungai tersendat. Setelah dirasa aliran arus air sungai tidak tersendat lagi, ia pun akan langsung beranjak dari tumpukan sampah tersebut. (Tulisan ini dikirim oleh Rai Pribadi & Candra Aji Risyanto, mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta)