Kisah Hidup Nenek Julaiha yang Baik
VIVA.co.id – Wanita berambut putih dan berbadan bongkok itu bernama Hj. Julaiha. Ia adalah seorang nenek tua yang selalu pergi ke pasar di salah satu daerah Jakarta, tepatnya di Salemba Tengah. Setiap hari sebelum matahari terbit dengan sempurna dan setelah menunaikan salat subuh, Julaiha sudah bergegas untuk pergi ke pasar dengan berjalan kaki.
Sosok nenek tangguh itu diketahui bertempat tinggal di sebuah rumah sederhana. Tepatnya berada di Jalan Salemba Dalam, Jakarta Pusat. Wanita yang sudah terlihat lesu ini memiliki 9 orang anak. 7 perempuan dan 2 laki-laki hasil pernikahannya dengan pria Betawi asli yang bernama Alm. H. Nurlan.
Julaiha merupakan keturunan asli Belanda. Orangtua kandungnya yang merupakan warga negara asli negeri kincir angin itu datang ke Indonesia pada zaman penjajahan dulu. Pada saat itu, Julaiha masih berumur 3 bulan. Julaiha dititipkan oleh orangtuanya kepada seorang perempuan keturunan Betawi asli yang bernama Nyai. Orangtuanya takut Julaiha terluka, karena pada saat itu perang sedang terjadi di mana-mana. Ironisnya setelah beberapa tahun hilang, diketahui bahwa orangtua Julaiha meninggal akibat perang pada zaman penjajahan itu.
Dirawat oleh seorang Nyai, Julaiha tumbuh menjadi perempuan cantik dan mandiri. Ia menjadi seorang perempuan yang tidak pernah mengeluh menghadapi kerasnya hidup di Jakarta. Ia juga adalah seorang perempuan yang rajin dan gemar membantu orang lain, terutama orang yang membutuhkan. Ia tumbuh menjadi wanita yang tidak pernah mau memiliki dendam kepada orang lain. Dan selalu bersyukur atas apa yang ia miliki dan dapatkan.
Ia tidak pernah memilih dalam menolong orang. Karena menurutnya menolong orang adalah salah satu kewajiban sesama umat beragama. Julaiha pernah menolong seorang wanita di pinggir jalan yang memiliki keterbelakangan mental. Ia tidak tega melihatnya, lalu ia membawanya pulang untuk memandikannya dan memberinya makan. Bukan hanya dengan manusia, kepada binatang yang kesusahan pun Julaiha tidak pernah tega membiarkannya.
Itulah sosok Julaiha yang membuat seorang pria keturunan Betawi asli bernama H. Nurlan jatuh cinta kepadanya. Menikah dengan H. Nurlan beberapa puluh tahun silam dan hidup sederhana, Julaiha menjadi seorang ibu yang mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang dan tidak pilih kasih.
Menikah dengan H. Nurlan merupakan salah satu hal yang paling beliau syukuri selama hidupnya. Menjadi istri yang baik dan berbakti adalah hal yang selalu diutamakannya. Julaiha menghormati H. Nurlan dengan sepenuh hatinya. Hingga akhirnya H. Nurlan meninggal dunia 10 tahun silam. Julaiha sama sekali tidak terpikir untuk menikah lagi dengan lelaki lain. Karena baginya, H. Nurlan adalah cinta pertama dan terakhirnya.
Sepeninggal suaminya, Julaiha berusaha menikmati kesendiriannya. Ia tidak terus ingin berlarut dalam kesepian. Beliau pun menjalani sisa hidupnya bersama anak dan cucunya. Dari sembilan anaknya hanya 3 yang tinggal dekat dengannya dan semua telah berkeluarga. Keenam anaknya yang lain tinggal dan memiliki rumah agak jauh dari rumahnya.
Julaiha tidak pernah meninggalkan ibadah salatnya, baik yang wajib maupun yang sunnah. Julaiha menghabiskan sisa hidupnya dengan selalu berdoa untuk almarhum suami tercintanya dan untuk keselamatan anak cucunya. Salah satu keinginannya yang akhirnya terwujud adalah melakukan ibadah haji. Nenek Julaiha telah menunaikan ibadah haji tersebut beberapa tahun silam.
Ia pernah memiliki penyakit tumor di bagian hidungnya beberapa tahun silam. Julaiha tidak pernah mengeluh dan selalu berusaha kuat melawan penyakitnya itu. Menurutnya, umur, jodoh, dan rezeki sudah ditentukan oleh Allah SWT. Penyakit dan cobaan adalah salah satu hal yang menurutnya harus disyukuri. Karena itu merupakan tanda Allah masih sayang kepadanya.
Mungkin ini balasan atas kesabaran dan juga jawaban atas doa-doanya. Julaiha akhirnya berhasil sembuh dari penyakit tumornya setelah menjalani operasi pengangkatan tumor di Rumah Sakit Carolus, Jakarta Pusat. Sungguh baik hati Nenek Julaiha. (Tulisan ini dikirim oleh Analuna Amanda dan Wulan Kurnia, mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta)
Â