Senyum Mama Segalanya Bagiku

Ibu dan anak.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Lantunan suara azan subuh menggema ke seluruh penjuru kompleks rumahku. Seperti biasa, mama sudah terbangun lebih dulu untuk menyiapkan sarapan untukku sekeluarga. Dan setelahnya, ia mengambil air wudu dan mengenakan mukenanya untuk beribadah kepada Sang Pencipta.

"Bangun De, hari ini kuliah pagi kan?" kata mama sambil menggoyangkan lenganku, membangunkanku agar segera mandi pagi. Mama memang hafal betul jadwal kuliahku. Dia yang selalu menyapaku pertama kali lewat sentuhan lembutnya, saat membangunkanku dari lelapku.

Mama adalah wanita yang paling aku kagumi. Setiap hari mama mengurus keluarga dan melakukan segala pekerjaan rumah sendiri. Terkadang guratan wajahnya saat malam hari mengisyaratkan lelahnya mengurusku, kedua kakakku, dan papaku. Namun, mama selalu tersenyum ceria saat menyambutku sepulang kuliah.

Di usianya yang sudah menginjak 53 tahun, Sitna Salbiah, mamaku tidak pernah berhenti membuatku kagum kepadanya. Setiap mendengar cerita mama tentang masa kecilnya, hatiku terenyuh. Nasib baik memang tak memihak pada mamaku. Dilahirkan dari keluarga miskin yang tinggal di pinggiran Jatinegara dan mempunyai 11 orang saudara kandung membuat mama harus meninggalkan impiannya mengenyam bangku sekolah.

Saat masih kecil, mama merengek pada kakekku karena minta disekolahkan. Ia ingin sekali merasakan punya teman baru dan belajar dengan nyaman di sekolah. Menurut cerita mama, dulu kakekku selalu berkata, "Sekolahnya nanti ya, kalau sudah cukup umur, kalau tangan kananmu sudah bisa menyentuh telinga kirimu," begitu caranya menjanjikan mama yang tak henti berharap bisa disekolahkan di tingkat SD.

Usia mama sudah menginjak 7 tahun. Mama datang dan merengek lagi di depan ayahnya. Berkata bahwa tangan kanannya sudah bisa meraih telinga kirinya sambil mempraktikannya di depan kakek. Ternyata mama dibohongi. Itu hanya cara kakek supaya menunda memberitahukan kenyataan pahit bahwa kakek tidak punya uang untuk menitipkan anak-anaknya ke bangku sekolah.

Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja kakek yang cuma seorang asisten koki tidak mempunyai cukup uang untuk membelikan anak-anaknya makanan yang mencukupi. Mama yang saat itu masih sangat belia merasakan kesedihan yang dalam untuk pertama kalinya.

Beberapa hari mama menangis meratapi nasibnya yang kurang beruntung. Namun, seperti yang sudah kubilang, mamaku adalah sosok yang istimewa. Ia tidak menyerah begitu saja dengan kerasnya kehidupan yang seolah tidak bersahabat dengannya. Setiap hari setelah selesai membantu ibunya mengurus adik-adik dan membantu pekerjaan rumah, mama diam-diam pergi ke majelis taklim. Di sana ia belajar Alquran serta membaca dan menulis. Tempat ini seakan mengobati kesedihan mama, yang bahkan tidak bisa masuk SD karena tidak adanya biaya.

Bantuan untuk Pesantren Mirrozatul Lombok Barat

Mama terus belajar dan belajar tanpa putus asa. Ia selalu minta diajarkan menulis, membaca, dan berhitung oleh teman-temannya yang lebih beruntung bisa bersekolah. Sejak usia remaja, mama sudah membanting tulang bekerja sebagai pelayan di toko sepatu di Jatinegara. Upah yang didapatkan ia berikan kepada nenekku, untuk membantu membiayai adik-adiknya yang masih kecil.

Di usia 20 tahun, mama bertemu dengan lelaki yang sangat tertarik kepadanya. Mamaku memang sangat cantik saat masih muda, tak heran banyak lelaki yang tertarik kepadanya. Lelaki yang satu ini berbeda, ia tak bosan mengunjungi mama di toko tempatnya bekerja. Walaupun awalnya tidak memiliki perasaan kepada lelaki ini, namun pada akhirnya mama luluh juga oleh kegigihannya. Ya, lelaki yang kumaksud adalah papaku. Seorang lelaki yang usianya 7 tahun lebih tua dari mama. Saat itu papa hanya berstatus buruh pabrik dengan gaji yang kecil.

Intip Cara Mengelola Media Sosial secara Maksimal

Beberapa bulan mengenal satu sama lain, mama memutuskan untuk melangkah ke jenjang pernikahan bersama papaku. Awal pernikahan, kehidupan mama dihadapkan dengan kesulitan ekonomi. Dengan gaji papa yang hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari, terpaksa mama dan papa menyewa sebuah rumah kontrakan yang murah di pinggir kebun yang sangat gelap.

Mama menguatkan diri untuk bertahan walaupun rasa takut menghinggapinya. Namun, ia tak pernah mengeluh kepada papa. Ia takut membuat papaku bersedih. Butuh waktu lama sampai akhirnya perekonomian keluargaku membaik, dan papa diangkat sebagai karyawan tetap di pabrik tempatnya bekerja. Sedikit demi sedikit gaji papa ditabung untuk mencicil rumah sederhana di daerah Cimanggis, Depok.

Kolaborasi Cantik Human Resources dan Teknologi

Masih teringat masa kecilku, saat mama berjualan cabai di tempatku bersekolah. Aku yang saat itu masih berada di bangku Taman Kanak-kanak seringkali ditinggal oleh mama yang bergegas pulang ke rumah karena stok cabai habis, namun masih ada ibu-ibu dari teman sekolahku yang ingin membeli cabainya. Dengan napas terengah-engah, mama berlari ke rumah dan segera kembali lagi ke sekolahku. Ia terburu-buru karena khawatir aku menangis saat menyadari ia tidak menunggu di depan kelas seperti biasa.

Mama selalu mengutamakan pendidikan anak-anaknya. Ia ingin aku dan kedua kakakku mendapat pendidikan yang lebih baik untuk bekal kehidupan kami kelak. Dengan jerih payahnya, dan juga papa yang mengumpulkan uang dari gaji seorang buruh yang tak seberapa, aku dan kakakku bisa mengenyam pendidikan sampai ke bangku perguruan tinggi.

Masih terukir jelas di benakku saat dulu mama mengantar kakakku saat wisuda. Butiran air mata menetes saat nama kakakku dipanggil untuk disahkan sebagai wisudawan. Kakakku termasuk pintar di bidang akademik, nilainya tidak pernah mengecewakan. Dan sejak di bangku kuliah, ia sudah membantu perekonomian keluarga dengan menjadi asisten laboratorium.

Setelah lulus, kedua kakakku langsung mendapat pekerjaan. Terlihat senyum bangga dari bibir seorang mama. Mama tidak pernah minta dibelikan sesuatu oleh kakakku. Kasih sayangnya terlalu tulus dan selalu terpancar di wajahnya yang bersahaja. Tak lama setelah kakakku yang nomor dua lulus kuliah, papa memutuskan pensiun dini dari pabrik tempatnya bekerja. Uang pesangon yang didapat papa dipergunakan untuk biaya sekolahku dan membetulkan rumah kami yang sudah agak rusak.

Baru sebentar merasakan kebahagiaan, keluarga kami kembali diberi cobaan oleh Allah. Papa ditipu ratusan juta rupiah oleh temannya sendiri. Niat untuk menambah uang dengan berinvestasi bersama temannya ini, ternyata papa malah ditipu. Sampai saat ini temannya tidak mengembalikan uang papa. Mamaku adalah orang pertama yang merasakan kesedihan yang mendalam. Ia sempat menyalahkan papaku karena terlalu mempercayai orang lain. Hal ini membuat hubungan papa dan mama menjadi tidak baik. Sering kudengar mama dan papa bertengkar tentang masalah ini.

Namun, lambat laun mama berhenti menyalahkan papa atas keadaan ini. Mama selalu mendukung papa dan menyerahkan segalanya kepada Allah. Mama berusaha mengikhlaskan apa yang telah terjadi, dan bersyukur dengan yang kami miliki sekarang. Bersyukur karena kedua kakakku bisa membantu membiayai kuliahku dan kehidupan keluarga kami.

Kemalangan kembali mendatangi mama. Pada awal tahun 2015, mama kehilangan sosok terdekatnya yaitu kakak perempuannya yang bernama Siti Aisyah. Tanteku ini meninggal karena mengidap penyakit kanker payudara. Sering ia menunggui tanteku di rumah sakit seusai kemoterapi. Namun takdir berkata lain, mama kembali bersedih ditinggal saudara terdekatnya. Kudengar tangis yang terisak-isak saat mama mendapat kabar melalui telepon tentang kematian tanteku.

Mama adalah perempuan tangguh yang selalu menjadi panutanku. Ia yang selalu menjaga dan merawatku sedari kecil. Ia juga sosok yang cerdas dan pantang menyerah dengan keadaan. Meski tidak sekolah, ia selalu membaca buku dan belajar secara otodidak hingga saat ini.

Ia adalah sosok yang sangat ingin aku bahagiakan. Aku ingin melihatnya tersenyum bangga saat hari kelulusanku nanti. Aku ingin belajar giat demi membahagiakannya. Doaku hanya satu, supaya mama selalu bahagia. Aku ingin senyum indahnya selalu terbingkai di wajahnya. “Terima kasih atas segala yang kau perjuangkan untukku, Ma.” (Tulisan ini dikirim oleh Astri Septiani, mahasiswa Universitas Nasional, Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya