Ibu Sembuh dan Tersenyum Kembali
- U-Report
VIVA.co.id – Suara lantang yang khas tidak bisa dipisahkan dari diri seorang ibu pensiunan Angkatan Darat ini. Ketegasan dalam keluarga selalu terlihat dalam kesehariannya. Ia adalah Ibu Evi yang merupakan sosok ibu yang disayangi anak-anaknya dan disegani masyarakat di sekitarnya.
Beliau adalah wanita kelahiran Sumatera Barat dari daerah Pariaman. Lahir dari keluarga berkecukupan tak membuat ia besar kepala dan berdiam diri. Jenjang pendidikan yang tinggi merupakan impian beliau. Kerja keras yang beliau tekuni membuahkan hasil yang cukup dibanggakan dengan mendapatkan beasiswa di perguruan terkenal di Sumatera Barat.
Sekitar empat tahun ia menjalani perkuliahan, gelar sarjana dengan nilai yang memuaskan berhasil beliau raih. Seakan panggilan hati dengan dunia militer, beliau bertekad melanjutkan terjun di Angkatan Darat yang bisa dibilang asing di telinga wanita seusianya.
Setelah hampir 6 tahun menjalani sebagai angkatan, ia dipertemukan dengan seorang polisi muda yang jauh di bawah usianya. Tepatnya, pada saat melaporkan sebuah kasus kecelakaan dan ditangani oleh Pak Dimyati. Setelah hampir satu tahun menjalani kebersamaan, akhirnya pasangan itu memutuskan untuk menikah pada tahun 1993.
Tepat pada tanggal 27 Agustus 1994 lahir seorang putra dari hasil buah cinta pasangan Ibu Evi dan Pak Dimyati. Andri Bagus Syaeful nama yang mereka berikan untuk anaknya, yang mempunyai makna tersendiri. Sampai ketika penyakit komplikasi diderita beliau pada waktu itu.
Pangkat Letnan yang disematkan di pundaknya mungkin cukup untuk dirinya mengabdi pada negara. Di usia 40 tahun itu, ia memutuskan untuk pensiun muda sebagai langkah untuk fokus penyembuhan terhadap penyakitnya. Berbagai pengobatan telah ia lakukan sebagai langkah untuk penyembuhan penyakitnya. Tapi hasil baik belum juga ia dengar di telinganya.
Dorongan dan motivasi dari keluarga besar pun tidak pernah putus kepada beliau. Sebuah pesan yang beliau ucap kepada saya adalah, “Mamah ingin sehat sampai nanti lihat kamu sukses, jadi sarjana, dan mama menggendong anak kamu,” sontak perkataannya membuat saya terdiam hening di ruang kosong waktu itu.
Hampir 15 tahun menjalani terapi pengobatan, kesehatan ibu perlahan, tapi mengalami peningkatan yang cukup baik. Senyuman riangnya selalu tersaji ketika pagi datang dan melepas keberangkatan saya untuk kuliah dan bapak untuk bekerja. Ketika pulang pun selalu disambut beliau, yang selalu duduk tak beranjak di atas bangku menanti kami datang.
Masakan rumahan pun tersaji di atas meja makan, seakan menyambut kami. Kreasi demi kreasi masakan yang ia ciptakan seakan begitu melekat di lidah saya dan bapak. Mungkin ini suatu pesan yang ingin disampaikan kepada kami bahwa sejauh apapun kami melangkah, ingat masakan ibu selalu menunggu di rumah.
Penyakit komplikasi mungkin telah berhasil ibu lalui, walaupun butuh waktu dan biaya yang terbilang cukup mencengangkan. Tapi itu semua terbayar lunas dengan kondisi saat bisa melihat beliau tersenyum. Itu sudah cukup bagi kami. (Tulisan ini dikirim oleh Andri Bagus Syaeful, mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Nasional, Jakarta)