Harus Berjalan 10 Kilometer Hanya untuk Makan

Mbah Marmo
Sumber :

VIVA.co.id – Namanya Sumarmo, orang memanggilnya Mbah Marmo. Dipanggil 'mbah', karena usianya kelewat tua, yaitu 81 tahun. Dia hidup sebatang kara karena anak istrinya telah mendahului tiada. Satu-satunya saudara yang tertinggal adalah Sumijah, 65 tahun, adik ipar perempuannya.

Tanggal 29 Mei Memperingati Hari Lanjut Usia Nasional, Ini Sejarahnya!

Lelaki yang kulitnya telah keriput semua ini merupakan warga Desa Baritocabak, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Dia tinggal sendirian di rumahnya yang sederhana dan nyaris tanpa perabot apapun.

Ketika usianya masih 50 tahun, Mbah Marmo masih bekerja sebagai buruh tani. Upahnya sekadar untuk mencukupi makan saja. Seiring usianya kian uzur, dia tak mampu bekerja lagi. “Angkat pacul saja sudah tak kuat, bagaimana bisa kerja?” tuturnya.

Gak Inget Umur, Seorang Nenek 79 Tahun Keliling Dunia dan Kunjungi 193 Negara

Pernah suatu waktu Mbah Marmo memaksakan diri bekerja, karena tak ingin kelaparan dan malu disebut pemalas oleh orang lain. Akibatnya fatal, tubuhnya menggigil panas dingin dan demam. Sepekan baru sembuh, dan selama itu ditolong oleh warga sekitarnya.

Sejak itu dia putuskan tak bekerja lagi daripada jatuh sakit, membuat repot orang sekampung. Lalu, bagaimana Mbah Marmo bertahan hidup agar sehari-hari tak kelaparan? “Saya minta makan Mijah (Sumijah),” ucapnya singkat.

Viral Kisah Mengharukan Mak Iyah, Lansia 70 Tahun yang Sukarela Bersih-bersih Masjid Tanpa Dibayar

Perempuan yang disebut Mijah, adalah adik almarhumah istri Mbah Marmo. Sebelum menutup mata, istrinya itu terbata-bata titip pada Mijah adiknya. Sepeninggalnya agar sudi mengurusi Mbah Marmo, suaminya.

Mbah Marmo punya satu anak lelaki, tapi meninggal saat umurnya 52 tahun. Menantunya, yaitu istri anak lelaki Mbah Marmo, karena tak punya keturunan, dia lalu pulang ke keluarganya. Tak lama, istri Mbah Marmo juga tiada. Konon karena sedih, anak satu-satunya mendahuluinya.

Ditinggal selamanya oleh anak-istri, Mbah Marmo amat sedih. Pernah berkali-kali minta pada Tuhan agar hidupnya cepat diakhiri dan bisa berkumpul dengan anak-istri di alam barzah. Entah mengapa permintaan itu tak dikabulkan. Mbah Marmo masih terus hidup sampai kini.

Mbah Marmo berpasrah pada kehendak Yang di Atas, jika memang harus berlama-lama di dunia sebatang kara. Demikian juga dengan hidupnya. Lebih dari 30 tahun terakhir terpaksa bergantung pada belas kasih Mijah, adik iparnya.

Setiap pagi pukul 08.00, Mbah Marmo dari desa tempat tinggalnya Baritocabak, berjalan kaki tanpa alas menuju rumah Mijah di Desa Sanitamansari. Jaraknya sejauh kurang lebih 10 km. Perjalanan itu ditempuhnya selama dua sampai tiga jam. Sampai di rumah Mijah, Mbah Marmo makan hingga kenyang. Jika masih merasa kuat, sorenya pukul 15.00 dia pulang. Bila masih letih, ia akan bermalam di rumah Mijah.

Esoknya, setelah makan pagi, Mbah Marmo pulang ke rumahnya. Esoknya lagi, berjalan ke rumah Mijah untuk dapat makan. Begitu hidup Mbah Marmo hampir 30 tahun. Hanya untuk makan, harus jalan kaki ke rumah Mijah sejauh itu. Mengapa tak tinggal di rumah Mijah saja? Kata Mbah Marmo, dia enggan merepotkan Mijah bersama anak-cucunya. Lagi pula, rumahnya sendiri menjadi tak terurus.

Beberapa pemotor saat bertemu Mbah Marmo sering menawari tumpangan. Tapi acap ditolak, dengan alasan ia sudah biasa jalan kaki. Saat ditanya, mengapa tak naik angkutan umum saja? Sambil tertawa Mbah Marmo ganti bertanya, “Dari mana saya dapat duit?”

Sampai kapan Mbah Marmo mengakhiri lawalatanya? Tiap hari berjalan menempuh jarak sejauh itu hanya untuk mengganjal perut. Jangankan orang lain, sedang Mbah Marmo sendiri tak bisa menjawabnya. Itu misteri Tuhan dalam menentukan jalan hidup seorang manusia. (Tulisan ini dikirim oleh Heru Christiyono Amari, Pati, Jawa Tengah)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya