Semua karena Ayah
VIVA.co.id – Lahir dari keluarga yang sederhana, di sebuah desa bernama Desa Gondomanyu, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, membuat Muchtarom (ayahku) tetap hidup sederhana hingga saat ini. Kehidupannya yang dulu bisa dikatakan susah, tidak membuat ayahku membalas dendam atas kekurangannya di saat sudah hidup berkecukupan.
Ia putra ke-8 dari 9 bersaudara pasangan Iswandi (kakekku) dan Jumatun (nenekku) yang memiliki banyak pengalaman hidup, baik susah maupun senang. Semasa mudanya dulu, ayahku selalu diajarkan untuk berbagi terhadap sesama, termasuk saudaranya. Karena banyaknya saudara yang ia miliki, membuat ia harus rela berbagi dalam hal apapun termasuk makanan.
Kehidupannya dulu bisa dikatakan masih jauh dari cukup. Tetapi ayah tidak pernah mengeluh. Pria kelahiran 9 Januari 1966 ini bersyukur bisa menempuh pendidikan hingga tingkat SMA, meskipun tidak seberuntung adiknya yang berhasil mendapat gelar sarjana. Ayahku akhirnya merantau ke Jakarta dan mendapatkan pekerjaan sebagai tukang jahit di PT. Wieda Sejahtera pada tahun 1990.
Setelah 5 tahun bekerja, ayahku kembali ke kampung halaman untuk bertemu dengan sang pujaan hati yang saat ini menjadi istrinya, yaitu Haniatun. Mereka menikah pada 20 Agustus 1995 dan dikaruniai satu orang putri cantik pada 14 Juni 1996, yaitu aku, Nova Ayuna Defi.
Singkat cerita, pada tahun 1997 ayahku mengajak istri dan anaknya untuk tinggal di Jakarta. Ayahku menyewa sebuah kontrakan kecil di daerah Pasar Minggu. Sebagai tempat kami beristirahat dan berlindung dari panas dan hujan. Hingga pada tahun 1998, di mana sedang terjadi krisis ekonomi dan PHK besar-besaran, ayahku begitu takut. Ayahku takut kehilangan pekerjaannya, karena ia memiliki tanggung jawab untuk menafkahi keluarga kecilnya.
Suatu hari, ayahku memiliki pemikiran untuk kembali ke kampung halaman. Namun, Allah SWT masih memberikan kesempatan untuk ayah tinggal lebih lama di Jakarta. Karena ayahku masih tetap bertahan di tempat ia bekerja. Ayah dan ibuku sangat bersyukur sekali. Dengan gaji yang tidak terlalu banyak, ayah harus bisa mencukupi kehidupan anak dan istrinya. Ayah terus berusaha untuk bekerja lebih keras lagi supaya kehidupan keluarganya tidak susah kehidupannya dulu.
Pada tahun 1999, kami pindah ke daerah Kelapa Dua yang menjadi tempat tinggal kami hingga saat ini. Meskipun di awal kami tiba, ayah hanya menyewa kontrakan untuk tempat tinggal kami. Ayahku adalah seorang yang sangat penyayang.
Pada tahun 2000, saat aku baru berusia 4 tahun, aku selalu senang saat diajak ayahku untuk keliling menggunakan sepeda motornya yang dibawa dari kampung, sebelum ia berangkat kerja. Ayahku selalu berusaha untuk membuat anaknya senang sebelum ditinggal bekerja olehnya. Itu bermaksud supaya aku tidak rewel selama di rumah dan ayah bisa tenang saat bekerja.
Di saat ayahku pulang, aku langsung menghampirinya dan meminta untuk digendong. Aku belum paham apa yang ayah rasakan ketika itu, saat ia pulang kerja. Mungkin saja ayah begitu lelah saat itu, namun aku tetap saja ingin digendong saat ia pulang dan ia tetap menggendongku dengan penuh rasa sayang.
Pada tahun 2003, keluarga kami kedatangan anggota baru yaitu adikku, M. Gilang Andika Putra. Betapa senangnya ayah dan ibuku memiliki anak laki-laki setelah anak pertamanya adalah perempuan. Ayahku semakin bersemangat untuk terus bekerja supaya keluarganya bisa merasakan hidup berkecukupan.
Pria yang sekarang sudah berusia setengah abad ini memang memiliki sifat kerja keras. Memang rezeki tidak akan kemana. Setelah anak keduanya lahir, di perusahaan tempatnya bekerja, ayah mendapat kepercayaan untuk dinaikkan jabatannya. Dengan rezeki yang sudah ditabung sedikit demi sedikit, akhirnya ayah membeli tanah untuk dibangun rumah di dekat kontrakan tempat kami tinggal.
Saat itu ayah memang belum memiliki uang, jadi hanya tanah saja yang baru dibeli. Di keluarga kami memang hanya ayahku saja yang bekerja, jadi semua uang yang didapat adalah hasil kerja keras ayahku yang dibantu doa oleh ibuku. Ayahku melarang ibu untuk bekerja. Ia berkata, bahwa anak-anak membutuhkan kasih sayang seorang ibu supaya tumbuh menjadi anak-anak yang baik, dari keluarga yang baik pula.
Sekitar awal tahun 2005, dengan bekal uang yang dirasa cukup, ayahku dibantu oleh ibu merencanakan untuk membangun rumah dan menyicil material untuk membeli keperluan membangun rumah. Selama satu tahun lamanya, akhirnya istana kecil keluarga kami pun sudah berdiri dengan sempurna. Ayah dan ibuku tak henti-hentinya bersyukur atas karunia dan rezeki yang telah diberikan Allah SWT.
Selama 26 tahun lamanya, ayahku sudah bekerja untuk menghidupi keluarga kecilnya. Selama itu pula ayahku berjuang keras di dalam pekerjaannya. Ayahku sudah mendapatkan jabatan yang lebih baik dan tinggi di perusahaan tempat ia bekerja. Dengan pekerjaannya itu, ayah bisa memberikan pendidikan yang baik untuk anak-anaknya.
Aku bisa melanjutkan kuliah dan adikku masih bersekolah di sekolah menengah pertama sekarang ini. Semua berkat biaya dan doa dari ayah serta ibu. Aku dan adikku bersyukur bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Jika itu positif ayah pasti akan menuruti kemauan anak-anaknya.
Ayahku termasuk orang yang pendiam namun tegas. Tetapi ayahku jarang sekali memarahi anak-anaknya. Hanya sekadar menegur saja jika aku dan adikku melakukan kesalahan. Ayahku juga memiliki beberapa keahlian. Bahkan, ayahku merupakan teknisi di rumah. Jika ada sesuatu yang rusak, maka ia akan dengan segera memperbaikinya.
Dengan penuh rasa syukur, kami bisa hidup berkecukupan hingga detik ini. Berbagai rintangan kehidupan yang menyulitkan pun sudah dilalui oleh ayah dan ibu sampai seperti sekarang ini. Ayahku sudah berjuang sangat keras demi membahagiakan keluarga kecilnya. Sampai sekarang pun ayah masih tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.
Aku tahu, bahwa perjuangan ayah begitu berat untuk mencapai hasil yang memuaskan. Aku harus bisa seperti ayah. Tidak mengenal lelah dan terus berjuang untuk menggapai apa yang telah menjadi targetnya.
Ayah, putri kecilmu ini akan berusaha membuatmu bangga dan merasakan bahwa kerja kerasmu tidak sia-sia. Semoga engkau selalu berada dalam lindungan Allah SWT, dan aku akan terus berdoa untuk keselamatan ayah dan ibu. Terima kasih atas pengalaman berhargamu, pahlawanku! (Tulisan ini dikirim oleh Nova Ayuna Defi, mahasiswa Fikom, Universitas Pancasila, Jakarta)