Tetap Semangat Meraih Sukses Demi Papa dan Mama
- U-Report
VIVA.co.id – Sebagai pedagang yang tidak memiliki penghasilan tetap adalah pekerjaan utama Papaku. Beliau adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Beliau tidak terlahir dari keluarga berkecukupan, akan tetapi semangat juang beliaulah yang membuat kami bangga sebagai anak-anaknya.
Kelima saudara Papa semuanya sarjana, hanya Papa yang tidak. Ketika ditanya, “Kenapa Papa waktu itu tidak kuliah?”. Jawabannya, “Waktu itu kakak Papa yang kedua dan adik Papa mau wisuda dan akan masuk sekolah, makanya Papa tidak melanjutkan pendidikan karena kasihan melihat nenek dan kakek kamu mencari uang susah payah. Makanya kamu sekarang harus kuliah yang benar. Buat Papa bangga, biar tidak diremehkan orang lain terus. Papa akan melakukan apapun biar kamu bisa jadi sarjana.” Selalu itu yang dikatakannya.
Memang, keluarga kami tidak terlahir sebagai keluarga yang berpendidikan tinggi dan berkecukupan. Untuk itu, Papa selalu berusaha bagaimanapun caranya agar anak-anaknya dapat mengemban ilmu setinggi mungkin. Dulu sewaktu aku masih kecil, Papa memiliki usaha yang cukup berkembang pesat sehingga keluarga kami memiliki rumah yang layak huni atas nama sendiri, dan juga beberapa toko.
Akan tetapi semua itu tidak berjalan mulus. Setiap orang yang berusaha, pasti ada pasang surutnya. Dan seperti terkena halilintar, dalam sekejap saja usaha papa bangkrut dan rumah yang baru saja dibangunnya harus dijual untuk menutupi hutang-hutangnya. Semuanya hilang. Keluarga kami tak punya apapun lagi. Untuk itu, Papa memutuskan bahwa sebaiknya kami sekeluarga untuk pindah ke Pekanbaru, Riau.
Saat itu aku baru saja lulus SMP, dan akan melanjutkan sekolah ke tingkat SMA. Aku sedih,aku ingin marah tapi tidak tahu pada siapa. Saat itu aku tidak ingin melanjutkan sekolahku rasanya. Tapi pagi itu, sebelum matahari terbit papa sudah bangun dan rapi, tidak seperti biasanya. Aku kira ia hendak kemana, tidak tahunya ia ingin menaruh formulir pendaftaran ke sekolahku yang baru. Saat itu aku masih cuek, aku masih marah.
Rasanya semua impian yang telah aku rancang hanyut begitu saja. SMA favoritku yang telah aku cari tahu sebelumnya di Jakarta sudah enyah dan tak dapat kuraih lagi. Aku marah, tapi tidak tahu pada siapa. Lalu papa pulang ke rumah dan menyuruhku bergegas mandi dan bersiap-siap untuk ke sekolah yang akan aku tempati kelak.
Aku disuruh menjalani beragam tes dan lainnya. Karena menurut sekolah, aku berasal dari luar daerah makanya harus mengikuti beragam tes. Dan pada akhirnya pun, aku tidak diterima di sekolah tersebut, karena kuota sudah penuh katanya. Lalu Papa tetap tersenyum ketika melihat namaku tidak muncul di papan pengumuman. Dan ia tetap semangat mencarikanku sekolah swasta yang lumayan berbobot.
Masih sama seperti sebelumnya, Papa masih sibuk mengurus keperluan ini-itu untuk sekolahku. Mulai berkas-berkas yang diperlukan, sampai dengan pembiayaan. Jika aku ingat masa-masa itu lagi, rasanya aku seperti anak durhaka. Jika ingat masa-masa itu lagi, rasanya aku malu pada diri sendiri. Anak macam apa aku ini? Yang tidak bersyukur pada takdir. Padahal anak-anak yang berkecukupan lainnya belum tentu dapat diperlakukan seperti itu oleh Papanya.
Waktu berlalu, yaitu ketika aku ingin melanjutkan pendidikan strata 1 ku. Ketika itu aku diterima sebagai mahasiswa undangan di sebuah universitas di Pekanbaru, Riau. Akan tetapi niat pertamaku adalah ingin melanjutkan pendidikan di tanah kelahiranku, yaitu Jakarta. Aku tidak mengambil kesempatan sebagai mahasiswa undangan itu. Ketika itu aku mencoba untuk mendaftar di salah satu universitas negeri di Bandung. Dan Papa mengantarku ke tempat tujuan.
Tidak lama di Bandung, aku menyuruhnya pulang kembali ke Pekanbaru karena menurutku kasihan mama dan kedua adikku jika ditinggal terlalu lama. Kali ini aku tidak membiarkan Papa untuk mengurus keperluan kuliahku lagi. Kali ini aku yang mengurusnya sendiri. Mulai dari berkas pendaftaran sampai dengan tes masuk.
Ketika pengumuman keluar, namaku lagi-lagi tidak ada di deretan mahasiswa yang lolos ujian tes masuk. Aku sedih, lalu aku segera mengabarkan kedua orangtuaku sambil menangis. Lalu dengan lembutnya Papa berkata, “Ya sudah tidak usah bersedih, mungkin bukan rezeki kamu untuk kuliah di sana.” Papa selalu seperti itu. Beliau memang jarang berbicara, tetapi beliau selalu memperhatikan anak-anaknya lebih dari yang aku tahu.
Sekarang aku sudah duduk di semester 5. Beliau masih sama, teramat sangat peduli dengan kondisi dan pendidikan anak-anaknya. Beliau tidak pernah melarang anak-anaknya melakukan kegiatan apapun di luar akademik. Selagi itu tidak mengganggu kegiatan belajar kami, beliau selalu mendukungnya.
Saat ini aku merasa, akulah anak satu-satunya yang beruntung memiliki orang tua seperti Papa dan mama yang selalu berusaha apapun demi memenuhi kebutuhan dan pendidikan anak-anaknya. Aku rasa aku lebih bahagia dan bangga dari pada anak-anak di luar sana yang memiliki limpahan kekayaan, akan tetapi tidak memiliki kasih sayang dari kedua orangtua. Terima kasih Papa dan mama untuk cinta dan kasih sayang kalian selama ini. (Tulisan ini dikirim oleh Sari Mona Pratama, Fikom, Universitas Pancasila, Jakarta)