Kenangan Bersama Mama di Kampung Halaman
- U-Report
VIVA.co.id – Hembusan angin sayup-sayup menerpa sekujur tubuh. Membuat seluruh tubuh saya bergetar dan ingin rasanya masuk kamar. Di kamar, saya termenung sejenak dan serasa segala tubuh, jiwa, dan raga berada di kampung tanah kelahiranku. Saya kembali mengingat masa lalu saat-saat bersama mama. Banyak kisah yang saya lalui saat bersama mama. Baik itu kisah sedih maupun kisah indah.
Kini saya telah berumur 21 tahun, dan baru menyadari secara nyata betapa pentingnya seorang mama di dalam hidup kita. Setelah saya merantau, pergi jauh dari mama, baru saya merasakan semuanya. Dulu, tahun demi tahun, bulan demi bulan, bahkan hari demi hari, menit demi menit pun saya lalui bersama mama. Banyak kisah-kisah indah yang saya rasakan bersama dengan mama. Ditambah lagi dengan kehadiran adik-adik saya yang lucu dan imut-imut.
Saya mempunyai 5 orang saudara. 3 saudara perempuan dan 2 saudara laki-laki. Saya merupakan anak pertama dari 6 bersaudara. Terkadang dalam sebuah keluarga terdapat percekcokan, baik antara anak dengan orang tua, maupun antara anak dengan anak. Namun kini, semua itu telah menjadi kenangan yang membuat saya tertawa dan ingin mengulanginya lagi.
Mama saya dikirim Tuhan yang Maha Esa untuk merawat dan mendidik kami. Mulai dari kami di kandungan, dilahirkan, hingga kami dewasa kini. Banyak hal yang diajarkan kepada kami dengan ekspresi wajah yang keras untuk menyampaikan pesannya. Maklum kami orang Batak, yang terkenal dengan suara yang kencang sehingga terdengar seperti orang marah. Tapi kami sebagai anak-anaknya memaklumi. Mungkin itu semua karena latar belakang orang tua mereka yang juga begitu.
Saya yakin jika orang mendengar nama mama saya pasti akan tertawa. Kenapa? Karena nama mama saya itu unik, yaitu Hormat Gurning. Awalnya, saya sebagai anaknya juga kaget dengan nama mama itu, namun lambat laun sudah merasa biasa saja. Profesinya sebagai petani tidak menghalangi keiniginannya untuk memotivasi anak-anaknya menjadi lebih baik dari orang tuanya.
Tiada henti dan tanpa kenal lelah ia mencari nafkah demi kami anak-anaknya sekolah dan untuk makan sehari-hari. Tubuhnya telah tahan banting akan terpaan angin dan kebal akan curahan hujan yang menembus hingga tulang-tulang tubuhnya. Panas terik pun tidak lagi dirasakan oleh kulitnya yang kering kerontang dan hitam pekat itu. Haus pun tidak lagi dihiraukan olehnya demi mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Terkadang lapar pun tak dihiraukan juga, sampai menyebabkan bibirnya pecah-pecah dan memerah.
Keringat yang mengucur dari sekujur tubuh menjadi saksi bisu pengorbanan seorang mama kepada anak-anaknya. Sifat mama yang pemarah ini yang memotivasi saya untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Selain pemarah, wajahnya yang kelihatan sangar ini membuat kami anak-anaknya selalu menuruti perkataannya. Apalagi pada saat ia marah, dengan mukanya yang merah bagai bara api yang menyala-nyala. Dan kini, semua itu hanya menjadi goresan kenangan dalam hati karena kami sudah tinggal di tempat yang berbeda.
Hanya satu keinginan saya, yaitu untuk bertemu dengan mereka yang jauh di seberang laut. Jadi, saya harus sukses dulu di Jakarta, dan pulang ke kampung kelahiran saya dengan menyeberangi laut yang luas. Supaya kami dapat mengulang kenangan indah dengan kehidupan yang lebih baik lagi. (Tulisan ini dikirim oleh santifs)