Sembahyang Rebutan di Kelenteng Welahan Jepara
- Heru Christiyono Amari
VIVA.co.id – Delapan tahun lalu, saya melihat ritual Sembahyang Rebutan juga disebut Sembahyang Setan, di kelenteng Hok Tek Bio (Selatan kelenteng Hian Thian Siang Tee), di Welahan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah; Dan kemarin 31 Agustus 2016, saya melihat prosesi itu lagi. Urut-urutan ritual tak beda antara yang dulu dengan kemarin. Sentral ritual di altar sesaji setinggi 1,5 meter (10x10 meter) di halaman kelenteng; Di atasnya terserak kue-kue lezat dan aneka benda berharga yang pada akhir ritual diperebutkan ribuan orang.    Â
Tapi ada catatan khusus ketika saya menyaksikan upacara Sembahyang Setan delapan tahun lalu dan yang kemarin, yang sama-sama dipimpin biokhong (juru kunci kelenteng) senior, Haryanto Sie Ping Djan yang juga digelari Tang-kie (orang yang dirasuki roh dewa).
Delapan tahun lalu, biokhong Sie Ping Djan beberapa kali harus menyulut dan mengangkat Hio-swa (dupa lidi), berdoa serius dengan dahi berkerut dan keringat bercucuran diserambi kelenteng. Saat itu, kendati Thian (Tuhan) lewat poa-pwee (dua keping belahan biji mangga bertuah) yang dilempar di depan Hiolo (tempat perabuan) telah mengizinkan prosesi dilaksanakan, namun roh ata arwah yang diundang belum ada atau banyak yang datang.
Waktu itu tak kurang lima kali Sie Ping Djan berbaju hitam-hitam naik-turun altar sesaji. Dia memperbesar asap dupa dan ditempatkannya disudut-sudut altar. Sesekali dia bersujud, mulut komat-kamit melantunkan doa permintaan, agar para arwah segera hadir dan berpesta menyantap sesaji yang disuguhkan di atas altar. Lewat tengah hari itu, mendadak angin bertiup kencang. Pepohonan sekitar kelenteng bergoyang, pertanda para arwah sudah berdatangan dan prosesi ritual pun bisa dilaksanakan.
Pada ritual Sembahyang Rebutan kemarin, hampir terjadi sesuatu yang fatal. Jika tak tertolong, prosesi bisa ditunda esok hari. Ketika itu biokhong Sie Ping Djan mengisyaratkan, rangkaian ritual segera usai. Para arwah telah datang dan menyantap seluruh sesajian. Tinggal menunggu acara terakhir, meminta para arwah balik ke alam barzah. Itu ditandai menyeruaknya ribuan orang atau penonton masuk kelenteng, menjarah tandas semua sesaji di atas altar.
Acara terakhir bisa dilaksanakan jika diizinkan Thian dengan cara melempar poa-pwee. Saat Sie Ping Djan melempar poa-pwee didepan hio-lo disaksikan Sugandhi, 75 tahun, Ketua Yayasan Kelenteng, tiba-tiba seorang biokhong lain cepat mengambilnya. Tindakan ceroboh itu membuat Sie Ping Djan dan Sugandhi marah. Sedangkan saya melihat, dua keping poa-pwee itu jatuh dalam posisi tengkurap. Artinya, Thian tak mengizinkan dan acara harus ditunda esok hari.
Guna memperbaiki kecerobohan itu, Sie Ping Djan disetujui Sugandhi, mohon ijin Thian mengulang melempar poa-pwee. Untung ijin yang diminta dikabulkan, ditandai jatuhnya dua keping poa-pwee di posisi satu buka satunya lagi tutup. Sesudah jeda setengah jam, dilakukan pelemparan ulang poa-pwe. Setelah diamati bersama, dua keping poa-pwee itu jatuh dalam keadaan satu buka dan satu lagi tutup. Artinya, acara terakhir diijinkan dilaksanakan.
Acara puncak, ditandai bunyi gembreng dipukul biokhong Hidayat. Gerbang kelenteng pun dibuka. Ribuan orang sejak pagi menanti di luar gerbang menyerbu, naik ke altar tempat berbagai sesajian disediakan. Saling berebut mendapatkan sebanyak mungkin sesajian. Benda-benda sesajian itu diantaranya berupa jaket, power bank Hp, kain batik, celana jean, ang-pao, baju, sarung, sepatu, selop, sandal, handuk, kopiah dan lain-lain termasuk sembako. Wakil Bupati Jepara, H Subroto yang ikut menyaksikan berkali-kali berkata, "Ini budaya yang unik."
Saya tak habis pikir, dua kali menyaksikan Sembahyang Rebutan yang ditujukan guna menjamu para arwah yang menderita di alam halus sana, selalu terjadi hal-hal mencemaskan. Kata Suwoto, 46 tahun, Sekretaris Yayasan Kelenteng Welahan, "Itu pertanda manusia mahluk tak sempurna. Selalu menemui kendala dalam hidupnya. Namun, atas seizin Thian, segala aral bisa diatasi." Tahun depan ritual ini akan diulang lagi. Semoga lebih meriah dari tahun ini yang agak sepi. (Tulisan ini dikirim oleh Heru Christiyono Amari, Pati, Jawa Tengah).