Tidak Perlu Meributkan Doa
- U-Report
VIVA.co.id – Doa yang dibacakan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) heboh dibicarakan. Kali ini pada pertengahan Agustus saat Sidang Paripurna MPR-DPR RI dalam membahas RAPBN 2017 bersama pemerintah yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Pembacaan doa yang disampaikan oleh Muhammad Syafi’i dari Partai Gerindra ini sontak menuai reaksi setelah untaian doa ia panjatkan, terutama di sosial media.
Ada yang memuji lantaran doa itu dianggap sesuai realitas yang ada, namun ada pula yang mencela karena dianggap terlalu tendensius menyinggung pemerintahan yang berkuasa. Tidak tanggung-tanggung juga, para petinggi negara ikut mengkritisi doa tersebut terutama mereka yang berada dalam lingkaran istana yang seharusnya dinilai tidak perlu menanggapi berlebihan kritikan di alam demokrasi seperti saat ini. Tidak menarik juga jika muncul anggapan ‘doa saja diributkan di republik ini, apalagi yang lain’.
Terlepas dari perdebatan tersebut, sejatinya doa adalah permintaan yang disampaikan pada yang Maha Kuasa atas keinginan yang diharapkan. Jika si pendoa merasakan realitas seperti apa yang disampaikan, harapannya Allah yang Maha Baik dapat mengubah keadaan menjadi lebih baik dengan kasih sayang yang Dia miliki.
Bahasa yang disampaikan oleh Muhammad Syafi’i dalam doa itu cukup saja dijadikan kritik membangun dalam rangka saling mengingatkan sebagai manusia yang memiliki kekurangan. Mengambil nilai positif dari doa tersebut jauh lebih baik, ketimbang menjadikan doa itu masuk dalam ruang perdebatan yang akhirnya saling mengumbar kebencian.
Jika ditanggapi secara berlebihan, justru dapat membuat wibawa pemerintahan yang berkuasa semakin tidak terhormat. Dan dapat pula merusak semangat slogan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dikenal dengan sebutan kerja, kerja, kerja. Jangan pula terkesan orang dekat Presiden terlalu berlebihan menanggapi kritikan atas penguasa.
Jika benar-benar ingin menjaga presiden, seharusnya orang dekat istana dapat memberikan masukan yang baik saat nama Arcandra Tahir disebut sebagai calon menteri yang ternyata memiliki paspor ganda. Ini jauh lebih membuat wibawa presiden terpuruk karena memberhentikan menteri yang baru saja ia lantik sendiri lantaran kurang teliti melihat identitas calon menteri, ketimbang meributkan doa.
Mungkin saja presiden saat mendengar pembacaan doa tersebut hati kecilnya tersenyum sambil mengambil poin-poin positif dari isi doa sebagai tantangan yang harus ia wujudkan. Pastinya agar tahun selanjutnya, pembacaan doa di tempat yang sama berbalik menjadi pujian atas keberhasilan pemerintah. Jika melihat pribadinya, sepertinya beliau bukanlah pribadi yang anti kritik. Justru sangat terlihat presiden adalah sosok yang rendah hati, bersahaja, dan banyak bekerja.
Sekarang doa telah dipanjatkan, kehidupan kita dalam bernegara akan terus berjalan seperti biasa. Mari jadikan spirit kemerdekaan sebagai pemacu untuk berbuat lebih dalam memajukan bangsa. Biarlah untaian bait doa yang telah disampaikan menjadi penyemangat untuk berbuat lebih baik dengan berharap rida-Nya. Jadi, kita tidak perlu lagi meributkan tentang doa. Biarlah doa tersebut tetap menjadi doa yang kita amini bersama. (Tulisan ini dikirim oleh Muhammad Dong, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Jakarta)