Balada Saat Cukur Rambut
- http://kesehatanmulho.blogspot.com
VIVA.co.id – Buat saya pribadi, cukur rambut sebenarnya adalah sebuah dilema buat hidup saya. Yup, dilema. Padahal buat sebagian orang, bisa dibilang cukur rambut itu menyenangkan banget. Karena dengan cukur rambut penampilan kita bisa semakin oke, semakin awesome, semakin kece, dan yang paling penting bisa semakin memikat lawan jenis.
Tapi di satu sisi lain, buat saya cukur rambut itu ibaratnya seperti perjudian. Ada kemungkinan menang dan ada kemungkinan kalah. Atau lebih halusnya, ada kemungkinan hasilnya bagus sesuai harapan, tapi ada juga kemungkinan hasilnya jelek. Dan parahnya, dari 10 kali saya cukur rambut, 9 kali cukur pasti hasilnya jelek dan tidak sesuai harapan.
Saya minta model rambut kayak bintang FTV, jadinya malah kayak Dora The Explorer. Saya minta model rambut kayak bintang film Mandarin, hasilnya malah kayak ikat kepala si Naruto. Saya minta dirapikan doang, hasilnya malah kayak gay genit yang haus akan belaian. Please deh.
Entah muka saya yang salah, atau memang yang nyukur kurang ahli. Rasanya hampir semua tukang cukur sudah pernah saya coba. Dari yang murah sampai yang mahal. Dari yang motongnya tante-tante sampe ‘tante-tante’ kemayu juga sudah pernah saya coba. Dan hasilnya sama, mengecewakan!
Dicukur sama tante-tante sebenarnya paling asyik. Pertama, dia sudah pengalaman. Kedua, saya merasakan kelembutan dan sentuhan penuh ‘kasih’ seorang ibu secara dia sudah uzur. Tapi, tidak enaknya, tante-tante model begini hobinya ngomong terus dari awal sampai akhir. Semua hal diomongin, dari soal harga beras sampai nanya-nanya soal gosip artis.
“Iya nih, tante juga gak tau mau makan pake apa, kalau harga beras naik terus. Belum lagi harga bawang, harga jahe buat masak. Pusing tante.”, “Kalau menurut tante tuh ya, Mayangsari tuh pasti udah guna-guna si Bambang, ampe si Bambang ninggalin si Halimah.”
Itu adalah beberapa contoh percakapan antara si tante tukang cukur dan saya. Iya tante, saya tahu. Mau si Bambang nikah sama si Mayangsari, mau si Bambang ninggalin si Halimah, mau si Bambang buka warung pecel lele, yang penting rambut saya selesaikan dulu potongnya, tante. Dan bagaimana dengan hasilnya? Mungkin karena kebanyakkan ngomong, hasilnya pun enggak jauh beda dari yang lainnya. Failed…
Kalau yang nyukurnya ‘tante’ alias yang ‘setengah matang’ tuh hasilnya lumayan bagus. Teman saya lebih milih dicukur sama yang model begini. Entah memang dia doyan atau apa, dia bilang kalau yang nyukurnya ‘tante-tante’ tuh biasanya lebih rapi dan sesuai dengan tren zaman sekarang. Kalau minta dicukur model Korea pasti hasilnya jadi kayak aktor Korea. Beda jauh sama tukang cukur di bawah pohon yang diminta model rambut Korea, tapi jadinya malah kayak orang-orangan sawah.
***
Saya pernah sekali cukur rambut sama yang model ‘tante-tane’ begini. Saya akui memang hasilnya bagus, keren, dan rapi. Mama saya juga suka. Dan satu lagi, ‘tante-tante’ kayak begini tidak banyak omong dan tidak banyak nanya. Masalahnya adalah, entah kenapa saya merasa merinding banget dari awal dicukur sampai selesai. Belum lagi gerak tangannya yang seolah menggerayangi leher dan kepala saya. Sentuhan kulit tangannya membuat saya merasa sangat geli. Harus tahan ketawa dari awal sampai akhir.
Karena itu, dari semua pilihan tukang cukur yang ada, saya lebih milih di tempat cukur dekat rumah. Harga ekonomis, dan dari semua yang saya coba, biasanya di sini hasilnya lebih baik (sedikit) dari tempat lain. Dan berangkatlah saya buat cukur di tempat itu. Pada Minggu ini, saya harus terlihat rapi dan klimis karena saya harus berangkat ke ibu kota. Rencana awal, datang ke sebuah kantor buat kasih CV dan dilanjutkan datang ke undangan pernikahan teman sekolah saya waktu SMA.
Sekarang saya sudah berada di tempat cukur. Saya sengaja datang pagi-pagi biar tidak usah antre. “Mau model apa?” tanya si tukang cukur. Saat itu saya sama sekali tidak ada ide. Plus saya juga sudah kapok ditanya-tanya kayak gini. Kapok karena hasilnya yang tidak pernah sesuai dengan apa yang saya bilang.
Kalau saya bilang, minta model rambut kayak Irfan Bachdim, saya takutnya malah jadi kayak Captain Tsubasa. “Hmm, yang bagus saja deh Mas,” kata saya pasrah. “Mau yang kayak ini?” kata dia sambil menunjukkan sebuah gambar. Kalau saya lihat sih gambarnya oke banget, model rambutnya juga keren banget. “Oke, Mas!” kata saya semangat.
Dan waktunya potong-memotong pun dimulai. Saya komat-kamit doa, sambil berharap hasil cukuran saya hasilnya maksimal. Kalau pun hasilnya tidak sesuai harapan, janganlah sejelek ondel-ondel, harapan saya dalam hati.
Setelah 20 menit kemudian. “Oke, selesai.” kata si tukang cukur yang membuyarkan tidur mikro saya. Tak terasa ternyata saya baru bangun dari tidur mikro saya. Sekitar 10 menit saya terlelap. Saya buka mata dan mulai berkaca, dan hasilny...ALLAHU AKBAR!!! Saya pengen ngejerit. Rambut saya kok jadi kayak si Takeshi Goda a.k.a Giant di kartun Doraemon? Saya usap-usap rambut saya. Saya dekatkan muka saya ke cermin, dan ternyata saya lebih parah dibanding si Takeshi Goda. Saya malah lebih mirip adiknya si Takeshi Goda alias si Jaiko!
Saya hela napas panjang. Ingin banget rasanya saya jenggut rambut si tukang cukur dan teriak, “Mengapa, mengapa? Kembalikkan rambutku. Kembalikkan rambutku!” dengan sedikit efek dramatisir. Ya, sudahlah, toh rambut saya tidak bisa balik lagi. Sempat terpikir buat beli lem terus menyambung rambut saya yang sudah dipotong. Tapi saya urungkan ide bodoh itu. “Nih, Mas,” kata saya sambil kasih uang buat bayar. “Makasih ya. Keren tuh rambutnya,” kata dia sambil kasih kembalian.
Entah maksud dia mau menggoda atau apa, tapi keren dari mananya?! Saya senyum-senyum seolah tidak ada apa-apa walaupun sebenarnya ada apa-apa. Begitu keluar dari tempat cukur rambut, saya langsung lari sambil menutupi rambut Jaiko saya. Untungnya jarak tukang cukur dengan rumah saya tidak terlalu jauh. Sampainya di rumah, saya langsung masuk kamar mandi. Saya langsung keramas sambil komat-kamit, “Cepet panjang, cepet panjang, cepet panjang!”
Dan tampaknya beberapa hari ke depan saya harus pakai topi buat nenyembunyikan rambut Jaiko saya yang seksi ini. (Tulisan ini dikirim oleh Stefanus Sani, Bandung)