Lapang Dada
- U-Report
VIVA.co.id – Saat saya menulis cerita ini, kalau saya tidak salah hitung, bulan ini bertepatan dengan satu tahun saya pindah rumah. Selama satu tahun saya pindah rumah, puji Tuhan tidak ada halangan yang berarti. Rumah baru saya walaupun lebih kecil, tapi nyaman untuk ditempati. Dan satu yang saya suka adalah, di rumah saya yang sekarang, saya mempunyai ruang kerja pribadi yang membuat saya makin semangat kerja.
Ada teman saya yang sangat sok tahu ketika saya pindahan. Tiba-tiba dia meramal kalau rumah baru saya tidak akan membawa keberuntungan buat saya. Lalu, dia juga bilang kalau saya bakalan susah rezeki, dll. Saya sempat takut mendengar omongannya, karena saya pernah dengar cerita kalau rumah baru terkadang tidak membawa keberuntungan bagi penghuni barunya. Tapi ketakutan ini kemudian saya mentahkan, dan saya percaya semua akan berjalan dengan lancar seperti biasa.
Buat yang belum tahu, jarak rumah baru dengn rumah lama saya sebenarnya tidak jauh-jauh amat, malah sangat dekat. Jaraknya hanya selisih dua rumah saja dan agak sedikit berhadapan. Dari rumah saya yang sekarang, masih bisa melongok ke rumah saya yang lama, begitu juga sebaliknya. Tapi, meskipun sudah satu tahun saya pindah, saya masih suka sesekali nengokin rumah saya yang lama. Padahal rumah lama saya itu sudah kosong melompong, hanya menyisakan sofa karena semua barang sudah dipindah, dan beberapa barang sudah diwariskan ke tetangga saya.
Berhubung saya susah move on, jadilah saya masih suka sesekali mampir ke sana. Mampir pun hanya untuk naik ke atas, ke kamar saya yang kosong. Di sana biasanya saya duduk sambil bersandar di tembok, sambil mengingat momen yang pernah terjadi di rumah ini. Ah, terdengar melankolis sekali. Meskipun kata orang tua saya itu adalah kegiatan yang benar-benar kurang kerjaan dan tidak berguna. Saya biasanya menghabiskan waktu sekitar 20 menitan di rumah saya yang lama. Dan setelah puas, saya bakal beranjak pergi untuk meneruskan kegiatan saya.
Tapi, semuanya berubah sejak saya mengalami satu kejadian yang benar-benar meyakinkan saya untuk tidak kembali ke rumah itu. Di suatu hari (mungkin sekitar 2 bulan lalu), seperti biasa saya hendak berkunjung ke rumah lama. Saya rencananya mau menulis sambil tiduran di sofa lama saya yang memang masih ada di sana. Saya memang masih bisa keluar masuk, karena saya memang pegang kunci rumah itu. Jadi, kapanpun saya mau, saya bisa masuk ke sana.
Jalan sedikit, saya buka pintu gerbang dan masuk ke rumah. Dan saat saya membuka pintu, ada kejadian yang benar-benar bikin saya sok. Saya melihat ada seorang bapak sedang buka celana karena kehujanan (saat itu memang sedang hujan). Saya bengong sebentar sebelum bertanya siapa bapak ini. Apa dia mau berbuat mesum di rumah lama saya atau ada apa ini?
Suasana terasa begitu kacau karena satu yang saya heran kenapa dia bisa masuk ke sini, dan dia pun pasti heran kenapa saya pegang kunci dan bisa masuk ke situ. Saya ingat kalau papa saya pernah cerita kalau rumah saya yang lama akan ditempat oleh orang baru. Apa jangan-jangan si om yang tidak pakai celana itu adalah orang baru yang dimaksud papa saya?
Saya pun berakting pura-pura tenang, sambil bertanya, "Pak, maaf. Saya penghuni lama rumah ini, kebetulan saya sedang nunggu paket dari Jakarta. Apa Bapak menerima paket untuk saya?" Si bapak tanpa celana tersebut sambil pasang muka bengong bilang kalau dia baru sampai ke rumah saya itu, dan tidak terima paket apapun. Konyolnya, dia bilang begitu dengan posisi masih belum pakai celana.
Setelah dia bilang begitu, saya pun pamit dan berjalan cepat menuju ke rumah saya yang baru. Saya kemudian masuk ke kamar dan mulai memandangi rumah saya yang lama dari jendela kamar. Saya duduk termenung. Entah mengapa ada perasaan sedih dan sedikit tidak terima ketika tahu jika tempat kenangan saya bakal ditempati oleh orang lain. Mungkin rasa ini sama seperti perasaan tidak terima ketika mantan kita jadian dengan orang lain.
Setelah lama duduk dan merenung, saya memutuskan keluar bersepeda untuk sekadar cari angin. Sudah lama saya tidak bersepeda, apalagi sejak sibuk mengurus usaha. Waktu saya kebanyakan habis buat mengurus produksi dan bertemu buyer. Awalnya, saya berencana hanya mau putar-putar saja, tapi entah kenapa saya jadi kepikiran buat bersepeda sampai ke Puncak Bintang.
Puncak Bintang adalah salah satu tempat wisata yang lagi beken di Bandung. Letaknya cukup dekat dengan rumah saya. Kalau kalian pernah ke Bukit Moko, Bandung, pasti tahu Puncak Bintang. Satu tahun lalu, saya pernah mencapai Puncak Bintang dengan bersepeda. Rasanya? Campur-campur. Ada perasaan puas, senang, tapi diiringi dengan sakit di pinggang dan selangkangan saya hampir mati rasanya. Saat pulang sih gampang, karena jalanannya turun. Tapi saat giliran naik itu yang menggila karena jalur yang menanjak. Saya tidak tahu deh kalau sekarang masih kuat atau tidak bersepeda ke sana. Apalagi belakangan ini saya semakin jarang bersepeda gara-gara mengurus usaha.
Di tengah perasaan kecewa karena rumah lama saya yang sudah ditempati orang, saya pun mulai mengayuh sepeda. Di telinga saya menempel headset iPod buat menemani saya di perjalanan ini. Setengah perjalanan berhasil saya lewati karena treknya memang datar. Dan cobaan baru datang ketika sudah melewati Caringin Tilu (Cartil) karena jalanan sudah mulai menanjak.
Saya menghela nafas panjang dan mulai mengayuh sepeda. Awalnya saya masih kuat, tapi di tengah perjalanan, kaki, pinggang, dan nafas saya sudah mulai habis. Saya bukan perokok atau peminum alkohol dan selalu tidur cukup, tapi ternyata hal itu tidak membuat rute menanjak ini menjadi mudah. Ini rasanya seperti saat saya menjalani proses move on. Berat dan sulit rasanya untuk benar-benar bisa move on.
Banyak hal yang harus dilewati. Entah itu ada perasaan kecewa, sakit hati, tidak terima, atau apalah. Tapi bagaimana caranya kamu harus tetap bisa melanjutkan hidup kamu sambil membawa semua perasaan tidak enak itu. Berat? Pastinya. Saya jadi mengerti kenapa banyak orang yang bertindak nekat setelah mengalami putus cinta. Bagaimana rasanya ketika hati dan perasaan kamu sedang sedih, dan kamu merasa kecewa berat, tapi kamu tidak bisa menyalurkan emosi kamu itu.
Satu jam lamanya saya mengayuh, akhirnya saya sampai juga di Bukit Moko. Suasana sedang sepi dan hanya ada segelintir orang yang sedang foto-foto di sini. Tempatnya belum banyak berubah sejak terakhir saya datang ke sini. Bedanya mungkin sekarang jadi lebih banyak penjual makanan saja. Saya parkir sepeda dan mulai berjalan setapak demi setapak untuk mencapai Puncak Bintang.
Udaranya lumayan dingin dan cukup membuat saya kedinginan. 15 menit kemudian saya sampai juga di Puncak Bintang dan dari puncak ini kita bisa melihat kota Bandung dari ketinggian. Saya rogoh saku dan saya memang sengaja bawa kunci rumah saya yang lama. Saya pandangi sebentar, dan saya lempar jauh-jauh kunci itu. Saya berjanji tidak akan pernah kembali ke rumah lama itu dan tidak bakalan sedih lagi karena rumah kenangan saya itu sudah diisi oleh orang lain.
Setelah saya buang kunci itu, saya memutuskan untuk pulang karena suasana sudah mulai gelap. Seperti yang saya bilang tadi, perjalanan pulang jauh lebih menyenangkan ketimbang perjalanan berangkat karena praktis saya tidak perlu mengayuh sepeda karena jalanan yang menurun. Ini rasanya seperti kamu berhasil move on dari mantan pacar. Awalnya berat dan sulit (persis ketika saya sedang menanjak tadi), tapi akan menjadi mudah setelah kamu berhasil melewati proses itu (seperti perjalanan pulang saya).
Lagu di iPod saya kini sedang memainkan lagu Lapang Dada dari Sheila On 7. "Kau harus bisa, bisa berlapang dada. Kau harus bisa, bisa ambil hikmahnya. Karena semua, semua tak lagi sama. Walau kau tahu dia pun merasakannya." Sesampainya di rumah, perasaan saya belum sepenuhnya lega. Masih ada rasa kecewa tentang rumah lama saya dan entah kenapa saya jadi teringat lagi masa lalu yang bikin saya jadi sedikit drop.
Saya naik ke lantai 2 dan masuk ke kamar saya. Saya berbaring dengan perasaan yang kalut. HP sengaja saya cuekkin padahal dari tadi banyak yang chat menanyakan orderan, dll. Tidak lama kemudian, papa naik ke lantai atas. Dia sepertinya mau menyalakan lampu sambil menutup jendela lantai atas. Dan dia pun sepertinya tahu kalau saya lagi sedikit drop.
Dia membuka kamar saya, dan melihat saya lagi tiduran sambil menutup muka dengan bantal. Perasaan saya saat itu jujur masih sedikit kecewa dan seolah semuanya bercampur jadi satu. Papa kemudian bilang ke saya, "Lapang dada." sambil menyalakan lampu kamar. Setelah dia bilang begitu, dia beranjak pergi dan turun ke bawah. Saya cuma diam sambil memandangi punggung papa saya.
Waktu seolah berhenti sesaat, dan ada keheningan yang tercipta sekaligus kelegaan yang datang di hati. Satu masalah akan selesai asal kamu mau lapang dada dan percaya semua akan baik-baik saja. (Tulisan ini dikirim oleh Stefanus Sani, Bandung)