Dekadensi Tradisi Sedekah dalam Upacara Pernikahan di Madura
VIVA.co.id – Pasca bulan Ramadan merupakan waktu yang begitu ditunggu-tunggu oleh beberapa masyarakat Madura, terutama bagi para pemuda yang sudah memiliki tunangan. Karena, bulan ini merupakan bulan yang dipandang bagus untuk melangsungkan pernikahan. Maka sangat banyak sekali di beberapa daerah di Madura yang menyelenggarakan acara seremonial pernikahan.
Tapi, peribahasa Madura “Nyabe’ tellor e betton” lah yang mampu menggambarkan tindakan masyarakat Madura akan proses aktualisasi acara pernikahan. Istilah tersebut disematkan terhadap tradisi sedekah yang mulai luntur dari jiwa masyarakat pulau garam dalam melaksanakan gebey (acara pernikahan).
Masyarakat Madura pada zaman dahulu memiliki kebiasaan yang begitu diagung-agungkan dan dipelihara eksistensinya. Rela menolong dan memberi dengan konsep tanpa pamrih sesuka hati. Tindakan perhitungan akan pemberian tidak pernah muncul ke permukaan. Sebab, kebersamaan, kekeluargaan, rasa tolong menolong, dan gotong royong yang mampu menjadi pondasi awal akan munculnya suka rela.
Masyarakat Madura saat ini tergolong akan masyarakat yang bersifat individual. Pemberian dan pengeluarannya harus tercatat untuk dikembalikan lagi di kemudian hari. Terbukti dengan munculnya kebiasaan mencatat apa yang sudah disumbangkan ke acara pernikahan yang diselenggarakan, serta muncul yang disebut grup-grupan.
Proses pencatatan telah memudarkan tradisi sedekah yang sudah melekat. Karena, tindakan tersebut sudah mencerminkan tiada kerelaan untuk bersedekah. Akar masalah munculnya buku catatan berawal dari rasa tidak enak terhadap pemberian orang, lalu memiliki dorongan untuk mengembalikannya lagi. Perasaan itu perlahan-lahan tertanam dalam kehidupan masyarakat yang akhirnya menghasilkan suatu kebiasaan.
Konsep ini mirip dengan arisan yang akan mencatat keluar masuknya uang. Serta sebanding antara pemasukan dan pengeluaran. Sungguh kebiasaan yang tidak mencerminkan tradisi sedekah masyarakat Madura pada zaman dahulu.
Grup-grupan juga menghasilkan pengaplikasian yang sama dengan buku catatan. Namun, perbedaan dari sistem ini adalah kesepakatan beberapa orang akan berkumpul menjadi layaknya suatu komunitas untuk membuat satu grup yang bertujuan menyumbang satu sama lain. Dalam hal ini dengan nilai pemberian yang bersifat sangat besar. Tapi, pihak yang sudah menerima sumbangan tersebut harus mengembalikan dengan nilai yang setimpal. Tanpa ada pengurangan, karena sudah terlahir dari kesepakatan awal. Biasanya, grup-grupan akan diberi nama oleh para anggotanya sendiri, seperti Anak Jalanan, Jungrojung, dan lain-lain.
Kebangkrutan bisa menjadi buah akan perubahan tradisi tersebut, karena bersifat wajib. Karena itulah sampai muncul istilah dari salah satu anggota grup-grupan, mon tak pasra je’ noro’, malle ta’ bangkrut (kalau tidak pasrah atau siap, sebaiknya jangan ikut agar tidak bangkrut). Istilah tersebut menunjukkan ganasnya praktik dari grup-grupan. Punya atau tidak, mereka harus membayarnya jika sudah jatuh tempo, tidak peduli dengan alasan apapun.
Jadi, sebagian masyarakat yang sadar akan fakta yang terjadi saat ini segera bertindak selektif, serta mencoba untuk bekerja sama dengan sesama orang yang ingin mengembalikan tradisi masyarakat Madura seperti dahulu. Nasihat secara personal juga butuh dilakukan terhadap para penganut yang sudah kecanduan dan membuatnya tambah berkembang. Hal ini seperti yang sudah terjadi pada keluarga Suhriya yang banyak kedatangan tamu yang tidak diundang sebab akan menyelenggarakan acara pernikahan (matoro’). (Tulisan ini dikirim oleh Syahid Mujtahidy, Pamekasan)