Ingin Anak Wanita, Suamiku Rela Menduakanku
- U-Report
VIVA.co.id – Hanya karena ingin anak wanita, suamiku rela menduakanku. Kecewa, itulah yang saat ini kurasakan. Bertahun-tahun kuabdikan hidupku untuk menjadi istri dan ibu dari ketiga anakmu. Nyatanya dengan begitu mudah kau campakkan aku, hanya karena aku tak mampu memberimu seorang anak perempuan.
Tanpa beban sedikit pun, kau kenalkan dia sebagai sosok yang bisa kau harapkan mampu memuaskan impianmu. Awalnya sulit menerima pengkhianatan ini. Aku terus coba mengejarmu, meraih tanganmu, tapi kau justru menolak uluran tanganku. Aku masa lalu, dan perempuan itu adalah masa depan harapanmu bertumpu. Sakit, perih, saat aku tak bisa meraihmu karena eratnya pelukannya.
Putus asa, aku pun coba meraih jalan terburuk yakni melepasmu. Ketika semua berkas sudah siap dibawa ke pengadilan, tangan-tangan mungil anakmu memaksaku untuk membatalkan semuanya. Hatiku mendadak luluh dan tak mampu menolak harapnya. Mungkin mereka benar, aku bisa saja tidak membutuhkan hadirmu, namun bagaimana dengan mereka? Tak bertindak, aku berasa bagai kerbau dungu yang menurut saja melihat tingkah lakunya. Bergerak, aku justru merasa lemah kala memandang sorot mata lugu penuh harap akan kemurahanku.
Dalam diam kucoba bertahan, karena kutahu bahwa hidup tak hanya soal menang dan kalah. Hidup adalah perjuangan sampai titik darah penghabisan untuk meraih kebahagiaan yang hakiki. Kini dan nanti, aku akan mencoba berdamai dengan hati yang kian lara. Biarlah, meski berat kan kucoba merawat luka diri yang mungkin hanya bisa sembuh oleh hadirmu.
“Ma, kenapa ayah semakin jarang pulang ke rumah?” tanya sulungku saat menyadari ketidakhadiran ayahnya beberapa waktu lamanya. “Biasa, ayahmu lagi dinas di luar kota. Kamu yang sabar sayang,” ujarku coba menghiburnya. Sehari dua hari, aku bisa saja berbohong akan keberadaan ayahnya. Namun, cerita-cerita di luar sana dan fakta yang kemudian berhasil dibawa anakku ke hadapanku membuatku tak berkutik lagi.
Aku tak mampu lagi menciptakan sosok ayah terbaik untuk mereka, karena ulah suamiku yang menodai kecercayaan buah hatinya sendiri. Tangis kami pun pecah seketika, manakala sulung memaksa ingin tahu kronologi hingga ayahnya terjerat cinta wanita penggoda itu. Meskipun aku tahu bahwa anakku tak mungkin bisa memahami dengan sempurna tentang rasa sakit yang kualami, namun kucoba jujur padanya.
“Yang sabar ya, Ma. Mungkin Mama sakit hati dan terluka karena ulah ayah, tapi bersabarlah demi kami ya, Ma!” ujar putra sulungku penuh harap. Kuhela napas perlahan. Benar juga kata putraku, aku tidak boleh menyerah. Hidup kami harus tetap berjalan meski tanpa kehadirannya di sisi.
Untuk sementara, kucoba bersabar mengikuti alur yang ada seraya berharap akan datang keajaiban yang dapat mengembalikan semua kebahagiaan. Meski diam, aku terus memantau gerak-gerik suamiku dan wanita yang kabarnya sudah dinikahinya secara siri itu. Hatiku begitu was-was manakala tahu kalau wanita itu tengah mengandung buah cintanya dengan suamiku. Apalagi mendengar cerita tetangga sekitar rumah wanita nakal itu, kalau suamiku akan menceraikanku dan menikahinya secara sah jika berhasil memberinya anak perempuan.
Kutukan demi kutukan terlontar dari bibirku. Aku tak menyangka, pikiran suamiku begitu picik. Di saat emosiku memuncak, kembali tangan-tangan mungil anakku mencoba membelai hatiku hingga aku kembali melunak. “Berdoa, Ma. Karena hanya doa yang mampu mengubah segalanya,” kata sulungku bijak. Ujian dan nasihat orang-orang di sekitarnya membuat pikiran anakku semakin bijak. Sungguh aku merasa malu, jika tak bisa menjadikan ujian ini sebagai celah untuk menggapai rida-Nya.
Kini di setiap waktuku, aku mencoba hapus gelisah dengan lantunan doa dan pengharapan untuk keutuhan rumah tanggaku. Hari itu pun tiba, di mana kulihat kekecewaan di matanya. Wanita yang diharapkan mampu mewujudkan impiannya ternyata melahirkan bayi laki-laki. Hatiku tersenyum kala itu, setidaknya aku merasa Allah masih berpihak padaku. Namun. cemas kembali menghantui manakala aku mendengar cerita kalau si perempuan itu tak akan pernah menyerah untuk bisa memberikan anak perempuan kepada suamiku.
Tepat tujuh bulan kemudian, aku mendengar kehamilannya lagi. Kembali aku dilanda kecemasan yang mendalam manakala ancaman perceraian seraya melayang-layang dalam ingatanku. Kembali kusungkurkan diri dalam sujud panjang di hadapan-Nya. Kuminta agar mata hati suamiku terbuka dan bisa mengingat kenangan indah bersama kami. Keajaiban pun berulang. Aku kembali menatap kekecewaan di matanya.
Kala itu, hatiku justru menangis iba. Kubelai rambutnya yang terlihat kumal, kutatap mata lelah yang tengah tergolek di sampingku. Seandainya kamu bisa mensyukuri apa yang ada, mungkin takkan begini kejadiannya. Batinku bergejolak. Menyadari kehadiranku, dia langsung bangun. Tak seperti biasanya yang menghindar dariku, sikapnya terlihat manja saat menyapaku. Aku tahu, ada rindu yang ia simpan untukku setelah hampir dua tahun lebih dia asyik dengan dunia barunya bersama maduku.
Ya, rindu sangat jelas terlihat manakala genggaman tanganku dibalasnya dengan pelukan yang sangat hangat. Kedekatan kami tak berlangsung lama. Seperti biasa ketika tahu suamiku berada di rumahnya, perempuan itu akan langsung meneleponnya. Bodohnya lagi, suamiku tak pernah berusaha adil padaku. Dia akan langsung angkat kaki dari rumah kami. Lagi-lagi aku harus menahan perih atas sikapnya yang lebih mengutamakan perempuan itu.
Hari berlalu bulan berganti menyongsong tahun-tahun berikutnya. Aku tetap berada di posisi yang sama, menanti dengan penuh harap akan datangnya keajaiban. Suamiku masih asyik dengan impiannya, karena wanita itu tak pernah menyerah memberikan harapan palsunya kepada suamiku. Tak ada angin, tak ada hujan, mendadak dia bersimpuh dengan berurai air mata di hadapanku. Aku hanya bisa membelai punggungnya perlahan sembari bertanya, apakah gerangan yang membuatnya serapuh ini. Dia tak mampu berkata apapun kecuali larut dalam isakan tangisnya sembari memohon agar aku mengampuni khilafnya.
Perlahan aku memaksanya untuk jujur tentang perasaannya. “Ampuni kebodohanku selama ini, Ma,” katanya sembari membenamkan kepalanya di pangkuanku. Kuhela napas perlahan. Sejenak kucoba menghapus luka hati yang sudah dia torehkan di hatiku. Mendadak rasa sakit kembali terasa manakala kenangan pahit itu menari di pelupuk mata. Sejujurnya hatiku sangat kecewa dan terluka, namun melihatnya selemah ini, aku jadi tidak tega untuk membalaskan rasa sakit yang sudah lama kupendam.
Kutuntun tubuhnya menuju ke ranjang. Setelah emosinya redam, aku coba menelisik ke dalam hatinya. Dia hanya tersenyum seraya membelai lembut rambutku. Penyesalan terlihat jelas di wajahnya. “Ma, maukah kamu memberiku satu kesempatan lagi?“ ucapnya dengan suara parau. “Kesempatan itu selalu ada, Yah. Asalkan kamu janji tidak mengulanginya lagi,” jawabku dengan mata berkaca-kaca. Kulihat dia menganggukkan kepalanya perlahan tanda setuju dengan persyaratan yang kuajukan.
Setelah dia sedikit tenang, aku baru mengerti masalah apa yang tengah menimpanya hingga dia begitu terluka dan kecewa. “Beruntung aku masih punya kalian, Ma. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku bisa bertahan tanpa kalian,” ucapnya terbata-bata. Ternyata perempuan nakal itu tidak pernah berubah meskipun sudah menjadi istri dari suamiku. Bahkan dengan mata dan kepalanya sendiri, suamiku memergoki istrinya tengah bermesraan dengan lelaki lain.
Kemarahannya semakin memuncak manakala hasil tes DNA menyebutkan bahwa anak-anak yang dilahirkan perempuan itu, bukanlah darah dagingnya. Aku tidak tahu lagi apakah harus tertawa atau menangis. Yang jelas, ada rasa lega dan syukur yang tak hentinya menyeruak manakala senyum kembali membias di wajah anak-anakku. Lara hati yang kurasakan selama beberapa tahun terakhir ini serasa menguap begitu saja. (Tulisan ini dikirim oleh Ayunin, Sidoarjo)