Nestapa Wanita dalam Kesunyian
- U-Report
VIVA.co.id – Libia, matahari merah senja. Dia berpamitan padaku, katanya ujung malam nanti akan kembali membawa sepotong roti keju. Roti keju itu selalu disebut-sebut Amman di pagi hari. Dia sudah tidak kerasan mendengar rengek putra sulung kami setelah tujuh tahun pernikahan. Dan di saat matahari menuruni padang pasir belakang rumah kami, dia berpamit.
Jelas aku tidak keberatan! Walau sebenarnya hati kecilku miris. Dia sudah lama tidak bekerja tetap, bahkan dari awal perkawinan kami. Usai kumandang azan penutup hari, setelah dia berlalu lima menit dari hadapanku, Amman dengan tawa kanak-kanaknya berlari ke arahku. Tangannya membawa sepotong roti, bukan roti keju idamannya memang, namun ia tetap terlihat senang.
Tanyaku pada si kecil kami, Amman hanya menunjuk jendela rumah biru di depan kami. Rumah Nuh, yang hari ini akan pulang ke negaranya di Eropa. Katanya begitu. Sebenarnya Nuh bukan orang Arab, Nuh orang Barat. Dia pernah bercerita kalau namanya dulu Noah, setelah jadi mualaf namanya berganti menjadi Nuh.
Ah, aku jadi terharu, juga sedih. Tetangga baik itu yang selalu menemani Amman bercerita akan kembali ke tempat asalnya setelah penelitian tesisnya usai. Tidak hanya hasil riset yang Nuh bawa pulang, juga gelar muslim di pundaknya. Amman menatapku dengan mata herannya. Aku meraih tangan mungil buah hati kami. Membesarkan hatinya kalau masih ada Nuh lain di sini. Ada Ibu. Dia, tetangga lain.
Aku tahu Amman susah melepaskan Nuh, namun hatinya pasti akan tegar. Aku membisik agar Amman memakan habis roti terakhir pemberian Nuh yang mungkin sudah sampai bandara saat ini. Amman tersenyum lebar, ia melahap roti dengan rakusnya tanpa berhenti sebelum habis dikunyah gigi putihnya.
Seperti biasa, Amman tidak pernah bertanya kemana dia menghilang tiap malam-malam penuh harap. Harapan Amman sudah kandas untuk mencicipi roti keju dari hasil keringat dia yang sudah meniadakan Amman bersama kami. Bukan tidak pernah Amman melahap roti keju, Nuh bahkan tidak terhitung memberikannya tiap Minggu di akhir pekan. Aku juga pernah membawa dua potong, Amman tidak menolak. Di makan saja dengan mata tertatap tajam pada dia yang duduk di atas kursi dengan secangkir kopi panas.
Desir pasir terdengar keras di belakang rumah kami. Aku menidurkan Amman dengan dongeng Abu Nawas yang sudah sangat sering ia dengarkan. Dengkur Amman bersahutan bersama angin yang membawa pasir. Mungkin saja terbang mencari dia yang entah sedang berusaha mendapatkan sepotong roti keju atau sedang bergumul dengan teman-teman lamanya di suatu sudut kota malam ini. Aku tidak memedulikan keberadaan dia. Aku hanya ingin dia sadar anaknya mau melihat dia melambaikan roti keju sepulang nanti!
Amman tersentak bangun saat gaduh di luar merayap masuk ke dalam mimpi indahnya. Suara teriakan membuatku terkejut. Ada bunyi lain selain teriakan manusia. Kaleng dipukul. Lemparan batu ke atap rumah. Gedoran pintu. Bau amis karena sesuatu dibakar. Seakan suara pasir yang diterbangkan malam tenggelam begitu saja.
Aku menarik Amman dalam pelukan, tapi Amman menolak dan berlari ke pintu utama. Di antara gaduh dan suara lantang, aku masih bisa mendengar artikulasi mereka. Pintu berderit ditarik Amman, tertahan olehku yang tertegun. Di luar bukan hanya suara laki-laki yang terdengar membahana malam. Perempuan-perempuan juga seakan tidak peduli malam membawa mereka ke putra-putrinya. Memeluk hangat dengan seuntai cerita penghantar tidur sebelum esok meraih mimpi-mimpi mereka.
Suara mereka serentak, aku mendengar ada yang salah di malam ini. Negeri yang dulu damai sekarang jadi berang. Mereka bukan meminta dinaikkan gaji atau dibeirkan kerja yang pantas. Mereka meminta penguasa negeri ini, yang sudah menjamu negeri selama puluhan tahun itu, hengkang dari kekuasaannya. Apakah ada yang aku lewatkan dari negeri limpah ruah minyak bumi ini? Atau karena sebuah televisi hitam putih saja belum menyala di rumah kami, sampai aku tidak mengerti apa-apa malam ini!
Badanku menggigil. Apalagi menyadari Amman sudah tidak berdiri di tepi teras rumah kami. Apa mungkin Amman mencari dia di antara kerumun manusia ini? Mungkin juga Amman ikut meneriakkan teriakan yang tidak ia mengerti itu? Amman belum genap sepuluh tahun, dan tidak tahu-menahu tentang ini. “Amman! Ke mana kaki membawamu?”
Letusan senapan di barisan depan menghentakkan nadiku. Suasana jadi kocar-kacir. Letusan itu berkali-kali. Makin keras terdengar. Mereka yang di depan rumahku masih bingung, sebingung aku yang kehilangan Amman. Orang-orang dari barisan depan berlari ke sana-ke mari, sepertinya mereka menghindar dari peluru yang siap menembus jantung mereka. Peluru itu bukan dari wakil mereka. Peluru itu dari prajurit negara yang datang menghalau gerak mereka. Amman! Ke mana langkahmu membawa ringkih tubuh kecil di antara ribuan dewasa?
Letusan senapan dan jejak lari di mana-mana. Ada yang mencari perlindungan di sebagian rumah terdekat. Ada yang terus berlari. Ada yang bersembunyi di balik bangunan tua. Semua takut. Aku juga takut! Dalam galau dan bimbang beberapa pemuda menarikku masuk ke rumah. Tapi Amman? Ia sendirian di luar sana sedangkan dia belum tentu bersama anaka kami.
Sekilas sebelum tangan kasar menarikku paksa, mataku menangkap serdadu negara berbaris di depan mesin perang baja. Sudah berakhirkah sebuah kisah negeri kaya bagai kisah dalam dongeng ini? Rasanya nafasku berhenti. Biar peluru menembus jantungku, asalkan Amman aman di luar sana. Aku tidak mengingat dia, juga roti keju yang dia bawa pulang. Ribuan roti keju seperti ribuan orang di malam ini. Semua tidak berarti apa-apa sekarang dan sampai kapanpun, jika Amman tidak kembali!
Rasanya baru semenit lalu aku mendengar tawa Amman. Rasa senang mengunyah roti pemberian Nuh. Oh, Nuh yang malang. Yang benar saja? Kemelut ini datang begitu Nuh menghilang. Aku juga tidak sanggup membayangkan kepedihan Nuh menghadapi malam seperti sekarang. Aku terpaku. Beberapa pemuda masih berdebat soal benar dan salah. Saling menuding satu sama lain. Sementara dari kejauhan masih terdengar letusan peluru menembus kaki berlari, letusan pedih yang diakhiri teriakan melanglang kesakitan.
Leraian dari pemuda lain tidak mampu meredam amarah kedua pemuda itu. Aku histeris! “Apa artinya penguasa itu turun dari tahtanya jika suami dan anakku mati malam ini? Mereka tidak tahu apa-apa dan jadi korban kebengisan kalian!” Tidak ada yang menjawab. Kedua pemuda yang tadi bertengkar juga diam membisu. Desir pasir seperti menembus ulu hatiku, pasti sangat dingin. Amman mungkin lebih dingin, sendirian tanpa pelukanku!
Aku menyeka airmata dengan ujung baju. Menatap satu per satu pemuda yang berdiri di dalam rumah sempitku. Emosiku mengelana ke panas pasir siang hari. Aku memang bukan tandingan mereka. Mauku meremuk tulang belulang mereka menjadi senjata membombardir kericuhan malam ini. Pemuda-pemuda itu tidak bergeming. Membuat malam tidak menentu, bukan karena sedih tapi karena riang sudah berganti jadi malam tidak bersahabat.
Apa yang memicu mereka melakukan ini? Bukankah negeri ini sudah aman? Pemuda itu saling berpandangan. Aku masih tajam menari di binar mata mereka. Biar mereka puas! Dia belum pulang membawa roti keju, di luar ramai letusan senapan, dan Amman masih di antara suara teriakan minta tolong. Amman tidak di rumah, ia baru saja berlari mengikuti ramai orang berteriak teriakan tidak pasti. Tangis kedinginan Amman tidak terdengar malam ini. Tidak juga suara batuk dia menjelang pintu diketuk di penghujung malam.
Malam ini sudah sampai di penghujung, mungkin sebentar lagi dia akan mengetuk pintu. Aku berharap. Berpaling ke pintu. Pemuda-pemuda itu juga ikut memalingkan wajah mereka. Suara batuk terdengar. Lebih berat dari biasanya. Aku menghitung sampai lima, pintu di depan rumah kami belum juga diketuk. Aku berlari ke pintu. Seorang pemuda mencoba menahan langkahku. Kutepis. Aku yakin sekali. Dia pulang!
Kutarik pintu, sesosok tubuh yang sangat kukenal menumbuk badanku. . Sepotong roti keju jatuh ke lantai, berguling ke sudut bawah jendela di mana Amman menunggu dia pulang tiap senja. Dia berujar dalam serak, “Aku sudah menepati janjiku. Amman memelukku erat saat roti keju kulambaikan padanya” suaranya terhenti tapi ia masih tersenyum bahagia. “Tapi orang-orang itu menabrak kami! Dan peluru itu...” Suaranya jatuh ke pelukanku.Dalam pelukannya Amman bersimbah darah
Dia lemas. Aku bersimpuh. Senyum Amman di sampingku. Senyum dia di pelukanku. Dari genggamannya secarik kertas tanda terima gaji bulan pertama terlepas. Dia sudah lama merindukan kerja di negeri kaya ini, setelah lama dia dipecat dari pekerjaan lamanya sebelum meminangku. Tapi bukan pekerjaan seperti ini.
Dia harus mati karena kerja meruntuhkan kekuasaan penguasa negeri. Dia tidak tahu. Amman juga tidak tahu, jika malam ini orang-orang akan berlarian di sepanjang jalan, meneriakkan keinginan mereka menurunkan penguasa kaya negeri kami! Aku tidak peduli siapa penguasa kini, aku hanya merasa sunyi di sini. Memeluk dia dan Amman. Amman, anakku. Dan dia, ayah dari anakku! (Cerita ini dikirim oleh Bairuindra)