Halalbihalal dengan Temu Penyair Persi
VIVA.co.id – Para alumni santri Annuqayah Lubangsa, khususnya yang pernah menjadi anggota Penyisir Sastra Iksabad (Persi) menggelar acara dengan para anggota yang masih aktif. Acara yang diselenggarakan di salah satu ruang Mts Miftahul-Ulum ini juga menghadirkan sesepuh atau para pendiri Persi.
Acara yang digagas oleh para alumni ini juga dimaksudkan agar dapat memberikan input terhadap para anggota yang masih aktif. Acara yang awalnya direncanakan akan diselenggarakan pada jam 09:00 WIB, agak sedikit tergeser dari waktu yang ditetapkan. Hal ini, mungkin karena tempat tinggal para peserta yang lumayan jauh dari lokasi.
Acara ini dirancang supaya tidak terlalu formal dan dapat berdiskusi dengan santai. Inisiatif para alumni ini juga sengaja dilaksanakan pasca Lebaran supaya mayoritas para undangan dapat menghadiri acara ini. Sehingga dapat menghasilkan input yang cukup dapat dikenang.
Acara ini berlangsung sekitar tiga jam dan cukup untuk sekadar menambah bekal dalam kepenulisan. Dalam kesempatan ini menghadirkan pengasuh Persi, Subaidi Pratama dengan pembahasan “Produktivitas dalam Menulis” dan sahabat, Mawaidi D. Mas dengan menyampaikan materi tentang “Media”. Sehingga kita dapat mengetahui bagaimana cara memproduktifkan tulisan dan dapat diakui oleh media.
Para anggota Persi mengakui kalau mereka seperti mendapat sebuah penghargaan. Sebab, mereka bisa mendapat pemasukan ilmu tanpa memikirkan tentang kontribusi/dana sebelumnya. Forum pun semakin renyah untuk dikaji. Apalagi saat timbul pertanyaan dari seorang alumni, Faizatud Dharain, yang menjelaskan bahwa dirinya menulis untuk memiliki ketenangan tanpa memikirkan media.
Sedangkan para senior selalu menanyakan tentang keberadaan Persi di media. Persi tak ada di media, di situ seolah-olah Persi mati. “Apakah kita memikirkan media dulu, sehingga tak ada media?” Sebuah pertanyaan yang cukup membuat para peserta ternganga. Karena, hal tersebut juga mengganjal bagi para peserta, di mana para senior seringkali menanyakan keberadaan Persi.
Nur Faika, selaku moderator juga menambahkan bahwa minat baca masyarakat di Eropa itu sehari delapan jam. Sedangkan kita, bisa jadi hanya delapan hari satu jam. Hal itu yang menjadi pemicu karya kita menjadi stagnan. Akhirnya acara tersebut berakhir sekitar jam setengah satu, dengan suasana ada yang ber-selfi sebab acara ini juga merupakan acara jumpa rindu. (Cerita ini dikirim oleh Lutfiyah, Sumenep)