Kisah Seorang Istri tentang Suaminya Pecandu Ganja
- U-Report
VIVA.co.id – Awal perkenalanku dengannya cukup bahagia. Aku memiliki seseorang yang cukup sempurna untuk ukuran pria di kampungku. Seperti celetuk kawan-kawanku kala itu, "Mau pacaran sebentar atau selamanya sampai nikah sekalipun, pria itu harus gagah dan tampan. Jika tidak, kamu bakal malu-maluin ke pesta!” Prasangka yang kemudian kusesali setelah menikah dengan pria yang semula pacarku itu.
Memang, hubungan kami tidak selamanya baik. Tabiatnya kian hari terasa mengganas dan membahana sampai ke ubun-ubun. Sakit hatiku sungguh tak terperi bila mengingat semua yang telah ia perbuat kepadaku. Sisi hati yang entah berpihak kepada siapa, tapi aku selalu memaafkan setiap tindakan yang ia lakukan.
Kami kembali memulai hubungan dari nol. Bertengkar lagi dalam waktu yang cukup singkat. Hubungan kembali kami jalin dari awal. Ia sangat pandai bersikap romantis, memberi perhatian sangat lebih kepadaku sebagai pacarnya. Tiba saat yang benar-benar tak kutahu. Ia teramat sering memukul, menampar dan membulatkan mata yang memerah. Kata-katanya memang semanis madu, namun sekali pukulan akan membengkakkan pipiku. Aku tak mengadu kepada siapapun. Hanya berpaling darinya dan pergi menjauh. Jelas hubungan kami telah putus.
Aku kembali ke rumah orang tua di kampung setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas di kabupaten. Cukup lama aku tak ada hubungan dengannya, apalagi pada masa itu belum zamannya berkomunikasi melalui jaringan telepon seluler. Jikapun ada, misalnya, ia tak akan mampu membeli pulsa walaupun cuma lima ribu perak dengan kondisinya yang mengenaskan.
Akan kuceritakan setelah sebuah perih, karena ternyata aku tidak pernah mampu move on darinya. Aku benar telah bersama orang tua. Pendidikan yang tidak berlanjut ke jenjang lebih tinggi mengharuskan aku menerima apapun keputusan orang tuaku. Termasuk soal jodoh. Kampungku yang jauh dari kota besar, sikap masyarakat yang lebih sering menikahkan anak perempuan mereka di usia lepas SMP atau SMA, membuat hidupku berada di ujung tanduk. Jika aku terima perjodohan ini maka aku tidak akan bahagia, pendapatku yang teramat egois tentang cinta.
Aku menolak maka sebuah alasan harus terurai seketika. Dan aku mengucapkan itu di depan orang tuaku, “Aku mengandung anaknya!” Ia yang kumaksud adalah pria yang sangat kucintai dan kuingin menjadi suamiku. Rapat keluarga seketika digelar. Mataku berkunang-kunang. Jelas aku telah membuat kesalahan paling fatal. Namun kedua orang tuaku tidak mengisyaratkan apa-apa. Mereka mencari solusi bagaimana supaya ia, pria yang kucintai itu, mau menikahiku yang sebenarnya telah berbohong.
Akhirnya aku menikah. Seadanya. Sebagaimana mestinya wanita yang telah tak perawan dianggap orang. Wanita yang telah mempermalukan keluarga karena hamil di luar nikah. Pria itu pun terhuyung-huyung datang ke rumah malam itu, mengucapkan janji suci pernikahan. Seminggu berlalu biasa saja. Sebulan setelah itu kami mulai berdebat soal dirinya yang malas bangun pagi. Bulan berikutnya kudapati ia merokok cukup banyak di kamar padahal aku telah mengandung, yang sebenarnya.
Bulan setelah itu, saat aku ngidam ingin ini dan itu matanya menyalak. Tak karuan ia melempar asbak atau piring ke pangkuanku. Tabiatnya mulai terlihat. Manjanya mulai kurasa. Ia sama sekali tak terbebani dengan sebuah rumah tangga. Ia tak pernah malu dengan kedua orang tuaku karena selalu bangun kesiangan. Ia tak pernah peduli urusan dapur mengepul atau sawah siap panen atau mesti ditanam lagi. Ia hanya tahu selembar kertas untuk membeli bungkus rokok lalu keluyuran di pos ronda bersama pemuda lain.
Kehamilanku semakin membesar. Ia yang tak betah, pulang ke rumah orang tuanya. Iklan susu ibu hamil di televisi empat belas inci hanya sebagai hiburan yang kuidam-idamkan tiap kali. Buah apel yang digigit di layar kaca seakan-akan membuatku menjadi bagian dari gigi itu. Minuman aneka rasa yang selalu tampil di televisi cukup kutahu nama produknya saja. Ia tak akan membeli, bahkan tak pulang sebulan penuh sampai menjelang masa melahirkan.
Seminggu sebelum proses persalinan ia pulang dengan bau badan tak sedap. Wajah tampannya yang selalu kuimpikan tak sebaik manusia yang pernah kulihat. Wajah itu adalah aura yang paling jijik kulihat sejak kukenali dirinya. Bau badan yang tak biasa membuatku mulai curiga. Kecurigaanku menjadi nyata saat ia berbicara ngawur, tak jelas penempatan abjad demi abjad. Ia mabuk! Bukan karena alkohol. Bukan karena narkoba. Hanya karena ganja yang begitu mudah didapatkan di negeri kami.
Bungkus ganja kudapat di dalam saku celana jeans kusam yang entah telah berapa lama ia kenakan. Dalam tidurpun ia masih sempat meracau bahwa ganja itu paling enak dan mahal harganya. Aku percaya, tapi aku tak yakin bagaimana ia bisa mendapatkan ganja sejumlah itu dengan mudah sedangkan dompetnya selalu kosong.
Bayi perempuan kami lahir dengan normal. Ia menerima bayi kami dengan sukacita. Belum pernah kulihat rona bahagia dalam dirinya seperti hari itu. Ia terus menimang-nimang bayi kami sampai beberapa hari ke depan. Saat usia bayi itu lebih sebulan, ia menghilang. Tak pulang lebih sebulan, tak ada tanggung jawab yang mesti ia lunasi. Tak ada rasa malu kepada keluargaku yang pontang-panting menjaga dan merawat wanita baru melahirkan ini. Ia santai. Sesantai saat kembali dengan sempoyongan.
Pria itu teler lagi! Lebih parah dari yang pernah kulihat. Entah berapa banyak ganja yang dihisapnya. Ia menarik-narik lenganku untuk beranjak dari bayi kami yang belum terlelap. Aku menepis. Ia menampar sekali hentakan tangan. Aku tersungkur. Ia mencabik-cabik hingga pakaian yang kukenakan sobek. Ia menjamahku seperti bukan istrinya. Ia menghentak-hentakkan nafsunya dengan ganas tanpa peduli sakit yang kuderita. Puas dengan itu, ia terbirit keluar kamar dan kemudian kutahu ia duduk di bawah pohon durian dengan asap mengepul dari hidung dan mulutnya. Ia kembali teler.
Seperti yang telah kukatakan, ia tak pernah membentak. Suaranya selalu lembut. Hanya tangannya yang mudah jatuh menjuntai ke pipi maupun ke badanku. Jangan kamu tanya berapa banyak sembab dan bekas pukulan itu. Aku sendiri malu untuk mengakuinya. Ia tak pernah berhenti memukul tiap kali pulang ke rumahku. Tabiat yang kemudian diketahui oleh kedua orang tuaku.
Ada saat kedua orang tua memintaku untuk pisah dengan pria itu. Namun, aku selalu enggan untuk memulai pembicaraan ke arah itu. Saat ia benar-benar sadar, sifatnya seperti malaikat. Ia menjagaku dan anak kami dengan sebaik-baiknya manusia. Ia berbicara selembut-lembutnya pria yang pernah kukenal. Ia bermain dengan anak kami sepanjang waktu sampai aku benar-benar bahagia melihatnya. Tapi itu, tak pernah berlangsung lama.
Waktu yang terus berlalu mengajaknya untuk berangkat. Aku tahu ia pulang ke rumah orang tuanya. Ke kamar tercinta yang gelap, tak ada jendela dan lampu satupun. Ia akan menghisap ganja sepuas hati sampai mata berkunang-kunang dan sampai tubuh lemas tak berdaya. Saat di dalam kamar itu, berhari-hari ia tak makan dan minum, ia tak pernah pula membuka pintu untuk siapapun. Persediaan yang ada di dalam kamar itu hanya bungkusan ganja dan rokok.
Saat ia benar-benar yakin tenaga telah terisi penuh, maka ia akan keluar kamar dengan mata merah, jalan melambai, dan tampak benar-benar pulih. Bahkan, sama seperti manusia normal pada umumnya. Ia bersikap happily ever after terhadap apapun yang terjadi di dalam kamar itu.
Pernikahan kami telah mencapai usia tujuh tahun. Sikapnya tak pernah berubah dan semakin menjadi-jadi. Hidupnya lebih banyak teler daripada berada di alam nyata. Ia lupa kepadaku dan anak kami. Ia teramat sering di dalam kamar gelap itu dibandingkan pulang untuk menjenguk kami. Bahkan, saat anak kami demam tinggi tak tahu kepada siapa aku berteriak. Tangisku berhenti di relung hati tak ada bayangan. Aku mondar-mandir puskesmas dan rumah untuk menyesuaikan kebutuhan kami. Aku dan ibu yang menjaga anakku sampai benar-benar sembuh.
Aku datang menjemputnya, namun berulangkali kugedor pintu kamar gelap itu tak ada sahutan sama sekali. Aku tahu ia ada di dalam sana. Aku tahu ia mendengarku, entah sebagai bidadari di alam khayalan, entah sebagai petir yang membangunkan sakaunya.
Hari yang lewat setelah itu, bisa kuhitung waktu ia bersama kami. Ia bermain-main dengan kehidupannya yang tak lagi remaja. Ia seperti anak muda baru tamat SMA dengan beragam perangainya. Ia mencari makan untuk diri sendiri. Memancing dapat satu ikan pun tak apa. Memetik kangkung hanya segenggam tak masalah asalkan bisa direbus dengan garam. Bantu-bantu orang asalkan dapat semangkuk beras telah biasa baginya. Ia tak membawa pulang apa-apa kepada keluarga kami, kepadaku, dan anak kami. Bisa kukatakan, ia tak pernah pulang lagi karena rumahnya hanya di dalam kamar gelap itu saja.
“Apa salahku padamu, Bang?” tanyaku kepadanya. Aku sengaja datang menghampirinya, suami dan ayah anakku. Ia sedang tak teler kala itu. Ia duduk manja di depan rumahnya yang tak terawat. Rumah itu telah lama dimakan rumput. Lumut bersarang di bagian yang dirembesi air hujan. Kursi kayu telah lama patah dan dimakan rayap. Aku sungguh berharap ia mengeluarkan sebuah pernyataan. Namun sampai pada batas kesabaranku habis, dari siang sampai sore aku duduk tak ada sahut-sahutan dengannya.
Aku pulang. Ekor mataku melihat ia berlari ke kamar gelap. Baginya, hidup ini hanya untuk bersenang-senang. Aku ingin mengajaknya pulang ke rumah, membangun keluarga bahagia kami. Sampai riwayat hidupku habis pun ia tak berubah. Aku menyakini satu hal setelah itu. Ia tak mau berbenah. Ia terlarut dalam masa muda keemasan yang enggan ia lepas. Ia masih belum puas dengan apa yang dijalani dan diyakininya benar untuk ditekuni.
Ia lupa usia tak pernah mengingat pada masa. Usia kami terpaut delapan tahun. Dua tahun lagi usianya akan masuk ke angka empat puluh. Namun ia masih terlena dan beranggapan bahwa dirinya masih sangat muda. Rupa tak menjamin bahagia. Cinta tak selamanya memihak kepada rasa. Aku telah memulai dengan sebuah raga dan kehalusan kata-kata. Aku terbuai dengan bujuk rayu hingga akhirnya pecah terterurai kembali.
Jika pada masa muda kami ia begitu mudahnya meminta kembali saat putus, kini aku tak tahu harus menempuh jalan mana untuk bisa membawanya kembali. Aku berada di ambang penyesalan. Apa aku telah durhaka karena menipu orang tua? Entahlah. Darah mudaku kala itu berkata lain. Darahku kini pun berkata lain.
Aku bertanya-tanya, siapa pria yang mau dijodohkan denganku kala itu. Mungkin aku bisa mengenalinya kini. Entah untuk apa. Sisi jahatku memuncak tajam. Aku ingin membandingkan pria itu dengan suamiku yang bagai silet tak pernah tumpul. Aku ingin memulai yang baru jika itu memungkinkan nanti. (Cerita ini dikirim oleh Bairuindra)